Oleh : Rahmayani Angkat
PASANGAN gay sekaligus aktivis homo di Georgia AS, William Dale Zulock Jr (33) dan Zachary Jacoby Zulock (35) didakwa atas kasus pelecehan seksual pada dua anak laki-laki berusia 9 dan 11 tahun yang mereka diadopsi.
Mengutip keterangan dalam laman Townhall, Jumat (20/1/2023) yang melakukan investigasi atas kasus ini, catatan pengadilan menunjukkan pelecehan seksual pada anak-anak adopsi William dan Zachary berlangsung pada akhir 2019,
Januari 2021, Maret 2021, dan Desember 2021. (Liputan.com 20/01/2023) William Zulock, seorang pegawai pemerintah, dan Zachary Zulock, seorang bankir, didakwa pada Agustus 2022 atas tuduhan inses, sodomi, yang diperparah penganiayaan anak, yang diperparah tindak pidana eksploitasi seksual anak-anak dan tindak pidana prostitusi anak di bawah umur.
Tetapi investigasi yang mengejutkan oleh media mengungkapkan secara lebih rinci pelecehan memuakkan yang diderita kedua anak laki-laki itu. Untuk pertama kalinya, terungkap bahwa pasangan gay tersebut diduga menjadi mucikari untuk putra mereka yang lebih besar, kini berusia 11 tahun, kepada dua pria lain dalam lingkaran paedofil. (Sindonews.com 21/01/2023).
Awalnya mereka merasa tidak merasa bersalah. Tapi bila ditinjau dari peraturan kebebasan negara yang mereka terapkan,bukankah wajar saja mereka melakukan tindakan keji itu? Bukankah ini yang mau didapatkan dari hasil aturan di negeri-negeri yang mengagungkan kebebasan itu?
Sungguh sangat menyedihkan, anak-anak yang notabenenya masih halus, lugu, dan lucu harus menerima perbuatan keji dari orang dewasa. Padahal, orang dewasalah sebagai pelindung, penjaga, dan pengasih bagi anak-anak. Apa yang dialami oleh kedua anak ini, sungguh akan berpengaruh bagi kehidupannya di masa depan.
Kejadian memilukan ini akan berdampak bagi pertumbuhan, perkembangan, dan psikologis kedua anak ini. Orang dewasa saja, mendengar berita ini, membuat merinding apalagi kejadian ini yang harus dirasakan mereka, bagaimana
rasa trauma yang akan menghampiri hidupnya? Apalagi, kalau tidak dilakukan upaya ekstra penyembuhan bagi mental si anak? Belum lagi, penyembuhan trauma memerlukan waktu yang cukup lama.
Anak-anak adalah manusia kecil yang masih murni, disayang, dan dijaga. Anak-anak butuh rumah, tempat berlindung, berkasih sayang, dan tempat yang hangat. Tapi, sayang kedua anak tersebut malah harus merasakan kebengisan orang dewasa.
Tinggal, dirumah yang menyeramkan bahkan tidak layak disebut rumah. Saat ini banyak orang yang fokus pada perbuatan kedua aktivis ini. Mereka mencemooh / memaki perilaku keduanya. Tanpa mau melihat lebih jeli lagi dan mau jujur untuk bersama-sama mencabut masalah ini dari akar-akarnya.
Manusia hari ini, tidak sadar, sibuk memangkas daun beracunnya. Tapi, tidak mau jujur mengakui dimana akar dan bibit daun beracun ini. Apalagi, sekelompok pihak yang berkepentingan terus saja menggencarkan pengalihan fokus masyarakat agar kehadiran penanam pohon beracun ini tidak disadari dan dimusnahkan.
Bila dijabarkan satu demi satu, maka terlihat peristiwa menyedihkan ini terjadi akibat keserakahan dan kebodohan manusia untuk meminta “kebebasan dalam berbuat, semaunya” dengan dalih HAM pada hal yang menjijikkan, mengacaukan keseimbangan kehidupan, menyalahi kodratnya sebagai manusia. Belum lagi, parahnya ternyata HAM hanya berlaku bagi orang-orang barat saja, orang yang pro terhadap peraturan barat, dan orang-orang yang memiliki modal.
Hidup di bumi, sudah diciptakan Allah antara adam dan hawa, dengan perannya yang sama-sama istimewa dan saling melengkapi. Namun, dengan angkuhnya manusia saat ini malah mencari adam dengan adam, yang sungguh jika dipikir dengan akal yang sehat, perbuatan itu sangatlah buruk dan hina. Kita akui, setiap manusia mempunyai latar belakang hidup yang berbeda, diasuh dengan pola yang berbeda, bahkan tak semua memiliki masa anak-anak yang menyenangkan dan orang-orang yang saying pada dirinya.
Rasa sakit hati, kecewa, semuanya memang akan selalu hidup bersama hati manusia. Tapi, pointnya kalau manusia sedang “sakit”, maka berobatlah, bukan malah mencari pembenaran dan mengkampanyekan “kesakitan ini.” Belum lagi, banyak influencer yang ikut menyuarakan kebebasan ini dengan alasan toleransi, HAM, dan lantang mengatakan mereka manusia.
Padahal, siapa yang mengatakan mereka tidak manusia? Justru, kalau mereka dianggap manusia, cara mencintainya adalah mengayomi untuk sembuh, menyemangati untuk sembuh dan negara tercinta ikut andil memberikan fasilitas penyembuhan, bukan malah sibuk mencari untung di tengah krisisnya hidup orang lain.
Para influencer yang sibuk mengkampanyekan kebebasan homo, lesbi, tanpa sadar mereka membantu untuk membuat hidup orang lain dan tatanan kehidupan, hancur. Perlu diteliti lebih cermat lagi, toleransi dan HAM itu digunakan untuk apa? Apakah saat saudara kita sedang sakit, dengan membiarkan ia “sekarat” itu yang namanya toleransi? Dengan orang lain melakukan “pembunuhan” terhadap dirinya itu yang namanya HAM? Bahkan, pemakaian dan konsepnya saja sudah sangat ambigu dan inkonsisten.
Belum lagi, orang-orang yang menyuarakan atas buruknya akibat dan dampak homo dan lesbi dibatasi, dikekang, dan dihujat. Mereka dianggap orang-orang yang tidak intoleran. Padahal, bentuk toleransi mereka yang salah sasaran.
Selain itu, terdapat negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis dengan alasan HAM, membiarkan film-film bergenre seperti ini memasuki dunia. Padahal, HAM seperti apa yang dimaksud? Apakah sebuah negara tidak mencintai masyarakatnya sendiri? Atau bahkan hanya mengambil keuntungan dari situasi yang terjadi? Di Indonesia memang pernikahan sesame jenis tidak dilegalkan.
Kalau sampai dilegalkan. Mungkin, kaum-kaum petinggi yang selalu
berteriak si paling pancasila harus dipertanyakan. Tapi, lihatlah dampak film bergenre homo dan lesbi yang saat ini mudah diakses, perbuatan buruk yang terus dipaksa untuk dibiasakan, sampai akhirnya membuat opini di tengah-tengah masyarakat “Udalah, itu hidup mereka selagi enggak rugiin kamu, biarin aja. Toh, negara maju saja izinin kok.”
Hari ini sudah banyak kerusakan yang terjadi di rumah tangga, suami istri yang menikah tanpa dibekali ilmu, iman, dan visi. Banyaknya rumah yang kering, berantakan, akibat buruknya pola pikir yang menyebar di tengah-tengah masyarakat.
Sekarang harus ditambah lagi masalah, kaum adam yang ingin menikah dengan kaum adam, kaum hawa yang ingin menikah dengan kaum hawa. Dengan sejuta alasan pembenaran yang dilontarkan padahal hanya alasan untuk terus berlarut-larut dalam sakit dan tidak mau berusaha sungguh-sungguh untuk sembuh. Mari dipertanyakan, bagaimana nasib keluarga-keluarga kecil?
Bukankah sebuah peradaban itu lahir dari pemuda pemudi yang cemerlang. Pemuda pemudi cemerlang yang lahir dari rumah yang hangat, yang dididik dengan sosok adam dan hawa dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kebenaran? Lalu, bagaimana bisa tercipta sosok kaum adam dan kaum hawa yang berkualitas?
Tentunya butuh usaha ekstra. Butuh ilmu, iman, perasaan, dan aturan yang benar. Karena aturanlah yang membuat manusia aman, terkendali, dan lebih cepat bergerak menuju kebaikan.
Individu yang berusaha untuk menjadi baik tapi lingkungan sangat kacau, akan membuat potensi menjadi baik berkurang justru malah lingkungan yang akan mempengaruhi individu.
Maka diperlukan peraturan yang jelas, yang jujur, dan adil untuk menjaga manusia itu sendiri bukan aturan yang didesain demi kepentingan pihak tertentu apalagi bukan aturan untuk mencari keuntungan materi. Sehingga dapat terwujud masyarakat yang aman dan lingkungan yang positif.
Maka setiap manusia dapat menelaah dari semua jenis aturan yang ada. Islam datang dengan peraturan yang lengkap, cekatan, menutup pintu dari segala keburukan.
Aturan yang bersifat objektif yang layak untuk semua manusia dari berbagai kalangan, aturan yang mengikat manusia untuk tetap berjalan pada garis dan perannya masing-masing. Namun, realitas yang dihadapi saat ini yaitu virus pemisahan kehidupan dan agama menjadi kepemimpinan berpikir masyarakat.
Maka, sangat sulit untuk menerapkan Islam yang menciptakan keamanan, keseimbangan kehidupan. Karena aturan Islam berasal dari sang pencipta, yang maha tahu terkait ciptaan-Nya.
Akar masalah yang ada saat ini, adalah pola pikir yang rusak, aturan yang tidak jelas, keserakahan para pemegang kekuasaan. Maka, untuk menarik semua bibit-bibit dan akar beracun ini dari bumi yaitu mengganti atau menanam bibit yang baru, bibit yang berasal dari sang Pencipta, yaitu sebuah sistem hidup, sistem Islam.
Sebuah sistem yang mengatur kehidupan dengan adil, jujur, dan penuh kebaikan. Karena aturan ini bukan hasil ciptaan manusia melainkan Allah yang maha tahu dan maha bijaksana.
Dengan penerapan hokum Islam, bukan hanya kaum muslimin yang hidup tenang tapi umat dari agama apapun di seluruh dunia akan merasakan kesejahteraannya. Hidup dibawah naungan Daulah Islam, menjamin kebebasan beragama, dijamin hak-haknya.
Bahkan, akan ditemukan mimpi-mimpi masyarakat terwujud dalam naungan Daulah Islam, Khilafah. Negara dalam Islam adalah pelayan kepada
masyarakatnya, para pemimpin yang taat dan takut kepada Allah akan selalu memperhatikan sikapnya, apakah ia telah bersikap dzalim pada masyarakat? Di dalam naungan Khilafah, pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, akan gratis.
Karena pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum adalah hak masyarakat. Kekayaan sumber daya alam yang notabenenya milik umat, tidak akan diperjual belikan. Kita tidak akan menjumpai bayar air, bayar listrik, bayar uang
sekolah, bayar untuk memasuki jalan tol, bayar untuk bekerja, dan apalagi yang tidak bayar pada zaman kapitalis ini? Ironisnya, negara sedang berjual beli dengan masyarakatnya sendiri. (*)