“Indonesia hanya memiliki dua alternatif pemasukan utama, dari berbagai jenis ragam pungutan pajak dan dari pembiayaan utang baik dari dalam ataupun luar negeri,”
Oleh : Nelly, M.Pd
Jakarta | Lapan6Online : Wabah pandemi covid-19 masih mewabah dan belum terlihat tanda kapan akan berakhir karena kebijakan para tuan puan yang kurang konsisten. Kondisi negeri makin tak menentu dengan kabar kas negara yang sedang menipis. Anggaran dana negara yang mengalami defisit.
Untuk masalah minimnya anggaran dana ini pemerintah berencana menerbitkan utang untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Angkanya diprediksi cukup besar, sekira hampir menyentuh angka Rp1000 atau sebesar Rp 990,1 triliun.
Defisit APBN memang diprediksi mencapai Rp 1.028,5 triliun atau setara 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB). Hal itu berdasarkan draf kajian Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berjudul Skema Pemulihan Ekonomi Nasional, (tribunnews.pontianak, 25/5).
Mempertegas masalah utang, pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini. DPR menyetujui peraturan pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi corona Disease 2019 (COVID-19) menjadi undang-undang (UU). Keputusan ini diambil mayoritas fraksi di DPR.
Dengan keputusan itu, maka DPR menyetujui pemerintah melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 5,07% terhadap PDB. Pemerintah juga harus mencari pembiayaan sekitar Rp852 triliun untuk menutupi defisit anggaran.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pengesahan tersebut menjadi landasan pemerintah dalam menanggulangi dampak COVID-19 terhadap ekonomi nasional. Pemerintah membutuhkan banyak dana demi menanggulangi dampak Pandemi corona alias COVID-19 dan melindungi perekonomian nasional.
Untuk memenuhi dana tersebut, pemerintah melebarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 ke level 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan draf kajian Kementerian Keuangan mengenai program pemulihan ekonomi nasional yang diperoleh detikcom, pemerintah hingga saat ini sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020.
Setelah pengesahan Perppu corona ini, pemerintah memiliki wewenang lebih besar (tanpa perlu restu DPR) untuk mencarai ‘jalan keluar’ atas problem defisit anggaran (APBN).
Dan bisa diduga bahwa jalan yang ditempuh adalah dengan utang kepada asing yang baru maupun penerbitan surat utang Negara. Kebijakan keduanya memiliki dampak buruk dan bahaya bagi fundamental ekonomi maupun kemandirian bangsa.
Lantas, apakah Indonesia masih mau menerima pinjaman utang dari mereka yang terbukti semakin membebankan kondisi negeri ini?
Tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis. Utang yang mengandung riba tersebut memiliki potensi bahaya politis atas negeri karena menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah. Utang semacam ini jelas hukumnya bertentangan dengan Islam. Sebab diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syariah dan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas negara.
Konsekuensi politis utang ini pun kentara dalam banyak kebijakan dan produk perundang-undangan. Selain itu, terus menerus menumpuk utang dengan beban bunga yang tinggi akan menjerumuskan negeri dalam jebakan utang riba (debt trap). Kedaulatan negara pun terancam.
Utang yang diterima negeri Muslim tidak menghasilkan apa-apa kecuali bertambahnya kemiskinan pada negara yang berutang.
Kalaupun diasumsikan utang-utang ini digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek produktif, menerima utang saja sudah sangat berbahaya terhadap eksistensi negara. Tujuan utang jangka pendek adalah untuk menghancurkan mata uang negara pengutang dengan membuat kekacauan moneter.
Adapun utang jangka panjang, maka utangnya akan menumpuk dan mengakibatkan kekacauan APBN. Lebih dari itu, utang-utang ini disertai dengan riba (interest).
Inilah dampak diterapkannya sistem kapitalis sekuler di negeri ini. Harusnya negara tidak akan defisit anggaran di mana diketahui Indonesia adalah negeri yang melimpah kekayaan alamnya.
Tidak harus berhutang kepada asing untuk membiayai negeri ini. Cukup kelola sendiri SDA, dan hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Namun karena negara dikelola dengan sistem kapitalis, semua kekayaan diserahkan pada asing.
Lalu bagaimana membiayai kebutuhan keuangan pembangunan tanpa terjerat utang dan investasi asing?
Jawabnya adalah kembali pada aturan sistem Islam. Di dalam Negara Islam, Bayt al-Mal sebagai contoh, merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak menerimanya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya, yang kaum Muslim berhak memilikinya sesuai hukum Islam, maka harta tersebut adalah hak Bayt al-Mal kaum Muslim.
Sistem keuangan negara di dalam pengaturan Islam telah terbukti berhasil mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi muslim dan non muslim selama beberapa abad. Pos-pos pendapatan dalam sistem keuangan Bayt al-Mal terdiri dari tiga pos pemasukan utama yang masing-masing rinciannya memiliki banyak ragam jenis pemasukan.
Pertama, bagian fayi dan kharaj. Fayi adalah salah satu bentuk pampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj.
Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari al-Shari‘ kepada jama‘ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.
Ketiga, sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing.
Kebijakan fiskal Bayt al-Mal akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif.
Pada zaman Rasulullah Saw, beliau membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar.
Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab ra. Beliau mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi) dan kota Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia).
Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah, sehingga orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik onta karena mereka bisa menyeberang dari Sinai langsung menuju Laut Merah. Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga menginstruksikan kepada Gubernur di Mesir untuk membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluarannya untuk infrastruktur.(Karim, Ekonomi Makro Islami)
Indonesia sebagai sebuah negeri yang dikaruniai berbagai sumber daya alam dalam jumlah potensi yang sebagian besarnya masuk dalam peringkat sepuluh besar di dunia, semestinya bisa menjadi negeri yang makmur dan sejahtera. Terlebih lagi dengan jumlah populasi penduduk yang sangat besar, jika dikelola dengan baik semestinya juga bisa menjadi faktor penggerak perekonomian yang potensial.
Namun, fakta yang terlihat pada kondisi keuangan negara saat ini adalah besarnya jumlah utang dalam APBN, yang berdampak pada besarnya defisit anggaran dari waktu ke waktu. Defisit yang terus terjadi ditutup lagi dengan andalan pembiayaan yang berasal dari utang, sehingga Indonesia semakin jauh masuk ke dalam perangkap utang (debt trap).
Dengan mekanisme kebijakan fiskal yang sedang dijalankan saat ini, Indonesia hanya memiliki dua alternatif pemasukan utama, dari berbagai jenis ragam pungutan pajak dan dari pembiayaan utang baik dari dalam ataupun luar negeri.
Dibutuhkan terobosan baru untuk mencari alternatif pemasukan yang inovatif, yang dalam kajian ekonomi juga berhasil menggerakkan roda perekonomian secara produktif.
Dalam kebijakan fiskal APBN Indonesia, pengelolaan sumber daya alam dilakukan bersama-sama oleh Indonesia dan swasta dalam contract production sharing. Dalam kebijakan fiskal Bayt al-Mal sumber daya alam dalam bentuk hasil laut, hasil hutan, hasil tambang adalah milik rakyat, bukan milik negara. Karena itu harus diolah, dimanfaatkan, atau dijual hasil pengelolaannya untuk kepentingan rakyat.
Maka untuk menjadikan negeri ini berjaya, menjadi negara yang berdaulat, adil dan makmur, sudah saatnya kembali pada aturan Allah SWT yang di contohkan baginda Rasul Muhammad Saw. dengan mengambil norma Islam dalam bidang Keuangan. GF/RIN/Lapan6 Group