Ringannya Vonis Koruptor, Budaya Korupsi Menjamur

0
27
Elviana/Foto : Ist.

OPINI | HUKUM | POLITIK

“Sebaliknya negara yang sangat rendah tingkat korupsinya maka negara tersebut sejahtera dan maju. Oleh sebab itu korupsi bukanlah budaya namun kemungkinan bisa membudaya,”

Oleh : Elviana

KASUS korupsi kembali membuat masyarakat geram. Bukan hanya tersingkap tabir kasus-kasus koruptor, tapi ringannya vonis para koruptor. Seperti kasus Harvey Moeis dan kawan-kawan.

Kasus korupsi timah yang merugikan negara sampai ratusan triliyun ini hanya memberikan hukuman, 6,5 tahun penjara dan biaya ganti rugi kepada negara seratus milyar. Sungguh vonis yang membuat manusia berakal geram. Bila sudah begini, maka sangat tidak heran, ringannya vonis para koruptor akan membuat budaya korupsi menjamur.

Saat ini lingkungan sosial cukup banyak memberikan dorongan dan penguatan untuk melakukan korupsi. Jika mau dibuka masih banyak lagi para pejabat yang korupsi di Indonesia ini. Kendati sudah banyak yang masuk bui tapi perilaku tersebut masih saja dilakukan. Pelakunya berasal dari pihak swasta, pemerintahan bahkan aparat hukum. Tindakan korupsi ini bukan hanya tercela, tetapi juga merugikan negara.

Tindakan ini tidak hanya terjadi dilingkungan pejabat saja, di lingkungan masyarakat umum tindakan korupsi juga bisa terjadi. Sering kita dengar berita bahwa karyawan swasta yang dipecat akibat mennggelapkan uang perusahaan, atau perangkat RT/RW yang diberhentikan karena ketahuan menggelapkan uang warga.

Pelaku berusaha mencari keuntungan pribadi dengan menerima atau memberi suap dan menyalahgunakan wewenang yang dia miliki. Tindakan ini tentu melanggar hukum, sudah semestinya pelaku mendapat hukuman berat. Tapi nyatanya hukuman pada koruptor semakin kabur tidak jelas arahnya.

Pemerintah Indonesia katanya sudah berupaya dalam memberantas korupsi dengan mendirikan lembaga independen untuk memberantas korupsi yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). KPK sudah membuat strategi yaitu penindakan, pencegahan dan pendidikan. Namun faktanya sampai saat ini korupsi masih menjadi masalah serius. Korupsi semakin menjamur kemana-mana menggerogoti pondasi moral, sosial, dan ekonomi bangsa yang menghambat kemajuan Negara Indonesia.

Korupsi merupakan perbuatan busuk yang mempunyai daya rusak yang sangat luar biasa. Mempengaruhi perekonomian nasional, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial, merusak mental dan budaya bangsa, mendistorsi hukum dan mempengaruhi kualitas layanan publik.

Semakin tinggi korupsi di suatu negara, bisa dipastikan negara tersebut tidak sejahtera atau maju dan layanan publiknya memprihatinkan. Sebaliknya negara yang sangat rendah tingkat korupsinya maka negara tersebut sejahtera dan maju. Oleh sebab itu korupsi bukanlah budaya namun kemungkinan bisa membudaya.

Maka sudah selayaknya seluruh komponen bangsa untuk memerangi korupsi dan mencegahnya supaya tidak membudaya di Indonesia. Artinya korupsi tidak menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Oleh sebab itu kita sebagai masyarakat seyogyanya sadar akan urgensi penegakan hukum pada tindak pidana korupsi.

Dalam Islam, korupsi dipandang sebagai tindakan yang merugikan, menindas dan zalim yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh syar’iat. Al-Qur’an dan Hadist telah menggarisbawahi pentingnya menjauhi perilaku tak terpuji dalam beberapa nash-nya. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptus” yang berarti sesuatu yang rusak atau hancur.

Secara normatif, baik dalam sistem Islam maupun sistem sekuler, sebenarnya korupsi, suap, gratifikasi dan menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri itu dilarang. Hanya saja realitas menunjukkan bahwa dalam sistem sekular, khususnya di negeri ini korupsi menjamur.

Adanya penyidik KPK yang membatu memberantas para pejabat itu penting, namun sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng dan korupsi, itu jauh lebih penting. Dalam kisah Muazd bin Jabal yang seorang sahabat pun tidak ada yang meragukan keimanannya namun Rasulullah tetap menasehati dirinya. Bahkan ketika ia diutus ke Yaman dan Sudan melakukan perjalanan.

Rasulullah memerintah seseorang untuk memanggil dia kembali beliau bersabda: “Tahukah engkau mengapa aku mengirim orang untuk menyusulmu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulul (khianat). Siapa saja yang berbuat ghulul, pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dia khianati itu. Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugasmu.”

Rasulullah SAW walaupun banyak memegang harta negara saat beliau SAW menjadi pemimpin negara, beliau SAW memberikan ratusan ekor unta untuk pemuka Quraisy yang baru masuk Islam. Namun beliau SAW sendiri hidup sederhana, beliau tidur diatas selembar tikar yang kasar, yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau.

Ketika Ibnu Ma’ud ra.menawarkan untuk membuatkan kasur yang empuk beliau berkata: “Tidak ada urusan kecintaanku dengan dunia, aku di dunia ini tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara yang bernaung dibawah pohon lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya. Begitulah Rasulullah SAW yang sangat sederhana dan selalu menjaga diri agar tak terlibat dalam harta yang bukan menjadi haknya.

Penanaman keimanan yang kuat, bimbingan, pengawasan, pemilihan pejabat yang profesional dan amanah serta hukuman yang membuat jera, telah membentuk suatu sistem yang handal untuk memberantas korupsi. Sistem tersebut bukan hanya ada dalam dokumen-dokumen semata, namun tercermin dalam kehidupan nyata, menjadi pola kehidupan masyarakat Islam setelahnya hingga muncullah sosok-sosok luar biasa dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Pemberian hukuman yang setimpal tentu berpengaruh pada pelaku korupsi. Jika seorang tersangka korupsi masih di sambut hangat di pesantren, sekolah, tangannya masih diciumi santri karena memberi sumbangan, ditambah perlakuan hangat dari penegak hukum saat mereka tertangkap, hal ini tentu tak memberikan efek jera pada tersangka korupsi. Diakui atau tidak, sikap ini ikut andil dalam menyuburkan korupsi.

Dalam menghadapi tantangan korupsi, kerja sama antara pemerintah, lembaga agama, dan masyarakat sangat di perlukan. Dengan sinergi yang kuat diharapkan Indonesia dapat terbebas dari korupsi dan mencapai kemakmuran yang adil dan merata. Allahu A’lam. (**)

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah