OPINI | POLITIK
“Kasus Papua ini memang tidak setragis kasus Rafa. Namun, rakyat Papua khususnya suku Awyu dan suku Moi sedang menghadapi kezaliman luar biasa,”
Oleh : Elmira Fairuz Inayah,
GERAKAN All Eyes of Papua ramai di media sosial pada Juni kemarin, gerakan ini muncul setelah gerakan All Eyes on Rafa. Dukungan untuk Papua tersebut bermunculan usai pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung di Jakarta, suku Awyu dan suku Moi sama-sama tengah terlibat dalam gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit.
Mereka tengah berjuang mempertahankan hutan mereka. Tak hanya berdampak bagi masyarakat adat, rencana operasi perusahaan sawit juga berdampak bagi komitmen Indonesia dalam mencapai target net zero emission di tahun 2060.
Berkali-kali perwakilan mereka melakukan aksi di depan gedung Mahkamah Agung Jakarta pusat. mereka datang dari Papua dengan perjuangan yang tidak mudah. Dalam aksinya mereka didampingi para aktivis mahasiswa dan berbagai organisasi yang tergabung dalam organisasi masyarakat sipil peduli Papua. Kasus Papua ini memang tidak setragis kasus Rafa. Namun, rakyat Papua khususnya suku Awyu dan suku Moi sedang menghadapi kezaliman luar biasa.
Ironisnya, pelaku utama perampasan ini adalah negara. Semestinya negara memberikan perlindungan pada rakyatnya bukan menyerahkan harta milik mereka secara sepihak kepada para pengusaha. Lebih dari 36 ribu hektare tanah adat milik suku Awyu di Boven Digoel misalnya, akan dibabat habis untuk perkebunan sawit milik PT Indo Asiana lestari (PT IAL).
Bahkan dikatakan tanah Papua sebagai garda terakhir hutan primer di Indonesia setelah Kalimantan dan Sumatera. Hutan di Indonesia sudah terancam ekosida akibat pembangunan perusahaan raksasa. Meski pemerintah beralasan hal itu untuk menggenjot perekonomian nasional, faktanya rakyat Papua justru menderita.
“Kalau hutan adat hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” Kalimat yang dikatakan Fiktor Klafiu, perwakilan Masyarakat Adat Moi Sigin ini boleh jadi mewakili kesedihan mendalam yang sedang dirasakan rakyat Papua. Mereka benar-benar sedang berduka, bahkan nyaris putus asa. Ruang hidup yang tersisa terus direbut paksa demi memuaskan kerakusan para pengusaha.
Inilah konsekuensi kepemimpinan sekuler demokrasi kapitalis yang abai terhadap aspek dan lingkungan. Berbeda sekali dengan penerapan Islam yang benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan penjaga umat. Bukan penjaga kepentingan segelintir orang.
Saat ini Papua membutuhkan kepemimpinan Islam. Apa yang terjadi di Papua dan wilayah Indonesia lainnya merupakan konsekuensi logis dari kepemimpinan yang berparadigma sekuler demokrasi kapitalis neoliberal.
Kepemimpinan seperti ini hanya fokus pada target akumulasi modal atas nama pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, melupakan aspek kemanusiaan dan visi penjagaan alam dan lingkungan. Kepemimpinan seperti ini dipastikan minus dari sisi ruhiyah. Mindset para penguasa dan pengusaha sama-sama dikooptasi oleh kerakusan terhadap materi semata. Halal haram tidak mendapatkan tempat. Semua hal dilabrak walaupun harus menzalimi rakyat.
Kondisi seperti ini tidak akan terjadi jika umat diurus oleh kepemimpinan Islam. Pasalnya, kepemimpinan Islam tegak di atas asas keimanan dan dipagari oleh hukum Islam sebagai jalan dan solusi kehidupan. Terbukti belasan abad kepemimpinan Islam tegak, dunia Islam diliputi kesejahteraan dan keberkahan yang tiada bandingan.
Will Durant seorang sejarawan Barat, dalam bukunya yang dia tulis bersama istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, bahkan menyebutkan, “para Khalifah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan.”
Ketika kehidupan ini diatur oleh kepemimpinan Islam, semua kekayaan alam yang Allah berikan menjadi modal mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Oleh karenanya, kekayaan alam yang ada di Papua akan diurus dengan sebaik-baiknya sampai tiap jengkal tanah, air dan udara yang ada di sana akan memberi kebaikan dan keberkahan bagi seluruh umat manusia, bukan malah jadi sumber bencana seperti sekarang. [**]
*Penulis Adalah Pelajar di Depok