OPINI | RELIGI | POLITIK
“Selama ini kasus penistaan agama acap kali terjadi, bahkan terhitung berulang kali. Namun mirisnya berbagai kasus yang terjadi hanya diakhiri dengan permintaan maaf semata, belum memdapatkan hukuman yang setimpal,”
Oleh : Puput Hariyani, S.Si
BELAKANGAN ini publik dibuat geram oleh pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang membandingkan azan dan gonggongan anjing. Tak sepantasnya seorang muslim apalagi dikenal sebagai tokoh umat melempar pernyataan yang mengundang amarah di tengah masyarakat.
Sebelumnya netizen sempat memberikan kritikan keras terhadap Pak Menteri yang mengatakan bahwa penggunaan pengeras suara di masjid harus diatur agar tidak mengganggu umat agama lain. Dalam pernyataan tersebut, Yaqut mengibaratkan gonggongan anjing yang dianggap kerap mengganggu kehidupan bertetangga (CNNIndonesia.com).
Pernyataan yang sangat disayangkan. Alih-alih bisa menumbuhkan keharmonisan umat, yang ada malah justru membuat kisruh.
Banyak pihak yang mempertanyakan apakah tidak ada lagi analogi yang lebih santun dengan menyandingkan kata “toa” yang dipergunakan untuk adzan dengan “gonggongan anjing”.
Kritikan lain datang dari akun @darbulax yang menyebut pernyataan Yaqut sebagai sebuah penistaan agama. Hal ini jelas tampak merupakan sebuah pelecehan serta penodaan yang nyata.
Selama ini kasus penistaan agama acap kali terjadi, bahkan terhitung berulang kali. Namun mirisnya berbagai kasus yang terjadi hanya diakhiri dengan permintaan maaf semata, belum memdapatkan hukuman yang setimpal.
Sehingga ini hari kita tak asing lagi jika Tuhan, Nabi, Islam, ajaran agama dijadikan sebagai bahan lelucon, candaan atau penghinaan yang tidak bermutu.
Pertanyaan penting yang semestinya dipahami oleh seluruh masyarakat juga penegak hukum negeri ini, mengapa kasus penistaan agama berulang dan pelaku tidak kunjung jera?
Berdasarkan catatan penulis hal ini mengerucut pada 3 hal penting:
Pertama, menjamurnya kasus penodaan agama karena sebuah landasan kebebasan. Kebebasan berpendapat dan bertingkah laku menjadi akurasi kebenaran bagi pelaku. Kebebasan ini lahir dari rahim sekulerisme, paham yang menempatkan agama hanya di sudut masjid dan membuang aturan kehidupan yang lahir dari Tuhan.
Kedua, tidak adanya tindakan tegas dari penegak hukum. UU Penodaan agama yang selama ini dijadikan tameng nyatanya belum efektif memberantas “kesembronoan” oknum yang menaruh kebencian terhadap Islam dan ajarannya. Lemahnya penegakan hukum negeri ini sekaligus mengkonfirmasi betapa lemahnya peran negara dalam melindungi marwah agama.
Ketiga, absennya kepemimpinan Islam sehingga peran aparat hari ini dinilai sangat lamban dan pasif dalam menghentikan kasus yang membahayakan keharmonisan kehidupan umat beragama.
Kepemimpinan Islam akan memastikan terselenggaranya kehidupan yang adil dan beradab melalui penerapan syari’at secara menyeluruh dalam kehidupan termasuk dalam memelihara dan menjaga kesucian agama.
Islam memiliki hukuman yang tegas bagi pelaku pelecehan agama sehingga efek jera dirasakan dan pelaku “kapok” untuk mengulangi kembali serta menjadi pelajaran bagi yang lainnya untuk berfikir ribuan kali ketika hendak melakukan pelecehan serupa.
Kaum muslimin memiliki teladan kepemimpinan yang tegas dan berwibawa. Ketika Sultan Abdul Hamid II secara lantang menanggapi pelecehan agama dengan memanggil duta besar Prancis yang membuat teater melecehkan Nabi, “Akulah Sultan Abdul Hamid Pemimpin Kaum Muslim akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika pertunjukan itu tidak diberhentikan!
Tidakkah kita merindukan pemimpin yang tampil sebagai junnah (pelinding) bagi kaum muslimin dan kemuliaan agama?
Pemimpin yang demikian hanya akan lahir dari keshalihan sistem aturan yang diterapkan, aturan apalagi kalau bukan Islam?
Ayat Allah dalam Al Maidah 50 cukup menjadi sebuah renungan dan muhasabah bagi seluruh umat.
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” Wallahu’alam bi ash-showab. (*)
*Penulis Adalah Pendidik Generasi