PPN Naik, Bukti Kapitalistik Mencekik Rakyat?

0
10
Sutiani, A. Md /Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Berbagai cara telah dilakukan rakyat melalui aksi di jalan, penandatanganan petisi, bahkan gerakan di sosial media namun rakyat harus dipaksa menerima kebijakan ini dengan tujuan menunjang pembangunan infrastruktur akan tetapi faktanya ketika ada kenaikan pajak beban hidup mereka,”

Oleh : Sutiani, A. Md

PEMERINTAH Indonesia telah memberlakukan 1 Januari 2025 menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12%. Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak akan berdampak pada rakyat menengah ke bawah.

Penyesuaian tarif PPN akan dikenakan bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah dan dikonsumsi masyarakat mampu. Barang-barang tersebut di antaranya, kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan yang berstandar internasional yang berbayar mahal. (Kontan.co.id, 30/12/2024)

Walaupun begitu kenaikan PPN 12% akan tetap berimbas pada kehidupan rakyat karena Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar berpendapat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi memicu inflasi yang tinggi pada tahun depan.

Berdasarkan perhitungan Celios, kenaikan PPN menjadi 12 persen bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan. (Antaranews.com, 18/12/2024)

Barangkali masyarakat sudah menyadari bahwa beban hidup mereka makin bertambah. Berbagai cara telah dilakukan rakyat melalui aksi di jalan, penandatanganan petisi, bahkan gerakan di sosial media namun rakyat harus dipaksa menerima kebijakan ini dengan tujuan menunjang pembangunan infrastruktur akan tetapi faktanya ketika ada kenaikan pajak beban hidup mereka makin meningkat bahkan gaji yang diterima tidak mencukupi.

Begitulah tabiat dari sistem politik kapitalisme wakil rakyat acuh dengan suara rakyat dan tidak amanah dalam menjalankannya perannya yaitu sebagai pengurus rakyat. Siapa pun penguasanya dan bagaimana pun sosok tokohnya ia akan terus menjalankan pemerintahan berbasis ekonomi kapitalisme sebab dari sistem ini pajak dijadikan sumber pemasukan negara akhirnya rakyat sendirilah yang mengurus hidupnya maka tidak ada peran negara melayani rakyat namun hanya sebatas pembuat aturan undang-undang saja.

Terlihat jelas aturan yang dikeluarkan penguasa berdasarkan kepentingan para pemilik modal. Walaupun kenaikan pajak hanya dikenakan pada barang mewah akan tetapi negara memberikan keringanan pajak kepada pengusaha dengan mengatasnamakan investasi yang beranggapan akan membuka lapangan kerja sedangkan faktanya tidak demikian. Rakyat hanya dijadikan target untuk dikenakan pajak yang diwajibkan sebagai warga negara. Ini jelas menambah beban hidup mereka karena pungutan tersebut tak melirik keadaan rakyat.

Berbeda dengan kepemimpinan islam. Dalam kitab syakhshiyah Al-Islamiyah juz 2, hal 161 karya ulama terkemuka abad ini Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dituliskan islam telah memerintahkan agar penguasa atau pemimpin memperhatikan rakyatnya, memberikan nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum dan mewajibkannya agar memerintah rakyat hanya dengan islam saja tanpa yang lain.

Maksud dari harta milik umum adalah kekayaan negara melalui sumber daya alam (SDA) yang dikelola oleh negara sehingga hasil keuntungan tersebut dikembalikan kepada rakyat misalnya menjamin pelayanan gratis seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Khilafah melarang keras kepada pihak swasta yang ingin mengeruk SDA dengan alasan apapun termasuk investasi. Walaupun tak mengganggu harta milik umum pengeluaran dan pemasukan islam diatur oleh hukum syara yang tak berasaskan pajak dan utang.

Penerapan sistem ekonomi islam pajak bukan menjadi sumber pendapatan negara, kaum muslim tidak dikenakan pajak. Islam telah menetapkan 3 komponen sumber pendapatan negara yang pertama harta milik negara, harta milik umum dan harta zakat. Sumber pengeluaran ini ditentukan oleh hukum syara guna kesejahteraan rakyat.

Adapun sistem ekonomi dharibah atau pajak dilakukan apabila terdesak harta baitu mal (kas negara) dalam keadaan kosong, dalam pengutipannya pun tidak semua dikenakan hanya yang memiliki kehidupan menengah ke atas. Dalam tubuh Khilafah rakyat sudah memiliki ketakwaan individu bahkan para aparat pemerintah jauh dari melakukan kezaliman misalnya takut untuk korupsi karena landasan hukumnya adalah syariat islam bukan suara terbanyak. Terlebih lagi hidup dalam naungan khilafah adanya peran jamaah saling amar makruf nahi mungkar dari majelis umat dan partai dakwah. Khilafah meniscayakan sistem ekonomi islam hidup dalam ketenangan dibawah hukum Allah Swt.

“Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (h.r. Bukhari). Wallahualam bissawab. (**)

*Penulis Adalah Aktivis Muslimah