Hina Wartawan, Forum Wartawan & LSM Kalbar Indonesia : COPOT SEGERA Menteri Desa Yandri Susanto!

0
1
Sekretaris Jenderal Forum Wartawan & LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi/fOTO : iST.

HUKUM | POLITIK

“Menteri Desa Yandri Susanto memicu kontroversi dengan menyebut wartawan dan LSM sebagai “Bodrex” yang “mengganggu” kepala desa. Pernyataan ini memantik kecaman Forum Wartawan & LSM Kalbar hingga menuntut Presiden Prabowo segera mencopot Yandri. Simak analisis lengkap dampak pelecehan profesi, rencana aksi demo 3 Februari 2025, dan potensi konflik antara pemerintah dengan insan pers. Apakah Prabowo akan bertindak tegas atau diam saja?”

Sanggau | KALBAR | Lapan6Online : Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDT) Yandri Susanto menjadi sorotan setelah membuat pernyataan kontroversial yang dinilai melecehkan profesi wartawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Dalam rapat kerja yang terekam dan viral di media TV serta sosial, Yandri menyebut wartawan dan LSM sebagai “Bodrex” yang kerap “mengganggu” kepala desa dengan meminta dana hingga Rp1 juta per desa.

Pernyataan ini memantik reaksi keras dari kalangan jurnalis dan aktivis, termasuk Sekretaris Jenderal Forum Wartawan & LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi, yang menuntut Presiden Prabowo Subianto segera mencopot Yandri dari jabatannya.

Aksi demonstrasi pun direncanakan digelar di Kantor Kemendes pada 3 Februari 2025.

Pernyataan Kontroversial Yandri Susanto dan Buntut Kecaman
Dalam rapat internal Kementerian Desa, Yandri Susanto secara terbuka menyatakan:

“Yang paling banyak mengganggu Kepala Desa itu LSM & Wartawan Bodrex. Mereka mutar itu, hari ini minta 1 juta. Bayangkan kalau 300 desa, 300 juta. Kalah gaji Kemendes, kalah gaji menteri!”

Statemen ini dianggap sebagai bentuk stigmatisasi massal terhadap insan pers dan LSM yang selama ini berperan mengawal transparansi pembangunan desa. Sekretaris Jenderal Forum Wartawan & LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi mengecam keras sikap Yandri:

“Tidak pantas seorang pejabat publik menyamakan wartawan dengan ‘Bodrex’. Ini pernyataan serampangan dan tidak profesional, bahkan masuk kategori pelecehan profesi.”

Wawan menegaskan bahwa tuduhan Yandri bersifat tendensius dan mengabaikan fakta bahwa mayoritas jurnalis bekerja sesuai kode etik.

“Jika pun ada oknum yang melenceng, itu tidak bisa digeneralisasi. Sama seperti pejabat yang korupsi—itu oknum, bukan representasi seluruh abdi negara,” tegasnya.

Dampak dan Implikasi Stigma Memecah Koordinasi Pemerintah-Masyarakat
Pernyataan Yandri bukan sekadar masalah ketidaksetujuan, melainkan berpotensi merusak sinergi antara pemerintah desa, LSM, dan wartawan. Padahal, kolaborasi ini vital untuk memastikan dana desa Rp72 triliun (APBN 2025) tersalurkan secara akuntabel.

Ironisnya, Yandri justru menyerang pihak yang berfungsi sebagai check and balance, alih-alih fokus memberantas korupsi di internal kementeriannya sendiri.

Jika 300 desa benar-benar dimintai Rp1 juta oleh oknum, totalnya hanya Rp300 juta—jumlah yang tidak sebanding dengan kasus korupsi dana desa yang kerap mencapai miliaran rupiah.

Misalnya, pada 2023, Kejaksaan Agung menangani 17 kasus korupsi dana desa dengan kerugian negara Rp187 miliar.

Jadi, alih-alih menyoroti oknum, Yandri justru menciptakan musuh imajiner yang mengalihkan isu dari akar masalah: pengawasan internal yang lemah.

Pelecehan Hukum UU Pers Nomor 40/1999 Dilangkahi?
Wawan mengingatkan bahwa profesi jurnalis dilindungi Undang-Undang Pers Nomor 40/1999. Pasal 4 ayat (2) UU tersebut menyatakan:

“Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”

Selain itu, Pasal 18 ayat (1) menjamin perlindungan hukum bagi wartawan yang menjalankan tugas secara profesional.

“Melecehkan wartawan sama saja melecehkan UU yang menjadi payung hukum kami. Ini membuka pintu permusuhan, padahal kami ingin bersinergi membangun desa,” tegas Wawan.

Tuntutan Pencopotan dan Aksi Massa 3 Februari 2025
Sekretaris Jenderal Forum Wartawan & LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi tidak hanya menuntut permintaan maaf, tetapi juga pencopotan Yandri Susanto.

“Presiden Prabowo harus bertindak tegas. Jika orang lain keras, kami harus lebih keras,” ujar Wawan.

Dukungan terhadap rencana aksi di Kantor Kemendes pun mengalir dari berbagai daerah, menandakan eskalasi konflik yang berpotensi memanas.

Aksi protes keras ini akan diisi dengan orasi tentang “Pejabat Bodrex”, serta penyerahan petisi berisi tiga tuntutan:

  1. Pencopotan Yandri Susanto sebagai Mendes PDT.
  2. Permintaan maaf resmi ke seluruh wartawan dan LSM Indonesia.
  3. Komitmen Kemendes meningkatkan transparansi dana desa.

Diamnya Yandri vs Gebrakan Presiden Prabowo Subianto
Hingga berita ini ditulis 2 Februari 2025, Yandri Susanto belum memberikan klarifikasi atau permintaan maaf.

Sikap diamnya memperkuat anggapan bahwa dia abai terhadap prinsip komunikasi pemerintahan yang sehat.

Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada ujian pertama dalam mengelola konflik internal Kabinet Merah Putih.

Sebagai pemimpin yang kerap menggaungkan “persatuan nasional”, Presiden Prabowo Subianto dituntut mengambil sikap adil tanpa tebang pilih.

Perspektif Historis Pelecehan Profesi Jurnalis dalam Catatan Reformasi
Ini bukan pertama kalinya pejabat publik melakukan verbal attack terhadap wartawan.

Pada 2020, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo juga memojokkan jurnalis dengan menyebut “wartawan kok nggak paham data”.

Namun, kasus Yandri lebih parah karena melibatkan stigmatisasi sistematis dan ancaman kriminalisasi melalui ajakan “ditangkapi saja” ke kepolisian.

Antara Kebebasan Pers dan Tanggung Jawab Pejabat
Konflik ini mengingatkan kembali bahwa kebebasan pers adalah pilar demokrasi. Alih-alih memusuhi, pejabat harus membuka ruang dialog untuk menyelesaikan masalah.

Jika tidak, aksi 3 Februari 2025 hanya akan menjadi awal dari gelombang ketidakpercayaan publik yang lebih besar. (*Rls/Saepul/Red)