Arogansi Penjabat Gubernur Kalbar Harisson Terbongkar, Wartawan Kalimantan Barat Bicara!

0
9
Forum Wartawan (FW) dan LSM Indonesia/Foto : ISt.

NEWS | POLITIK

“Penjabat Gubernur Kalimantan Barat Harisson menuding wartawan “minta arahan”, Forum Wartawan dan LSM balik menyoal arogansi pejabat,”

Pontianak | KALBAR | Lapan6Online : Di tengah gemuruh isu korupsi yang masih menggurita di Kalimantan Barat, Penjabat (PJ) Gubernur Harisson justru memilih untuk meledakkan pernyataan kontroversial: “Wartawan kerap minta arahan dari pejabat!”

Seolah lupa bahwa kamera tak hanya merekam senyum manis saat seremonial, tapi juga mengintip borok kebijakan.

Sekjen Forum Wartawan (FW) dan LSM Indonesia, Wawan Daly Suwandi menyambut pernyataan ini dengan getir.

“PJ Gubernur Kalbar Harisson keliru kamar. Yang perlu ‘arahan’ justru oknum pejabat yang gemar mark-up anggaran atau ciptakan proyek fiktif. Wartawan? Kami sudah punya kompas bernama kode etik jurnalistik,” kata Wawan Daly Suwandi, jelasnya kepada redaksi Lapan6Onlione.com, pada Rabu (19/02/2025).

Dalam dunia politik dan pemerintahan, ada satu hal yang sering kali luput dari perhatian publik: hubungan antara pejabat publik dan pers.

Pers, sebagai salah satu pilar demokrasi, memiliki peran vital dalam mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berada pada rel yang benar.

Namun, apa jadinya jika seorang pejabat publik yang seharusnya menjadi panutan rakyat justru memandang rendah peran pers?

Inilah yang terjadi di Kalimantan Barat, di mana Penjabat (Pj) Gubernur Harisson menuai kritik tajam akibat pernyataannya yang dinilai merendahkan wartawan.

Sekjen Forum Wartawan (FW) dan LSM Indonesia, Wawan Daly Suwandi

Pernyataan tersebut bukan hanya mencerminkan ketidakpahaman terhadap fungsi pers, tetapi juga menunjukkan sikap arogan yang kontraproduktif dalam membangun hubungan harmonis antara pemerintah dan media.

Pers Bukan Alat Propaganda, Tapi Pengawas Pemerintah
Sekretaris Jenderal Forum Wartawan (FW) dan LSM Indonesia, Wawan Daly Suwandi, angkat bicara terkait pernyataan kontroversial Pj Gubernur Harisson.

Wawan menegaskan bahwa pers bukanlah alat propaganda yang harus patuh kepada arahan pejabat.

Sebaliknya, pers adalah mitra kritis yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah demi mencegah penyalahgunaan wewenang.

“Pernyataan Pj Gubernur Kalbar Harisson bahwa wartawan meminta arahan dari pejabat adalah tidak tepat. Justru sebaliknya, pers hadir untuk mengawasi kinerja pejabat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang,” kata Wawan dengan nada tegas.

Menurut Wawan, jika ada oknum wartawan yang meminta arahan atau petunjuk dari pejabat, itu hanyalah kasus minor yang tidak mewakili keseluruhan insan pers.

“Jika ada oknum wartawan yang meminta arahan, itu hanya sekadar minta petunjuk, bukan minta duit. Justru yang lebih mengkhawatirkan adalah oknum pejabat yang korup dan tidak transparan,” kata dia.

Peran Pers Dalam Mengungkap Korupsi: Bukti Nyata Independensi Media
Selama ini, banyak kasus korupsi dan penyimpangan yang berhasil diungkap berkat kerja keras wartawan dan LSM.

Contohnya, proyek-proyek fiktif, mark-up anggaran, dan penyelewengan dana publik.

Semua itu terungkap karena peran pers dan LSM yang kritis. Tanpa pengawasan pers, korupsi akan semakin merajalela.

Wawan juga menyoroti pentingnya menjaga independensi pers dan LSM sebagai elemen mutlak dalam demokrasi.

“Kami tidak perlu arahan dari pejabat. Justru kami yang harus mengawasi mereka. Jika ada oknum wartawan atau LSM yang meminta arahan, itu adalah kesalahan individu, bukan kesalahan sistem,” tegasnya.

Pejabat Harus Bersikap Bijak
Dalam konteks ini, sikap bijak seorang pejabat sangat diperlukan. Sebagai pemimpin daerah, Pj Gubernur Harisson seharusnya memahami bahwa pers adalah mitra strategis dalam membangun pemerintahan yang bersih dan transparan.

Alih-alih menunjukkan sikap arogan, pejabat publik seharusnya bersikap terbuka dan menerima kritik dengan lapang dada.

“Kalau ada wartawan masih minta arahan dan petunjuk dari pimpinan di daerah, menurut saya wartawan itu masih menghargai dengan tetap menjalin silaturahmi,” kata Wawan.

“Bukan berarti mengurangi independensinya sebagai wartawan. Apalagi sampai menghilangkan haknya dalam melakukan tugas serta fungsi kontrol sosial,” Wawan mengingatkan.

Wawan juga menekankan bahwa pejabat tidak boleh alergi terhadap cara kerja wartawan, selama wartawan tersebut bekerja sesuai dengan kaidah dan etika jurnalistik.

“Lain halnya kalau sudah melakukan penekanan atau pemerasan. Seharusnya jadi pejabat, bisa berterima kasih terhadap kehadiran dan adanya komunikasi dengan wartawan yang tanpa pamrih membantu pelaksanaan program dan jalannya pemerintahan yang bersih dari praktik KKN,” ucap Wawan mengingatkan.

Pejabat Lupa Fungsinya Sebagai Pelayan Publik
Bayangkan sebuah kasus masalah di mana seorang pejabat tinggi duduk di singgasananya, sementara wartawan datang membawa mikrofon dan buku catatan.

Alih-alih menjawab pertanyaan dengan jujur, pejabat tersebut malah berkata, “Kenapa kalian selalu mengganggu saya? Bukankah tugas kalian hanya menulis apa yang saya katakan?”

Tentu saja, ini adalah gambaran bagaimana beberapa pejabat cenderung melupakan fungsi utamanya sebagai pelayan publik.

Mereka lupa bahwa jabatan yang mereka emban adalah amanah dari rakyat, bukan alat untuk menunjukkan superioritas.

Wartawan yang tadinya ingin menggali informasi tentang proyek infrastruktur yang mangkrak justru disambut dengan senyum sinis oleh pejabat tersebut.

“Kalian pikir saya punya waktu untuk urusan-urusan kecil seperti itu?” katanya dengan nada sombong.

Namun, di balik kisah ini, ada pesan moral yang mendalam: pejabat publik harus ingat bahwa mereka dipilih untuk melayani rakyat, bukan untuk dilayani. Pers, sebagai representasi suara rakyat, memiliki hak penuh untuk mengkritisi kebijakan pemerintah demi kebaikan bersama.

Menjaga Harmoni Antara Pers dan Pemerintah
Hubungan antara pers dan pemerintah seharusnya dibangun atas dasar saling menghormati dan memahami peran masing-masing.

Pers bukanlah musuh pejabat, melainkan mitra yang bertugas mengawasi agar pemerintahan berjalan sesuai aturan.

Di sisi lain, pejabat publik harus bersikap bijak dan terbuka terhadap kritik, karena kritik adalah bentuk tanggung jawab pers terhadap masyarakat.

Apakah seorang pejabat layak disebut pemimpin jika ia tidak mampu menerima kritik dengan lapang dada?

Jawabannya tentu saja tidak. Oleh karena itu, sudah saatnya para pejabat publik belajar untuk tidak hanya mendengar suara rakyat.

Akan tetapi juga menerima masukan dari pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat. (*Rls/BM/SPL)