PPN Naik 12%, Kado Pahit di Awal 2025

0
5
Eva Ummu Naira

OPINI

“Pemerintah harusnya fokus pada kebijakan mendukung UMKM, seperti meningkatkan belanja BUMN. Kenaikan PPN akan menurunkan daya beli, dan meminta perbaikan sistem perpajakan,”

Oleh : Eva Ummu Naira

PEMERINTAH berencana menaikkan PPN sebesar 12% di awal 2025, di tengah himpitan ekonomi rakyat, dari sulitnya lapangan kerja, maraknya judi online serta kenaikan harga kebutuhan pokok yang tak dapat dikendalikan. Apakah masyarakat sudah siap menerima kado pahit di awal 2025?

Dalam kondisi ekonomi yang masih sulit, kebijakan ini dinilai sebagai beban tambahan bagi masyarakat. Sejak pandemi Covid-19 hingga saat ini, ekonomi global melambat menyebabkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Di Indonesia, menurut laporan Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang Januari-Agustus 2024 saja terdapat 46.240 pekerja di-PHK (Satudata.kemnaker.go.id, 20/9/2024).

Selain itu kebijakan pemerintah untuk tetap menjalankan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 juga akan mengancam keberlangsungan segmen UMKM. Sektor ini bergantung pada perkembangan daya beli masyarakat, yang rawan anjlok karena kebijakan PPN.

Sebagaimana yang diungkap Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero, kondisi ekonomi saat ini masih belum pulih sepenuhnya dan daya beli pun cenderung menurun. Tambahan beban pajak 1% dari PPN sebelumnya 11% akan semakin memberatkan pelaku UMKM. Pemerintah harusnya fokus pada kebijakan mendukung UMKM, seperti meningkatkan belanja BUMN. Kenaikan PPN akan menurunkan daya beli, dan meminta perbaikan sistem perpajakan (investor.id, 22/11/2024).

Ironi, di saat beban hidup rakyat cukup berat, pemerintah justru mengeluarkan ketentuan PPN baru sebesar 12%. Alih-alih pajak dipungut untuk pembangunan serta meningkatkan pendapatan negara kenyataannya sangat jauh dari harapan. Benarkah rakyat menikmati hasil pembangunan dari pajak atau justru hanya menguntungkan segelintir orang saja?

Dalam sistem kapitalis pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara. Namun pendapatan negara selalu mengalami defisit. Maka langkah yang diambil dengan cara berutang atau dengan menaikkan pajak. Jika menaikkan pajak, akibatnya, rakyat terus dipalak melalui berbagai pungutan, termasuk PPN yang bersiifat regresif yakni membebani semua kalangan, termasuk golongan berpenghasilan rendah.

Tentu kebijakan pajak ini di tengah beban hidup rakyat sangatlah zalim. Kezaliman, khususnya terkait harta, apalagi yang dilakukan oleh penguasa terhadap ratusan juta rakyatnya, jelas haram. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil.”

Dalam ajaran Islam, penguasa adalah pelayan atau pengurus rakyat. Pengurus rakyat tentu tidak pantas memalak rakyatnya dengan bermacam-macam pajak. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Islam sebagai ajaran sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan tentunya memiliki cara bagaimana memenuhi kebutuhan rakyatnya tanpa memungut pajak dengan paksa.

Imam (khalifah) dalam sistem Islam wajib bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok tiap-tiap rakyat yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dana untuk mencukupi kebutuhan rakyat berasal dari baitul maal. Negara mengelola baitul maal (APBN) untuk mencukupi kebutuhan rakyat secara makruf (layak/baik) berdasarkan prinsip syariat.

Adapun sumber pemasukan negara yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat berdasarkan buku Sistem Keuangan Negara Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum, pemasukan Khilafah berasal dari tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Bagian fai dan kharaj terdiri dari seksi ganimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan dharibah.

Bagian kepemilikan umum terdiri dari seksi migas; listrik; pertambangan; laut, sungai, perairan, dan mata air; hutan dan padang rumput; serta aset yang diproteksi negara. Bagian zakat terdiri dari zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; serta zakat ternak sapi, unta, dan kambing.

Semua pemasukan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan membangun negara tanpa mengalami defisit. Bahkan, dari pengelolaan sumber daya alam yang terkategori kepemilikan umum sudah cukup untuk kebutuhan rakyat, karena Allah SWT telah menyediakan kekayaan alam yang luar biasa di negeri-negeri muslim berupa hutan, laut, sungai, bermacam-macam tambang (migas dan mineral), dan lainnya.

Adapun pajak (dharibah) memang ada dalam baitul maal sebagai salah satu pos pemasukan. Akan tetapi pos ini hanya dipungut ketika kas negara sedang kosong dan ada kebutuhan yang wajib dipenuhi negara.

Setelah kebutuhan tersebut terpenuhi, pemungutan pajak pun dihentikan. Maka dengan pengelolaan APBN sesuai syariat Islam niscaya akan terwujud kesejahteraan bagi rakyat dengan merata. (**)

*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok