OPINI | POLITIK
“Kesejahteraan hidup turut mempengaruhi konsumsi makanan bergizi pada seseorang. Rendahnya kesejahteraan menjadikan daya beli pada bahan-bahan makanan berkualitas dan bergizi tinggi menurun bahkan tak terjangkau,”
Oleh : Widya Hartanti, S. S
REALISASI Program Makan Bergizi Gratis (PMBG) menjadi perhatian publik usai Prabowo – Gibran dilantik sebagai presiden dan wapres RI periode 2024-2024 pada Minggu, 20 Oktober 2024. Keduanya dilantik setelah KPU menyatakan kemenangannya pada pemilu lalu.
Dari sekian banyak janji kampanye, program makan bergizi gratis inilah yang menjadi sorotan di masyarakat. Pasalnya, saat janji kampanye ini digulirkan PMBG dianggarkan Rp 15.000 per porsi untuk 78 juta orang termasuk anak sekolah, balita dan ibu hamil. Setidaknya dibutuhkan Rp 450 Triliun atau Rp 800 milyar / hari untuk membiayai program ini.
Anggaran yang tak sedikit ini tentu menuai pro dan kontra. Tidak hanya di level masyarakat namun juga ahli gizi dan politisi. Selain sumber anggaran, kecukupan gizi dan bocornya anggaran menjadi sesuatu hal yang dikhawatirkan.
Adapun PMBG ini bertujuan untuk memberikan perbaikan gizi bagi anak-anak sekolah sekaligus pembentukan generasi yang sehat. Namun benarkah PMBG mampu mewujudkan tujuan tersebut? Ataukah program ini akan memberi keuntungan bagi para korporasi?
Memperbaiki Gizi atau Menambah peluang Korupsi?
Mengkonsumsi makanan berkualitas dan bergizi tinggi tentu menjadi harapan semua orang. Makanan yang bergizi tinggi secara langsung akan memberikan kesehatan fisik pada seseorang. Dan secara tak langsung turut mempengaruhi kesehatan psikis. Menjadi keinginan orang tua pula untuk dapat memenuhi hal itu kepada buah hatinya.
Apa mau dikata, tingkat kesejahteraan masyarakat pada kondisi yang memprihatinkan. Minimnya lapangan pekerjaan, upah buruh yang rendah, ancaman PHK, mahalnya harga-harga kebutuhan pokok hingga sejumlah pajak yang mencekik menjadikan konsumsi makanan berkualitas dan bergizi tak lagi menjadi prioritas. Banyak masyarakat yang saat ini hidup untuk sekadar ‘bertahan’.
Meski PMBG diharapkan memberi solusi namun tak sedikit dari masyarakat yang pesimis akan keberhasilan program tersebut. Jangkauan yang begitu luas dan minimnya pengawasan tak menjamin program ini tepat sasaran. Besarnya gurita korupsi di Indonesia justru dikhawatirkan akan terjadi kebocoran anggaran. Nominal yang begitu besar tentunya menjadi incaran bagi bandit-bandit koruptor. Akan ada saja cara-cara yang dilakukan untuk dapat menikmati dana ini baik secara legal maupun illegal.
PMBG juga akan memberikan keuntungan pada perusahaan- perusahaan besar. Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono, mengatakan bahwa dibutuhkan 1,3 juta Sapi hidup untuk menyukseskan program ini. Dan telah ada 46 perusahaan dari dalam dan luar negeri yang berkomitmen untuk itu (Merdeka.com, 17/10/2024). Keran import telah dibuka dan dipastikan keuntungan akan berpihak pada korporasi.
Hasilnya, PMBG dengan dana yang begitu besar belum tentu dirasakan oleh masyarakat namun secara pasti telah dinikmati oleh para koruptor dan korporat.
Program Makan Bergizi Gratis Bukan Solusi
Memperbaiki gizi masyarakat dengan hanya berpusat pada anak sekolah, balita dan Ibu hamil tak boleh diamini. Pasalnya ada banyak kelompok usia di masyarakat yang juga membutuhkan makanan bergizi.
Ada usia anak namun tak sekolah, remaja, Ibu tak hamil, para pekerja dan usia senja. Semua merupakan anggota masyarakat dan berhak mendapat jaminan terpenuhinya asupan gizi seimbang. Dengan memprioritaskan pemberian makan bergizi gratis hanya pada sekelompok orang berarti negara berlepas tangan pada yang lainnya.
Pemenuhan makanan bergizi pada masyarakat dapat lebih sederhana jika pemerintah memahami akar masalahnya sehingga dapat memberi solusi yangn tepat. Kesejahteraan hidup turut mempengaruhi konsumsi makanan bergizi pada seseorang. Rendahnya kesejahteraan menjadikan daya beli pada bahan-bahan makanan berkualitas dan bergizi tinggi menurun bahkan tak terjangkau.
Dana PMBG yang begitu besar tentu sangat menggiurkan. Angka ini secara pasti dapat memberikan nilai manfaat yang jauh lebih besar jika dialokasikan dan dipergunakan dengan tepat, yaitu dengan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah bisa membuka lapangan pekerjaan dengan mendirikan pabrik-pabrik yang dibutuhkan sehingga menyerap banyak tenaga kerja. Dengan begitu kepala rumah tangga bisa secara mandiri memenuhi gizi anggota keluarganya.
Sistem gaji harus diperbaiki. Tak lagi berpijak pada UMR yang sejatinya hanya menghitung kebutuhan per individu karyawan. Padahal, upah yang diperoleh digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga.
Negara juga tak boleh membebankan kesejahteraan karyawan kepada para pengusaha sebab hal itu bukanlah kewajiban pengusaha. Memaksa perusahaan menanggung ragam kewajiban untuk karyawan sesungguhnya adalah beban.
Dan beban tersebut akan dihitung sebagai biaya produksi. Akhirnya harga-harga menjadi mahal. Lagi- lagi masyarakat yang dirugikan.
Pemerintah harus pula menjamin ketersediaan bahan- bahan makanan dan menjamin bahwa semua terdistribusi dengan baik ke individu masyarakat. Negara wajib memberi sanksi kepada para mafia, tengkulak dan rentenir. Sebab keberadaan mereka sering kali membuat harga-harga tak menentu.
Penutup
Program Makan Bergizi Grati sejatinya hanyalah program tambal sulam akibat penerapan sistem Kapitalisme di negeri ini. Sistem inlah yang telah kemiskinan di masyarakathingga kesejahteraan menjadi sulit untuk dicapai. Sistem ini pula yang menjadikan makanan bergizi menjadi barang langka dan mewah.
Bicara kesejahteraan tak hanya sebagai pemanis bibir. Ujung-ujungnya menetapkan anggaran padahal sejatinya hanyalah cara untuk membagi ‘kue-kue’ kepada para pengusaha, importir dan koleganya.
Mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah. Dan itu hanya terwujud jika negara memahami perannya sebagai pelayan masyarakat sebagaimana sistem Islam yang telah di desain Allah Swt. (**)
*Penulis Adalah Pemerhati Sosial