OPINI
“Fenomena anak durhaka ini hanyalah sedikit bukti betapa kentalnya sekularisme dalam kehidupan ini. Kita tentu tidak habis pikir, sakit hati mereka kepada orang tua terlalu kelewat batas hingga membuat gelap mata, alih-alih terpikir setitik saja untuk birrul walidain,”
Oleh : Karin Kurniawan, S.Pd
ORANGTUA baik ibu maupun ayah adalah orang yang seharusnya di hormati, dijaga, dibahagiakan dan selalu berbuat baik kepada mereka. Berkata nada lebih tinggi aja sudah luar biasa dosanya apalagi menganiaya bahkan sampai meninggal, inilah era dimana anak durhaka lebih sadis dari maling Kundang versi modern. Nauzubillah.
Seperti yang telah terjadi di Jakarta selatan, seorang anak berusia belasan tahun membunuh ayah dan neneknya serta melukai ibu kandungnya. Di Medan, seorang anak lelaki yang sudah berusia 30 puluh tahun bahkan sudah memiliki anak dan istri membunuh dan mengubur ibu kandungnya karena sakit hati.
Perilaku membunuh orang tua sungguh jauh dari tuntunan syariat Islam dan sejatinya bersumber dari sekularisme. Fenomena anak durhaka ini hanyalah sedikit bukti betapa kentalnya sekularisme dalam kehidupan ini. Kita tentu tidak habis pikir, sakit hati mereka kepada orang tua terlalu kelewat batas hingga membuat gelap mata, alih-alih terpikir setitik saja
untuk birrul walidain.
Sungguh, sekularisme-kapitalisme telah merusak dan merobohkan pandangan masyarakat saat ini tentang keluarga. Keluarga pada hakikatnya adalah tempat yang Allah tetapkan bagi anggota keluarga di dalamnya untuk saling berkasih sayang karena di tengah-tengah mereka ada hubungan rahim.
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan makhluk. Tatkala telah selesai, bangkitlah rahim (tali persaudaraan) seraya berkata,
‘Di sinilah tempat orang yang menjaga diri dari keterputusan.’ Allah Taala berfirman, ‘Ya, relakah engkau jika Aku akan berhubungan dengan orang yang menyambungkan diri denganmu dan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu?’ Rahim menjawab, ‘Baiklah.’ Allah Taala melanjutkan, ‘Itulah bagianmu.’” (HR Bukhari).
Kalaulah benar ada tindakan orang tua yang menyakiti hati kita sebagai anaknya, haruskah kita berkata kasar, melayangkan tangan dan konsekuensi nyawa mereka melayang di tangan anak kandungnya sendiri? Tidakkah sejatinya jauh lebih banyak kebaikan yang telah orang tua berikan kepada kita anak-anaknya dibandingkan seujung kuku sisi buruknya? Untuk itu, semestinya rasa maaf dan amar makruf nahi mungkar lebih ditonjolkan.
Mirisnya, sekularisme ternyata membabat habis itu semua sehingga yang tersisa adalah relasi anak-orang tua yang berdasarkan kemanfaatan semata. Akibatnya, ketika anak-anaknya merasa orang tua tidak berguna, bahkan dianggap menghalangi mereka untuk mencapai puncak hawa nafsu, maka menghabisi orang tua tidak ubahnya kepuasan tersendiri bagi
mereka. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.
Tidak ada pilihan lagi kecuali kembali pada Sistem Islam. Penerapan sistem hidup kapitalisme lagi-lagi terbukti gagal memanusiakan manusia. Fitrah dan akal mereka tidak terpelihara oleh sistem sahih, alih-alih mampu menyuburkan ketaatan dan amal saleh.
Sekularisme-kapitalisme justru telah menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah pembawa rahmat bagi alam semesta.
Sebaliknya, justru sistem Islam mendidik generasi menjadi generasi yang memiliki kepribadian Islam serta taat syariat, termasuk berbakti dan hormat pada orang tuanya. Mereka juga memiliki kemampuan yang baik dalam mengendalikan garizah baqa’ (naluri mempertahankan diri) sehingga tidak mudah terjerumus dalam lingkaran emosi dan hawa nafsu.
Kisah Luqman di dalam Al-Qur’an saat menasihati anaknya adalah contoh terbaik. Allah Taala berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Ku-lah kembalimu. (14). Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15).” (QS Luqman [31]: 14—15).
Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR At-Tirmidzi).
Tidak sebatas itu, Islam juga memiliki mekanisme dalam menjauhkan generasi dari kemaksiatan dan tindak kriminal, baik secara individu, keluarga, masyarakat, dan negara,
sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat, “Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS An-Nisa [4]:
14).
Sebagai solusi tuntasnya, Islam mensyariatkan tegaknya negara yang menerapkan aturan Islam kafah (Khilafah) sehingga mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak criminal dan pelanggaran aturan Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).
Maknanya agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya. Ini semua dalam rangka mencegah berbagai bentuk kejahatan termasuk kekerasan anak kepada orang tuanya.
Semoga sistem Islam kembali diterapkan secara pribadi, keluarga sampai negara sehingga tidak ada lagi anak-anak berkarakter Malin Kundang. Wallahualam. (**)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah