OPINI | POLITIK
‘Sistem kapitalisme menekan masyarakatnya menganggap uang adalah hal terpenting, sehingga yang semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan,”
Oleh : Resti Rosalina
FENOMENA Childfree kini merambah ke indonesia, fakta bahwa tingginya minat childfree di indonesia sangat mengkhawatirkan, survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 menyebutkan 71 Ribu Perempuan rentan usia 15 – 49 tahun tidak ingin memiliki anak.
Anggota Komnas Perempuan turut menanggapi isu ini, Pada Jumat, 15 November dalam wawancaranya bersama Pro 3 RRI Maria Ulfah Ansor berkata, “Terserah mereka apakah seseorang memilih untuk memiliki anak atau tidak, itu bagian dari hak pribadi yang harus dihormati,” (rri.co.id, 29 Desember 2024).
Menanggapi isu terkait childfree di Indonesia, perlu kita lihat lebih dalam, mengapa banyak perempuan memutuskan untuk tidak memiliki anak? Keputusan untuk tidak memiliki anak dititik-beratkan pada perempuan, mungkin karena perempuan yang bertugas mengandung dan melahirkan seorang anak.
Tak hanya itu, dengan tingkat fatherless (tidak ada peran ayah dalam mendidik anak) yang tinggi di Indonesia, rasanya beban yang dirasakan oleh perempuan tak hanya selesai sampai dengan melahirkan, tapi sampai membesarkannya atau hal ini kita sering dengar dengan istilah lain yaitu budaya partiarki.
Kemudian tumbuhnya faham feminisme dimana pemikiran yang memandang perempuan harus mempunyai hak setara dalam segala aspek dengan laki-laki, sehingga dalam hal ini banyak perempuan yang tidak ingin kehilangan kesempatan mengejar kesetaraannya dengan laki-laki dalam hal karir jika memiliki anak.
Penyebab lainnya yang tidak bisa dihindarkan yakni karena kemajuan teknologi yang membuat konten-konten mengenai childfree dan kesepahaman dengan gerakan feminisme mudah diakses. Oleh karena itu, banyak perempuan yang menyetujui dan turut menyuarakan. Begitulah fenomena childfree dapat menyebar luas di indonesia.
Ada 4 faktor penyebab childfree jadi pilihan dalam suatu pernikahan, yaitu : (1)faktor ekonomi, (2)faktor mental, (3)faktor over populasi, (4)faktor lersonal atau pengalaman Pribadi. (Yusuf, M.,2024).
Dahulu pepatah yang popular di Indonesia yaitu “banyak anak, banyak rezeki”, kini seolah pepatah itu tak lagi ada dikalangan anak muda. Konsep rezeki yang sudah banyak disalah pahami oleh banyak manusia, sehingga tak sedikit yang mengira jika memiliki banyak anak akan menambah beban tanggungan.
Tapi sebenarnya anak sudah memiliki rezeki nya sendiri, dan tidak ada hubungannya jika memiliki anak akan memperburuk perekonomian keluarga. Kesiapan mental menjadi faktor penting untuk dalam menjadi orang tua, pola asuh yang banyak dirasakan oleh pasangan yang memilih childfree mempunyai pengalaman pola asuh yang traumatik Karena itu tetaplah penting bagi setiap manusia menuntut ilmu, termasuk calon orang tua yang belajar bagaimana berperan sebagai orang tua.
Namun, dibalik alasan atau penyebab yang berasal dari pribadi manusia, peran penting yang seharusnya bisa mencegah pemikiran feminisme, partiarki, dan keputusan childfree terjadi, yaitu peran sistem atau pemerintah.
Pemerintah negara indonesia menggunakan sistem demokrasi atau anak turunan sistem kapitalisme sekulerisme, dimana persoalan ekonomi dengan asas kapitalisme dilakukan dengan segala cara untuk meraup banyak keuntungan. Sistem kapitalisme menekan masyarakatnya menganggap uang adalah hal terpenting, sehingga yang semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan.
Kemudian paham sekularisme yang kini menjerat masyarakat Indonesia menjadikan mereka memisahkan urusan kehidupan dengan agama atau dalam artian lain menjalani hidup tidak diatur dengan agama.
Dalam Islam semua urusan kehidupan sudah diatur, termasuk hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Perempuan diatur tidak wajib untuk bekerja atau mencari uang, dan laki-laki berkewajiban menjadi kepala keluarga termasuk didalamnya menafkahi dan membesarkan anak. Dengan memahami konsep peran ini seharusnya tidak ada paham feminisme dan partiarki hingga anak yang kehilangan sosok ayah dalam suatu keluarga.
Childfree dalam negara kapitalisme sekuler diberi ruang dengan alasan HAM. Padahal banyak kasus di negara lain yang krisis angka kelahiran mengancam kestabilan negara. Indonesia sebagai negara yang sumber pendapatannya mengandalkan dari individu penduduknya, bukankah hal ini merupakan kekhawatiran untuk beberapa puluh tahun kedepan seharusnya?
Belum lagi dampak buruk pada kesehatan, tidak hamil atau tidak menyusui dapat meningkatkan risiko terkena kanker ovarium dan kanker payudara. Mengingat juga fasilitas kesehatan rakyat tidak di pedulikan negaranya. Seakan alurnya manusia hidup untuk mencari uang dan menghabiskannya untuk mengobati penyakitnya.
Namun tidak demikian dalam negara Khilafah, tidak berpikir jauh sebelum timbul akibat dari childfree. Negara khilafah tidak akan membiarkan pemikiran itu masuk ke masyarakatnya. Dalam sistem negara khilafah, negara akan mengatur kehidupan rakyatnya sesuai syariat islam.
Negara yang diatur oleh Islam tidak akan memberatkan biaya hidup pada rakyatnya, pasalnya negara akan menjamin sektor pendidikan, Kesehatan, dan keamanan secara gratis. Kemudian lapangan pekerjaan untuk para ayah menafkahi keluarganya.
Perekonomian negara yang stabil dengan sumber pendapatan negara yang diatur bukan dari memungut pajak tetapi mengelola sumber daya alam yang ada. Dengan demikian tidak akan muncul pemikiran bahwa memiliki anak adalah beban, justru sebaliknya memiliki anak dan berkesempatan melahirkan generasi serta mendidik menjadi orang bertaqwa dan memandang hal tersebut sebagai ladang pahala. (**)
*Penulis Adalah Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta