Narasi Dibalik PPN 12 % Yang Membuat Rakyat Menderita

0
10
Uci Riswahyu, S.Akun/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Setiap pemungutan, penghitungan, dan penyetoran PPN atas barang dan jasa tertentu itu dilakukan sesuai dengan ketentuan regulasi yang sudah berlaku. Besaran pungutan PPN atas barang dan jasa khusus itu selama ini mengacu pada tarif PPN yang berlaku,”

Oleh: Uci Riswahyu, S.Akun

DILANSIR dari kompas.co.id Meski semestinya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai hanya berlaku untuk barang mewah, sejumlah barang dan jasa tetap ikut terdampak tarif PPN 12 persen.

Kenaikan pungutan pajak itu terjadi atas sejumlah barang dan jasa yang sehari-hari cukup sering diakses masyarakat. Misalnya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lain sebagainya.

Walaupun pemerintah meyakinkan bahwa PPN 12% hanya untuk barang mewah, namun fakta di lapangan harga-harga barang lain tetap naik. Ini terkait ketidakjelasan di awal akan barang yang akan terkena PPN 12% sehingga penjual memasukan PPN 12% pada semua jenis barang. Ketika harga sudah naik, tak bisa dikoreksi meski aturan menyebutkan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja.

PMK 131/2024 menegaskan, setiap pemungutan, penghitungan, dan penyetoran PPN atas barang dan jasa tertentu itu dilakukan sesuai dengan ketentuan regulasi yang sudah berlaku. Besaran pungutan PPN atas barang dan jasa khusus itu selama ini mengacu pada tarif PPN yang berlaku.

Artinya, meski tidak termasuk barang mewah, barang dan jasa itu tetap akan mengalami kenaikan pungutan PPN karena adanya kenaikan tarif PPN yang berlaku dari 11 persen menjadi 12 persen. ”Karena tarifnya naik (menjadi 12 persen), berarti (pungutan pajaknya) ikut naik,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (2/1/2025) (www.kompas.id/03/2025).

Kebijakan pemerintah dalam menaikkan PPN tentulah sangat mendzolimi rakyat terlepas apapun alasannya. Adapun program bantuan yang diklaim untuk meringankan hidup rakyat nyatanya tidaklah cukup untuk membantu dan menjamin keberlangsungan hidup rakyat. Negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah berpihak kepada rakyat, namun sejatinya abai terhadap penderitaan rakyat. Kebijakan ini justru telah menguatkan profil penguasa yang populis otoriter.

Tidak sepantasnya negara membebani rakyat dengan pajak hanya untuk menambah pemasukan negara, padahal pajak yang katanya untuk kepentingan rakyat namun faktanya lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang saja. Inilah kebijakan dalam sistem kapitalis yang hanya mengedepankan manfaat namun abai terhadap penderitaan rakyat.

Berbedahalnya didalam Islam, dimana Islam mewajibkan penguasa sebagai raa’in yang mengurus rakyat sesuai dengan aturan Islam, dan tidak menimbulkan antipati pada rakyat dan tidak membuat rakyat menderita.

Adapun pajak yang pernah dipungut pada masa kekhilafahan Umar bin Khatab adalah untuk kepentingan negara dan kemaslahatan umat, itupun pajak hanya dipungut kepada orang-orang kaya saja bukan dibebankan kepada seluruh rakyat. Wajarlah, jika pada masa kepemimpinan Islam tersebut seluruh rakyat dapat hidup dengan sejahtera. Oleh karena itu, jelaslah bahwa hanya pemimpin yang menjalankan seluruh aturan Allah dalam institusi negara saja yang dapat mensejahterakan seluruh rakyatnya. Wallahu’alam. (**)

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah