Ada Apa di Balik Tes Wawasan Kebangsaan KPK?

0
30
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

OPINI

“Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK baik terhadap individu-indidivu maupun institutis KPK dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes,”

Oleh : Albayyinah Putri S.T.,

TWK atau tes wawasan kebangsaan yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), baru-baru ini menyita perhatian masyarakat bahkan banyak peserta yang mengadukan keluhan atas pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam tes tersebut.

Beberapa pertanyaan yang tidak lazim seperti permasalahan pernikahan, pacaran berapa kali, perihal LGBT, sampai dengan masalah doa qunut. Ada apa di balik tes wawasan kebangsaan KPK?

Albayyinah Putri S.T.,/Foto : Ist.

Dilansir dari solopos.com, Tata salah satu pegawai KPK menyampaikan ketidaknyamanannya atas pertanyaan pada TWK tersebut, “Untuk part status pernikahan, saya memang tidak nyaman, tapi saya berusaha jawab apa adanya. Dijawab dengan singkat-singkat saja. Selain pertanyaan tentang implementasi pancasila, pertanyaan lain ditanyakan tanpa ada relevansi dengan pekerjaan atau pendalaman pancasila, UUD 45 dan lain-lain,” ujarnya.

Bahkan ada pertanyaan mengenai kesediaannya melepas jilbab atau tidak, dikutip dari kompas.com, Fadli Zon mengutarakan pernyataannya perihal tersebut “Pertanyaan-pertanyaan seperti soal jilbab dan keyakinan beragama ini jelas pelanggaran terhadap konstitusi dan HAM,” tulis Fadli Zon melalui akun twitter-nya.

Banyak yang berpendapat pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam TWK tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebangsaan sama sekali sehingga banyak peserta yang heran terhadap soal-soalnya.

Hal ini pun menjadi pertanyaan siapa sebenarnya yang membuat soal ini, Ketua KPK Firli Bahuri dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana yang dmintai tanggapannya juga belum memberikan tanggapan mengenai hal ini. Sedangkan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo membantah Kemenpan-RB dan BKN terlibat tes TWK di KPK.

Dilansir dari detik.com, tes wawasan kebangsaan bertujuan untuk menguji seberapa baik wawasan dan pengetahuan calon ASN tentang Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggakl Ika, NKRI, Nasionalisme, Bahasa Indonesia dan wawasan pilar negara.

Buntut dari TWK ini 75 pegawai senior KPK terancam di-nonaktifkan alias disingkirkan. Padahal dalam 75 pegawai tersebut di antaranya adalah orang-orang yang menangani beberapa kasus-kasus korupsi besar.

Walaupun pada akhirnya Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan mengenai di nonaktif-kannya 75 pegawai KPK ini. Menurutnya hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK baik terhadap individu-indidivu maupun institutis KPK dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes.

Kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat masih ada peluang untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan, dan perlu segera dilakukan langkah-langkah perbaikan untuk level individual maupun organisasi. (detik.com 17/05/21).

Namun di balik permasalahan itu semua, ternyata ada beberapa sasaran yang dilakukan pada saat diadakannya TWK ini. Ada pertanyaan mengenai jilbab, ketika peserta lebih memilih tidak melepas jilbab dianggap lebih mementingkan dirinya sendiri dibanding negara. Selain itu pertanyaan-pertanyaan mayoritas didominasi dengan pertanyaan seputar FP1 dan HT1.

Hal ini semakin menguatkan bahwa isu radikalisme masih menguat ditubuh KPK digunakan kelompok tertentu demi melemahkan kinerja KPK untuk membasmi para koruptor.

Semakin ke sini, isu radikalisme terus dijadikan senjata agar masyarakat khawatir terhadap agamanya sendiri. Bukannya meluruskan untuk menjadi Muslim yang kaffah tetapi malah membelokkan agar menjadi Muslim yang Moderat.

Radikalisme terus menerus dibenturkan dengan ajaran Islam moderat. Islam moderat dianggap lebih nasionalis dan cinta tanah air dibanding kelompok orang-orang radikal.

Padahal jika dilihat, kelompok atau orang-orang yang dicap radikal ini hanyalah sekelompok orang yang ingin berislam secara kaffah dan ingin menyempurnakan ketaatannya kepada Allah SWT.

Lebih lucu lagi, isu ini digunakan untuk melemahkan kinerja KPK yang tugasnya memberantas korupsi, sehingga bisa dianggap para koruptor dilindungi sedangkan orang-orang yang anggap radikal terus dipukul.

Sampai sini kita memahami, sampai kapan pun sistem kapitalisme akan mempertahankan eksistensinya dengan cara apa pun bahkan dengan menghalalkan berbagai macam cara, sekalipun harus memukul sekelompok orang yang berprinsip sesuai dengan agamanya.

Freedom of speech yang merupakan prinsip turunan kapitalisme tidak lagi berlaku bagi mereka yang punya prinsip bertolak belakang dengan kapitalisme.

Islam ideologis menjadi musuh terbesar kapitalisme, karena memang Islamlah yang mampu menyelesaikan segala permasalahan masyarakat yang ditimbulkan oleh kapitalisme itu sendiri dan Islamlah yang mampu memukul balik sistem kufur ini.

Penerapan syariat Islam di tengah-tengah umat satu-satunya cara untuk menghapus problematika umat. Korupsi yang menjadi concern pembahasan ini juga mampu diselesaikan dengan hukum Islam, karena tidak ada tebang pilih terhadap para koruptor baik itu penjabat tinggi atau sekadar karyawan biasa.

Kebijakan yang dibuat dalam sistem Islam semua berlandaskan hukum Allah SWT, karena segala penerapan hukum itu pun kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, seperti dalam Firman Allah SWT yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.” (TQS an-Nisa: 135). [*]

*Penulis Adalah Alumnus Politeknik Negeri Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini