NEWS | NUSANTARA
“Harganya naik Rp1 juta per jam—lebih cepat daripada Bitcoin! Pemerintah sibuk kasih stiker ‘anti-mahal’, tapi stiker itu cuma bisa ditempel di koper, bukan di rekening korup!”
Lapan6Online : Bagi warga Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, pesawat bukan lagi sekadar alat transportasi.
Ia telah berevolusi menjadi simbol status sosial: bisa membelinya berarti Anda masuk kasta “konglomerat”, tak mampu berarti Anda “warga negara kelas kuli”.
Fakta ini makin nyata ketika harga tiket Jakarta-Pontianak pada Nataru hingga jelang Imlek 2024/2025 meledak hingga Rp8 juta—harga yang setara dengan uang muka motor atau biaya sunatan massal 50 anak.
Wawan (56), pekerja di Jakarta mengelus dadanya. “Dulu naik pesawat itu biasa. Sekarang, bayar tiket semahal ini rasanya kayak nyumbang ke gereja tapi gerejanya punya jet pribadi.”
Kisahnya bukan sendirian. Tukiyehung (20), mahasiswa Pontianak di Jakarta, sampai begadang tiga hari memantau aplikasi tiket.
“Harganya naik Rp1 juta per jam—lebih cepat daripada Bitcoin! Pemerintah sibuk kasih stiker ‘anti-mahal’, tapi stiker itu cuma bisa ditempel di koper, bukan di rekening korup!”
Data Kementerian Perhubungan mengonfirmasi kenaikan 40-200% pada rute padat. Tapi di negeri yang gemar mengklaim “negara maritim”, ironinya: rakyatnya justru terdampar di darat karena tiket pesawat harganya setara emas 24 karat.
Dynamic Pricing Ala Indonesia–Kapitalisme Rakus Berkedok Algoritma
Maskapai puji-puji sistem dynamic pricing sebagai “kecerdasan buatan”. Tapi di tangan mereka, AI bukan Artificial Intelligence, melain berubah fungsinya.
Contoh nyata: tiket Jakarta-Pontianak pagi hari Rp3 juta, sorenya jadi Rp6 juta hanya karena kuota “tinggal 2 kursi”.
“Ini bukan algoritma, ini algo abal-abal!” seru Ahmad Syafii, pengamat transportasi yang sudah 10 tahun meneliti pola harga tiket.
Mafia tiket bermain lebih canggih. Mereka pakai bot beli tiket saat harga rendah, lalu jual kembali dengan markup 300-400% lewat grup WhatsApp dan TikTok Shop.
“Modusnya kayak jualan tiket konser Coldplay, tapi ini tiket pesawat—barang kebutuhan dasar!” ujar Wawan Daly Suwandi, Ketua FW LSM Kalbar Indonesia.
Padahal, Permenhub Nomor 89/2023 mengatur batas maksimal harga tiket 1,5x tarif dasar. Tapi aturan ini dianggap macan ompong: “Macannya bukan cuma ompong, tapi udah jadi boneka di taman hiburan!” sindir Dedi Kurniawan SH, penasihat hukum.
Garuda VS DPR—Drama Kolosal Tanpa Penonton
Di ruang rapat Komisi V DPR, Direktur Garuda Wamildan berdalih 35% biaya operasional berasal dari avtur.
“Sewa pesawat saja $300.000 per bulan!” katanya. Tapi Ketua Komisi V Lasarus (PDI-P) tak mau kalah.
“Kalau semua disalahkan ke avtur, mending kita terbang pakai layangan! Pemerintah harusnya turunin pajak avtur, bukan cuma turunin bendera di Monas,” kata Lasarus.
Faktanya, pajak avtur Indonesia Rp1.500/liter—tertinggi di ASEAN. Bandingkan dengan Malaysia (Rp900) dan Thailand (Rp700).
“Kita mau bersaing dengan siapa? Harga avtur kita mahal, pajak gila-gilaan, tapi minta tiket murah. Ini kayak mau kawin tapi nggak mau nikah!” kritik Lasarus.
Mafia Tiket—Hantu Resmi Kemenhub yang Tak Pernah Dipenjara
Laporan Investigasi Forum Wartawan & LSM Kalbar Indonesia (2025) membongkar sindikat mafia yang menguasai 30% kuota tiket rute padat.
Modusnya? “Mereka punya tim bot beli tiket, tim marketing jual di pasar gelap, dan tim bagi hasil ke oknum bandara,” papar sumber di PT Angkasa Pura II itu. Tapi penindakannya? Sepanjang 2024, cuma 12 agen travel dicabut izin—padahal laporan masyarakat 1.342 kasus.
“Ini bukan penindakan, ini cuma pura-pura sibuk kayak anak kost pas ujian!” geram Wawan Daly.
Solusi Pemerintah : Webinar Stiker ‘Bijak Beli Tiket
Daripada menuntut maskapai, Kemenhub malah menggelar webinar bertajuk “Bijak Membeli Tiket Online”.
“Webinar-nya mahal, bayar narasumber pakai duit rakyat. Tiketnya tetap mahal!” sindir Tukiyehung.
Menteri Budi Karya Sumadi pernah berkoar: “Tiket mahal akan kami usut!” Enam bulan kemudian? “Usutannya ilang kayak janji pacaran!” kelakar netizen.
Mimpi Presiden ‘Pro Wong Cilik’ VS Realita ‘Wong Cilik Tak Bisa Pulang
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam sebuah kegiatan pernah berjanji memangkas harga tiket.
Tapi rakyat Pulau Kalimantan tepatnya Pontianak masih menunggu: “Mending janjinya dikirim via pesawat drone, biar cepat nyampe!” canda Wawan.
Solusi Konkret
Potong pajak avtur & sparepart sampai level ASEAN. Beli pesawat bekas dari gudang di Amerika Serikat dan Eropa—ribuan pesawat nganggur, tapi kita malah sewa mahal.
Bubarkan mafia tiket, bukan cuma Razia Kecil-Kecilan. Subsidi rute padat dengan margin rute premium Jakarta-Bali. Tapi semua ini masih jadi ilusi.
“Negara ini bisa bikin pesawat kepresidenan mewah, tapi rakyatnya cuma bisa nge-share meme ‘tiket mahal’ sambil nangis di kamar,” tukas Ahmad Syafii.
Kemerdekaan Terbang Hanya Untuk yang Kantongnya Tebal
Di akhir cerita, pertanyaan Wawan menggantung: “Kalau buat pulang saja harus menjual ginjal, apa arti kemerdekaan?”
Jawabannya mungkin ada di kolom komentar Instagram Kemenhub—yang selalu dibaca tapi tak pernah ditanggapi.
Atau, seperti kata netizen: “Merdeka itu harga tiket Rp8 juta, tapi kita tetap bisa ketawa sambil nge-zoom keluarga dari kosan.”
Selamat tinggal, hak pulang. Selamat datang, drama tiket mahal musim depan yang tidak kunjung mampang!.
Laporan investigasi ini dibuat berdasarkan data faktual demi menyoroti absurditas kebijakan. (*Wan/SPL/Red)