Alumni Beasiswa LPDP Tidak Wajib Kembali ke Indonesia, Kegagalan Negara Mengelola SDM Unggul

0
5
Ist.

OPINI

“Kesuksesan yang bertolak ukur individu menunjukkan sistem pendidikan kapitalistik. Sistem ini mengabaikan pentingnya kontribusi ilmu pengetahuan bagi masyarakat luas,”

Oleh : Najwa Nazahah

PERNYATAAN Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro bahwa alumni beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) tidak wajib kembali ke Indonesia menjadi polemik karena bertentangan dengan kontrak penerima LPDP sebelumnya yang memberlakukan sanksi bagi penerima beasiswa LPDP yang tidak pulang ke tanah air usai studi di luar negeri sebagai bentuk investasi negara dalam pembangunan dan kemajuan bangsa (Kompas.com, 6/11/2024).

Pernyataan tersebut didasarkan karena keadaan Indonesia belum sepenuhnya mampu menyediakan pekerjaan yang sesuai bagi para alumni. Mendikti Saintek pun menilai penerima beasiswa yang berkarier di luar negeri tetap bisa memberikan kontribusi positif bagi Indonesia. “Kalau mereka berprestasi di luar negeri dan membawa nama baik Indonesia, itu kan juga hal yang bagus. Tidak ada masalah, toh suatu saat mereka pasti akan kembali,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks DPR, Jakarta, Rabu (6/11/2024).

Namun, pernyataan Mendikti Saintek menurut akademisi dari kampus di Surabaya Dr. Liliek Susilowati, M.Si., sebagai bentuk kegagalan negara mengelola SDM unggul. Penggunaan dana LPDP seharusnya ditujukan untuk membangun masyarakat Indonesia dan menyelesaikan berbagai permasalahan domestik, bukan hanya membiayai pendidikan yang manfaatnya tidak langsung dirasakan oleh bangsa. Membiarkan penerima beasiswa mengembangkan ilmu dan karier di luar negeri tanpa kewajiban kembali ke tanah air berisiko mendukung kepentingan negara lain, bahkan memperkuat dominasi kapitalisme global. Hal ini semakin relevan mengingat tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mengelola sumber daya alam yang melimpah (muslimahnews.net, 13/11/ 2024).

Jika dilihat, meskipun memiliki kekayaan alam, Indonesia sering kali mengalami kesulitan dalam mengelolanya dengan optimal, salah satunya karena terbatasnya sumber daya manusia yang kompeten di bidang tersebut. Sehingga potensi kehilangan sumber daya manusia yang merupakan salah satu masalah pengelolaan sumber daya alam tidak seharusnya dianggap remeh.

Selain itu, kesuksesan yang bertolak ukur individu menunjukkan sistem pendidikan kapitalistik. Sistem ini mengabaikan pentingnya kontribusi ilmu pengetahuan bagi masyarakat luas, sehingga kurang mendukung upaya untuk menyelesaikan berbagai problem bangsa. Pemerintah seharusnya perlu mengambil langkah lebih tegas dalam mengelola potensi sumber daya manusia unggul di Indonesia.

Alih-alih membiarkan mereka bekerja di luar negeri, pemerintah seharusnya fokus menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan ilmu di dalam negeri dan memastikan potensi mereka benar-benar digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem Islam karena negara wajib memberikan hak pendidikan bagi seluruh warga negara.

Pendidikan tinggi di dalam sistem Islam dirancang mencetak pemimpin dan pemecah masalah yang berdedikasi untuk kepentingan negara. Tidak ada larangan bagi penuntut ilmu untuk belajar di luar negeri karena para ilmuwan tersebut tetap berfungsi untuk kepentingan negara Khilafah, baik dalam konteks dakwah maupun dalam mencapai maslahat yang mendukung kepentingan negara. Islam bagi para penerima beasiswa mencakup berbagai prinsip dan nilai yang bisa dijadikan pedoman dalam menjalani pendidikan serta memanfaatkan beasiswa dengan sebaik-baiknya. [**]

*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok