The History of Surakarta di Era Kalabendu

0
11
Ilustrasi/Net

OPINI | POLITIK

“Sudah bukan menjadi suatu rahasia di akhir era kepemimpinannya semakin kental unsur KKN dalam setiap kebijakan, diperparah dengan adanya issue akun Fufu Fafa yang diduga milik dari anaknya yang paling besar,”

Oleh : Yurist HP

SEBAGAI manusia Indonesia yang mendiami bumi Nuswantara yang sangat sakral, kita tidak boleh lupa jika kekuasaan di peroleh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan koridor hukum, etika, moral cepat atau lambat akan berbuah ketidak baikan dan kesempurnaan kekuasaan yang diraihnya dipastikan tidak amanah.

Surakarta atau lebih dikenal dengan Kota Solo terdapat Kesultanan yang masih hidup dan tumbuh dimasyarakatnya. Terletak di Jawa Tengah dan berada di antara dataran rendah Gunung Lawu dan Merapi-Merbabu, Surakarta juga merupakan daerah perkotaan terpadat ke-13 di Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa. Solo mempunyai slogan ‘The Spirit of Java’ yang berarti jiwanya Jawa, tempat dimana masih berdirinya Kesultanan di Nuswantara mempunyai sejarah yang panjang.

Wejangan dan filosofi hidup orang Jawa sarat makna dan patut untuk dipelajari oleh semua orang. Wejangan-wejangan tersebut mengajarkan tentang berbagai hal, mulai dari makna hidup, cinta, perubahan hidup, rasa ikhlas, persahabatan, hingga kemuliaan hidup.

Salah satu wejangan yang paling populer adalah :
“Manungsa mung ngunduh wohing pakarti” yang berarti bahwa setiap orang akan mendapatkan akibat dari perbuatannya sendiri. Wejangan ini mengajarkan bahwa kita harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk.

Zaman Kalabendu digambarkan sebagai periode konflik dan ketegangan di antara berbagai komponen bangsa. Konflik ini dipicu oleh manipulasi dari figur tak terlihat yang mengendalikan peristiwa dari belakang layar.

Era ini seakan merepresentasikan dari apa yang diramalkan oleh Eyang Jayabaya, dimana seluruh tatanan dihancurkan hingga keakar-akarnya. Tidak dipandang apapun bentukanya, bahkan skub terkecil dalam masyarakat. Keluarga merupakan salah satu komponen terpenting pembentukan karakter anak, apabila dalam keluarga tersebut baik maka secara tidak langsung baik pulalah anak- anak mereka.

Dalam sebuah Kepemimpinan yang berlangsung lama, pasti akan mengalami masa kejayaan yang penuh puji-pujian. Tetapi di akhir mulai redup akibat kekuasaan yang digenggamnya abai terhadap nilai-nilai luhur dan budi pekerti perlahan tapi pasti akan terperosok di lembah ketidak percayaan rakyat dengan politiknya yang diluar nalar, arogan dan pragmatis demi keluarga maupun kelompoknya. Hingga melemahkan kaedah yang sangat fundamental, baik dari konstitusi sebagai hukum positif yang selama ini menjadi pijakan bernegara.
Rekayasa hukum yg berpihak kekuasaan dirinya pasti akan abai terhadap nilai moral – etik bangsa Indonesia.

Hal ini sangat mungkin melekat dengan masa kepemimpinan Indonesia di era Presiden Jokowi, era dimana segala macam konflik vertikal maupun horisontal berbaur menjadi hingga terciptalah Era Kalabendu yang sudah diramalkan oleh Eyang Prabu Jayabaya. Dimana seluruh tatanan baik di pemerintahan maupun kehidupan masyarakat porak poranda.

Sialnya, Presiden Jokowi memulai karirnya sebagai Walikota di sebuah kota yang bernama Surakarta atau lebih dikenal dengan nama Kota Solo. Tempat dimana yang semestinya nilai adi luhung dan adi budaya berkembang dengan pesat serta mempengaruhi cara berfikir masyarakat kota Solo pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Hal ini menjadi polemik yang cukup mengganggu kehidupan masyarakat Solo sendiri dalam pergaulan di daerah lain, yang terkadang bagi kalangan oposisi menjadi candaan politik sebagai warga masyarakat Solo. Belum lama ini bahkan Presiden sempat di ilustrasikan sebagai Raja Jawa. Sebuah panggilan yang seharusnya memberikan kenyamanan bagi masyarakat Jawa namun apa mau dikata, malah menjadi bumerang bagi masyarakat Jawa sendiri.

Ungkapan tersebut seakan menjadi konotasi yang sangat negatif di mata rakyat Indonesia, ungkapan yang amat mendiskreditkan seorang Raja yang sepatutnya menunjukkan strata, bersikap maupun cara berfikir yang diatas rata – rata.

Sebuah kenyataan pahit rasanya mengetahui kebenaran serta keyataan ini, hingga serasa malu mengakui keberadaannya di kota Solo.

Sudah bukan menjadi suatu rahasia di akhir era kepemimpinannya semakin kental unsur KKN dalam setiap kebijakan, diperparah dengan adanya issue akun Fufu Fafa yang diduga milik dari anaknya yang paling besar, jelas sekali hinaannya terhadap presiden terpilih Prabowo Subianto beserta keluarga besarnya.

Bagai petir disiang bolong khalayak membaca apa yang ditulis oleh akun tersebut. Benar – benar tulisan yang menyakitkan hati, sebuah penghinaan yang amat dalam bagi keluarga. Harga diri selaku Kepala rumah tangga terkoyak membaca status dari akun Fufufafa. Menjatuhkan integritas seorang laki – laki dan seorang kepala rumah tangga.

Masyarakat terhenyak, terkesima dan terdiam, menjadikan bahan cemoohan suatu hal yang sangat private dari kehidupan seseorang.

Sudah hilang rasa kemanusian bahkan ewuh pekewuh dari anak tersebut. Yang seharusnya melihatnya tumbuh dan berkembang di kota yang masih memegang Jiwa masyarakat Jawa pada umumnya terkenal dengan tepo seliro, ewuh pekewuh, pemalu, sungkan, menjaga sopan santun, kalem, ramah, menghindari konflik, sederhana, pekerja keras adalah satu filosofi yang bertahan hingga saat ini.

Mungkin sudah saatnya dengan tegas untuk menghapus apa yang sudah dirasakan dengan tercorengnya nama baik kota Solo yang terkenal dengan adi luhung serta adi budaya dengan lantang mengatakan :

TolakJokowiPulangKeSolo.

Karena tindak tanduk diri maupun anaknya tidak mampu menjaga martabat dari kota dimana mereka berasal.

Untuk mencapai Era Kalasuba, bangsa Indonesia harus terus aktif mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum, dan tata kenegaraan. Perubahan ini dilakukan demi terciptanya daya hidup dan daya cipta bangsa yang lebih baik.

Surakarta/Solo : 17 Oktober 2024,14 Rabiul Akhir 1446 H, 13 Bakdamulud 1958 tahun Je
Surakarta, The land of the brave

(*Atma)