Jakarta, Lapan6online.com : Sejak awal ekonomi Indonesia di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) diprediksi bakal ambruk. Sejumlah ekonom mengkritik keras Tim ekonomi Jokowi yang dinilai tidak becus mengurus ekonomi Indonesia, terlebih dengan utang negara yang sangat besar.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah berada di posisi Rp 16.495 per dolar AS, pada perdagangan hari ini Selasa (24/3/2020). Hal ini menjadi tanda adanya ketidakberesan pengelolaan ekonomi di tangan tim ekonomi Jokowi.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, anjloknya nilai tukar rupiah merupakan permasalahan fundamental ekonomi yang rapuh.
“Iya ini kan masalahnya ada di fundamental ekonomi yang rapuh. Kenaikan dolar yang begitu cepat sebenarnya alarm bahwa ada yang tidak beres dari pengelolaan ekonomi domestik,” ucap Bhima Yudhistira, seperti dikutip RMOL.id sebagiamana diberitakan Gelora.co, Selasa (24/3/2020).
Apalagi, sejak 23 Februari 2020, rupiah terdepresiasi sebesar 18,84 persen dari Rp 13.776 ke Rp 16.643 per dolar AS. Hal itu berbanding jauh dengan ringgit Malaysia yang hanya terdepresiasi sebesar 6 persen dari 4,19 ke 4,4 per dolar AS.
“Kalau dibandingkan bukan hanya kalah dengan Malaysia, tapi juga Thailand bath melemah 3,7%, dolar Singapura 4%, Yuan 1,25%, tapi Indonesia melemahnya keterlaluan sampai 18,84% dalam sebulan terakhir. Ini kan gawat,” tegas Bhima.
“Artinya, tim ekonomi Jokowi ini menganggap enteng dalam membenahi faktor fundamental ekonomi,” pungkasnya.
Atasi Krisis Seperti 2008 Lalu
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku tengah memantau perkembangan kondisi ekonomi Indonesia terkini di tengah pandemi virus corona atau Covid-19 dengan protokol yang diterapkan saat terjadi krisis keuangan pada 2008-2009. Namun, ada beberapa modifikasi pada protokol tersebut.
“Saat ini kami terus memantau dengan protokol yang sama di 2008-2009,” ujar Sri Mulyani, seperti dikutip Lapan6online dari situs CNN Indonesia, Jumat (20/3/2020).
Bendahara negara ini mengatakan pemantauan turut melibatkan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Pemantauan menyasar pada beberapa instrumen likuiditas di pasar keuangan.
Misalnya, dari sisi valuta asing (valas) dan surat utang korporasi. Kemudian, juga ke kemungkinan peningkatan rasio kredit bermasalah di perbankan (Non Performing Loan/NPL).
Namun, dia mengatakan ada beberapa modifikasi dari protokol pemantauan yang tengah digunakan. Pasalnya, ia melihat ada beberapa sasaran instrumen keuangan yang berbeda dari tekanan ekonomi pada masa krisis keuangan lalu.
“Dampak terbesar dari corona ke sektor keuangan adalah melalui suku bunga, nilai tukar, pinjaman yang mungkin macet, dan berbagai sentimen psikologis juga akan kami masukkan ke dalam protokol yang sedang kami tingkatkan. Kami tingkatkan level kewaspadaannya,” jelasnya.
(*/RedHuge/Lapan6online.com)