OPINI | POLITIK
“Program JKP tidak melulu tentang uang tunai bisa berupa pelatihan atau upgrading skill sehingga rakyat berharap bahwa kebutuhannya terpenuhi hanya sekadar impian belaka atau ilusi,”
Oleh : Alin Aldini,
NASIB buruh di Indonesia semakin terjepit, nasib rakyat hari ini dipertaruhkan dengan resesi ekonomi yang sudah terjadi sejak masa pandemi. Kehidupan semakin sulit dengan harga-harga yang tinggi bahkan tidak terjangkau oleh rakyat kelas menengah karena badai PHK terjadi di mana-mana begitupun dengan pabrik yang sudah lama berdiri.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali menghantui Indonesia. Dua pabrik memutuskan menghentikan produksinya alias tutup, menyebabkan ribuan orang buruh terancam kehilangan sumber pendapatan. Kedua perusahaan itu adalah PT Sanken Indonesia yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat dan PT Danbi International di Garut, Jawa Barat. PT Sanken Indonesia bakal total menghentikan operasionalnya pada Juni 2025 nanti, menyebabkan 459 orang pekerja jadi korban PHK (cnbcindonesia.com, 20/2/2025).
Hal ini terjadi dampak dari efisiensi anggaran negara yang defisit karena daya beli masyarakat menurun padahal jika kita lihat daya beli masyarakat menurun, semata karena harga barang-barang tinggi termasuk kebutuhan pokok apalagi jelang Ramadan bahkan hingga nanti Idul Fitri.
Seperti yang terjadi di dalam sistem kapitalisme saat ini, perekonomian akan berjalan seiring dengan permintaan dari masyarakat, jika tidak ada permintaan maka tidak ada penawaran alias semua barang mahal. Sebaliknya jika permintaan banyak maka penawaran pun akan menjadi banyak dan produksi juga akan meningkat seharusnya lebaran menjadi momen ketika semua orang membutuhkan barang-barang tertentu termasuk bahan pokok maka seharusnya harga-harga menjadi murah bukan malah tinggi atau mahal.
Namun yang terjadi di sistem kapitalisme ini masyarakat terpaksa membeli barang-barang yang harganya mahal, kalau tidak terpaksa untuk gigit jari dan kecewa bahkan hidup sulit hanya untuk bertahan hidup. Begitu pun para buruh hanya dijadikan faktor industri yang tidak ada bedanya seperti; bahan baku, mesin, alat atau fasilitas industri semata.
Adapun solusi dari pemerintah terkait program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan jumlah 60% selama 6 bulan berasal dari gaji pokok yang sudah dipotong sebelumnya selama bekerja dan dengan batas atas upah Rp5 juta. Solusi ini sangat parsial dan tidak mencapai akar permasalahan bahwa urusan perut saja seharusnya diatur oleh negara bukan oleh perusahaan.
Ini adalah efek domino dari Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) bahwa program JKP tidak melulu tentang uang tunai bisa berupa pelatihan atau upgrading skill sehingga rakyat berharap bahwa kebutuhannya terpenuhi hanya sekadar impian belaka atau ilusi. Kesejahteraan rakyat pun tergadaikan oleh kementerian atau pejabat yang ‘gemuk’.
Mengapa tidak gaji mereka saja yang dipotong untuk memenuhi kebutuhan rakyat? Justru sebaliknya rakyat malah dipaksa memberi ‘makan’ para pejabat dengan kenaikan pajak. Jadi jurang kesenjangan ekonomi di dalam sistem kapitalisme saat ini sungguh-sungguh dalam.
Padahal, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyampaikan di dalam buku Sistem Ekonomi dalam Islam (Nizhamu Al-Iqtishadiyi fii al-Islam), ijarah (pengupahan) pada dasarnya adalah upaya seorang majikan (musta’jir) mengambil manfaat (jasa) dari seorang pekerja (ajir) dan upaya seorang pekerja untuk mengambil harta (upah) dari majikan. Artinya, ijarah adalah akad (transaksi) jasa dengan adanya suatu kompensasi.”
Berdasarkan hal ini, hubungan buruh dengan pengusaha adalah hubungan yang saling memberi kebaikan. Buruh memberi jasa dan pengusaha memberi upah. Keduanya saling tolong-menolong dalam aktivitas produksi. Kedudukan keduanya setara sehingga tidak ada kezaliman antara satu dengan yang lain.
Sedangkan hubungan negara dengan buruh adalah hubungan ri’ayah (pengurusan urusan rakyat), demikian pula hubungan negara dengan pengusaha. Negara berfungsi sebagai raa’in (pengurus rakyat) sehingga wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat, termasuk buruh, berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan demikian, tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok rakyat ada di tangan negara, bukan pengusaha (muslimahnews.net, 28/02/2025).
Rasulullah SAW bersabda, “Imam adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dia pimpin” (HR Al-Bukhari).
Perlu diingat, Islam tak hanya mengatur ibadah spiritual tetapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan, salah satunya dalam perekonomian. Maka, sistem ekonomi Islam membutuhkan sistem politik yang benar agar bisa diterapkan secara keseluruhan di dalam kehidupan sehari-hari.
Pemerintah seharusnya selain mampu menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis juga wajib memberikan jaminan kebutuhan pokok; seperti sandang, pangan, dan papan serta lapangan pekerjaan bagi warga negaranya.
Sehingga masyarakat bisa fokus untuk menjalankan ibadah di bulan suci Ramadan ini tanpa harus berpikir untuk bertahan hidup bukan hanya hingga hari lebaran nanti. Kesempurnaan Islam hanya akan terasa jika sistem Islam ditegakkan dalam sebuah negara, jika bukan Khilafah lalu negara mana lagi yang mampu menerapkan sistem tersebut? [**]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Disclaimer :
Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan Lapan6Online.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi Lapan6Online.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.