Budaya Korupsi Makin Menjamur, Bukti Kesalahan Sistem!

0
6
Foto : Net

OPINI | HUKUM | POLITIK

“Konsep kepemimpinan seperti ini membuka peluang terjadinya korupsi secara sistemik. Baik berbagai bidang level jabatan serta para pemilik modal yang mendapatkan projek dari Negara,”

Oleh : Suci Syahfitry

KASUS korupsi di negeri ini semakin hari semakin merajalela. Hal ini membuktikan lemahnya lembaga yang bertanggungjawab menangani, tidak sungguh-sungguh bahkan terkesan membiarkan begitu saja tindak korupsi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak serius menangani korupsi.

Sepanjang tahun 2024 hingga awal 2025 saja sudah mencuat kasus mega korupsi yang dilakukan oleh para petinggi BUMN diantaranya PT Pertamina dengan kasus pertamax oplosan yang merugikan negara hampir 200 T per tahunnya, menyusul Kasus Viral Dugaan Korupsi PLN Rugikan Negara Hingga 1,2 Triliun, PT Timah dengan kerugian 271 T dan masih banyak kasus-kasus korupsi lainnya yang nilainya amat sangat besar dan merugikan negara.

Hal ini memperjelas kinerja penegak korupsi seperti KPK telah membuktikan bahwa hukum di negeri ini tidak punya kuasa. Bahkan cenderung lepas tanggung jawab apalagi pada mereka yang berkedudukan sekalipun telah melakukan korupsi yang merugikan banyak pihak. Keberadaan lembaga tersebut tak lebih dari formalitas belaka karena tak berfungsi semestinya.

Kasus korupsi yang terjadi di negeri ini bukan hanya terletak pada amoralnya individu pejabat maupun lembaga penegak KPK saja melainkan sistem yang diterapkan. Realitanya negara ini menerapkan sistem kapitalisme yang orientasi berkepemimpinan hanya meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya.

Sehingga, konsep kepemimpinan seperti ini membuka peluang terjadinya korupsi secara sistemik. Baik berbagai bidang level jabatan serta para pemilik modal yang mendapatkan projek dari negara.

Sistem kapitalisme yang mengadopsi sistem politik demokrasi secara konsep kedaulatan hukum ada di tangan manusia, sehingga para pejabat bisa mengotak-atik hukum yang dibuat hanya sesuai kepentingan saja.

Sebaliknya jika dilakukan secara praktek, demokrasi adalah sistem politik yang mahal, di sinilah terjadinya peluang korupsi itu. Mirisnya lagi sistem demokrasi membuka peluang para oligarki memodali pemilihan wakil rakyat dan pejabat. Sehingga, siapapun yang jadi pemimpin pasti akan tunduk pada pemilik modal/oligarki dan pada akhirnya negara lemah dihadapan oligarki.

Maka sudah bisa dipastikan semua kebijakan negara dibuat untuk menguntungkan pemilik modal. Sementara itu para pejabat negara memanfaatkan kekuasaannya untuk mengembalikan modal dengan cara-cara yang culas, seperti korupsi dan cara yang lain. Alhasil lagi-lagi rakyat menjadi korbannya.

Dalam sistem demokrasi pembebasan korupsi tidak dilakukan dengan sepenuh hati dan sanksi yang diberikan tidak memberikan efek jera bagi pelakunya.

Korupsi adalah persoalan sistematis, tentunya memerlukan solusi yang bersifat sistemastis pula. Islam sebagai agama yang sempurna tentunya memiliki sejumlah mekanisme yang mampu mengatur semua aspek kehidupan termasuk pemberantasan korupsi.

Pertama, dijadikannya akidah sebagai landasan kehidupan. Akidah Islam akan melahirkan individu-individu yang taat pada perintah Allah Swt. Hal inilah yang akan menjadikan seseorang mempunyai kontrol pada dirinya agar senantiasa berperilaku sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Swt. Mereka akan menjauhi praktik korupsi yang mana hal tersebut mengundang murka Allah.

Kedua, sistem politik Islam akan menghasilkan para pejabat yang bervisi pelayan umat. Mereka akan senantiasa amanah dalam menjalankan fungsinya sebagai pengurus rakyat. Hal itu karena Allah membenci penguasa yang tidak amanah. Sebaliknya, Allah Swt sangat mencintai pejabat yang memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan adil.

Selain itu, sistem politik dalam Islam tidak berbiaya mahal dan sangat simpel. Kepemimpinannya bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan semua pejabat adalah wewenang Khalifah. Tidak akan ada praktik politik transaksional “jual beli” jabatan yang saat ini lumrah ada dalam sistem demokrasi.

Ketiga, sanksi dalam sistem Islam menjerakan. Takzir adalah hukuman bagi pelaku korupsi. Bentuk dan kadar sanksinya didasarkan pada ijtihad khalifah atau qadi. Pada masa Umar bin Khathab, para pelaku akan disita hartanya, diekspose (tasyhir), penjara, hingga hukuman mati jika sampai menyebabkan dharar bagi umat dan negara.

Demikianlah solusi menyeluruh pemberantasan korupsi dalam sistem Islam. Solusi tepat hingga mampu menyelesaikan setiap permasalahan hingga ke akarnya. Alhasil akan terwujud pemerintahan yang bersih sehingga melahirkan kehidupan umat manusia yang adil dan sejahtera. Semua itu akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh (kaffah). (**)

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah

Disclaimer :
Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan Lapan6Online.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi Lapan6Online.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.