OPINI | EKONOMI | POLITIK
“Pemerintah lebih memilih hitung-hitungan angka menurut kacamata kapitalisme untuk mempertahankan atau meningkatkan angka GNP perkapita. Kapitalisme mengenyampingkan fakta ril di lapangan,”
Oleh : Cucu Juariyah
MENGUTIP laman finance.detik.com (18/09/2022), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross National Product (GNP) perkapita Indonesia tahun 2021 sebesar Rp 62,2 juta. Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan pendapatan per kapita ini setara dengan US$ 4.349,5.
Menurut Margo, angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya yang mencapai sebesar US$ 3.934,5 atau sebesar Rp 57,3 juta, di mana angka GNP perkapita Indonesia ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Adapun data pendapatan perkapita sejak tahun 2018, adalah sebagai berikut:
Pada tahun 2018: Rp 56 juta atau setara dengan US$ 3.927,3. Tahun 2019: Rp 59,3 juta atau setara dengan US$ 4.192,8. Tahun 2020: Rp 57,3 juta atau setara dengan Rp 3.934,5. Sementara itu tahun 2021: Rp 62,2 juta atau setara dengan US$ 4.349,5.
Jika kita perhatikan dan mencari tahu mengenai kondisi ekonomi di Indonesia melalui media-media informasi, terutama yang sudah dikenal, akan kita dapati bahwa ekonomi negeri ini dalam keadaan baik-baik saja bahkan terus meningkat.
Namun jika kita melihat di media informasi lain, kondisi kelaparan dan kemiskinan masih terjadi di berbagai pelosok negeri ini.
Seperti dikutip laman detik.com (17/09/2022), peristiwa tragis terjadi pada Undang (42). Dia bernasib pilu usai rumahnya dirobohkan oleh rentenir. Hal itu terjadi usai warga Kampung Haur Seah, Cipicung, Banyuresmi, Garut itu tak bisa melunasi utang sang istri senilai Rp 1,3 juta.
Insiden penghancuran rumah milik Undang oleh rentenir itu terjadi hari Sabtu, 10 September 2022 lalu. Saat itu, sejumlah pekerja bangunan mendatangi Undang dan langsung membongkar rumah miliknya yang semi permanen tersebut.
Undang mengatakan, pembongkaran rumah tersebut berkaitan dengan utang sang istri kepada seorang rentenir yang kerap berkeliling di kampung tersebut. Sang istri, Sutinah, diketahui meminjam uang Rp 1,3 juta kepada rentenir untuk keperluan sehari-hari.
Bukti lainnya bahwa masyarakat di Indonesia banyak yang mengalami masalah kemiskinan adalah apa yang dinyatakan oleh Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University Drajat Murtianto yang mengungkapkan bahwa 50% penduduk Indonesia mengalami kelaparan tersembunyi (hidden hunger).
Dikutip laman Media Indonesia (15/10/2022), Hal itu disebabkan kekurangan zat gizi mikro berupa zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A dan zat gizi mikro lainnya.
Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan satu dari dua penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah dan sayuran yang mengandung zat gizi mikro. Mereka mengalami kelaparan tersembunyi.
Disebut kelaparan tersembunyi karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak, namun sesungguhnya dampaknya sangat besar. Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan dan imunitas. (IPB University, 18/9/2022).
Begitulah keadaan di negeri ini. Di satu sisi pemerintah menilai sukses dalam menjalankan pemerintahan karena berhasil menaikkan angka Gross National Product(GNP) Perkapita, sedangkan di sisi lain kebanyakan rakyatnya berada dalam kemiskinan dan kelaparan.
Tentu bukan hal sulit untuk mengetahui banyaknya masalah kemiskinan dan kelaparan di negeri ini. Bahkan di depan mata kita sendiri kerap dijumpai keadaan tetangga sekitar yang mengalami keterpurukan ekonomi dan sangat terhimpit.
Apalagi ditambah dengan kenaikan BBM yang belum lama ini terjadi, menjadikan karga kebutuhan dasar semakin melonjak naik. Di saat yang sama, GNP justru menyatakan pendapatan perkapita di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Klaim meningkatnya GNP perkapita suatu negara tidak sepadan dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat di negara tersebut. GNP perkapita adalah ukuran yang dipakai untuk mengukur berhasil tidaknya suatu pemerintahan yang menerapkan sistem kapitalisme lineral dalam kaitan mengatur urusan warganya.
Pada sistem kapitalisme, peningkatan ekonomi suatu negara adalah barometer penting yang menunjukkan sukses atau tidaknya para pelaku pemerintahan di negara tersebut. Sedangkan untuk mengetahui keadaan ekonomi suatu negara yang menerapkan sistem ini ukurannya berdasarkan Gross National Product (GNP) perkapita, yaitu produk nasional yang dibagi dengan jumlah penduduk dalam satu tahun.
Angka rata-rata (GNP) inilah yang dilihat untuk menilai suatu pemerintahan sukses atau tidaknya. Jika angka GNP perkapita suatu negara baik, maka keadaan ekonominya dinilai baik. Namun jika keadaan ekonominya dinilai baik, maka negara tersebut dinilai baik pula.
Selanjutnya, jika negara dinilai dalam keadaan baik, maka para pemangku kebijakan dinilai sukses dalam menjalankan pemerintahan.
Tentu hal tersebut memang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan setiap warganya. Karena angka GNP perkapita hanya menunjukkan angka rata-rata penghasilan warga pada suatu negara, tanpa mempertimbangkan pemerataan kesejahteraan bagi setiap individu yang hidup di dalamnya.
Hal tersebut bisa dilihat dari contoh sederhana berikut. Jika ada lima orang penduduk, satu orang pertama memiliki penghasilan Rp12 milyar per-tahun, dan 4 orang lainnya memiliki pendapatan Rp.10 juta per-tahun, maka nilai rata-rata pendapatan per-tahun dari kelima penduduk itu adalah Rp. 2,4 milyar per-tahun.
Menurut kacamata kapitalisme, perhitungan seperti ini dianggap sukses meningkatkan perekonomian negara. Padahal rakyat yang berpenghasilan Rp.10 juta per-tahun berada dalam keadaan miskin dan kelaparan. Karena yang berpendapatan 10 juta per tahun rata-rata perhari hanya mendapat di bawah Rp 30 ribu saja.
Jika ada dua orang warganya yang mati karena misalnya kekurangan gizi atau kelaparan maka GNP perkapitanya malah meningkat menjadi 4 milyar, karena warganya berkurang. Itulah bukti bahwa angka GNP tidak ada hubungan dengan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia saat ini mengadopsi sistem kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi secara nasional. Artinya pemerintah lebih memilih hitung-hitungan angka menurut kacamata kapitalisme untuk mempertahankan atau meningkatkan angka GNP perkapita. Kapitalisme mengenyampingkan fakta ril di lapangan.
Kapitalisme yang diadopsi tersebut hanya mampu meningkatkan GNP perkapita dengan cara memperlancar bisnis para pengusaha untuk memperbanyak pundi-pundi uang mereka. Di sisi lain, pelayanan masyarakat baik yang sulit mendapatkan sarana kesehatan, atau pun yang terhimpit hidupnya karena kelaparan tidak mendapat prioritas perhatian dari negara.
Hal ini tentu sangat tidak azas kemanusiaan yang tertuang dalam konstitusi negara. Kapitalisme hanya melihat keberhasilan dari suatu negara dengan ukuran materi belaka.
Sistem semacam ini akan merusak tatanan masyarakat serta alam sebuah negara yang mengadopsinya. Eksploitasi sumber daya alam kian masif, karena perijinan begitu dipermudah bagi para pengusaha besar.
Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan setiap individu rakyat, baik muslim atau pun nonmuslim.
Seseorang juga tidak dilarang memiliki banyak harta asalkan diraih dengan jalan yang halal. Seperti apa yang dilakukan salah satu sahabat Nabi yang terkenal yakni Abdurrahman bin Auf. Sekalipun demikian, harta yang dimiliki tidak untuk dinikmati bagi dirinya, keluarganya dan kelompoknya saja namun digunakan untuk kemaslahatan negara dan seluruh rakyat.
Untuk menciptakan kehidupan yang manusiawi, maka terlebih dulu harus mewujudkan pemerintahan yang memanusiakan manusia, yaitu pemerintahan yang rahmatan lil aalamiin agar dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat.
Kelestarian alam pun terjaga dengan baik, karena pengaturan serta pengurusannya didasarkan pada aturan Islam. Dengan demikian, setiap pemimpin dalam Islam hanya didasari atas dasar keimanan dan ketakwaan, sehingga saat meriayah suatu negara terwujudkah kesejahteraan yang merata di seluruh penjuru bumi.Wallahu a’lam bishawwab. [GF/RIN]
*Penulis Adalah Aktivis Muslimah