“Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera bahkan hukum bisa dibeli,”
Oleh : Fauziah, S.Pd
DIAM-diam, ternyata ada beberapa mantan narapidana (napi) kasus korupsi yang menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) Pemilu 2024. Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 12 mantan terpidana korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) Bacaleg yang diumumkan oleh KPU pada 19 Agustus lalu.
Mereka mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. (VOA Indonesia, 26/8/2023).
Di antara beberapa nama masyhur yang masuk daftar bacaleg mantan napi koruptor tersebut adalah Abdullah Puteh (korupsi pembelian helikopter), Susno Duadji (korupsi pengamanan Pilkada Jawa Barat 2009 dan korupsi penanganan PT Salmah Arowana Lestari), Nurdin Halid (korupsi distribusi minyak goreng Bulog), Al Amin Nasution (penerima suap untuk proyek alih fungsi hutan lindung),
Rokhmin Dahuri (korupsi dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan), dan Irman Gusman (penerima suap dalam impor gula oleh Perum Bulog). (Kompas, 25/8/2023).
Warganet ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan guna SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian).
Seperti diketahui izin soal narapidana menjadi caleg tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD. (CNN Indonesia.com/22/8/2023).
Ada beberapa bekas napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai bacaleg. Dulu sempat ada larangan dari KPU, namun kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan dengan alasan HAM. Kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah.
Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi.
Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera bahkan hukum bisa dibeli.
Maka pantaskah bacaleg bekas napi korupsi boleh mencalonkan diri? Fenomena bolehnya mantan koruptor menjadi bacaleg, menunjukkan hipokrisi demokrasi. Betapa tidak, selama ini demokrasi dicitrakan sebagai pemerintahan bersih dan transparan karena para pemimpinnya adalah pilihan rakyat.
Lalu bagaimana dengan slogan tentang pemberantasan korupsi didengungkan berulang-ulang. Namun, praktiknya berkebalikan. Ibarat menjari jarum dalam jerami. Bukan saja mendapatkan keringanan hukuman, setelah bebas, mantan napi tersebut bisa berkuasa dan melenggang.
Apakah yakin mereka sudah tobat dan tidak akan mengulangi untuk berbuat korup? Sungguh aneh. Fenomena aneh, tetapi nyata ini, bisa terjadi karena inti demokrasi adalah hak membuat aturan ada pada manusia, bukan Allah Swt. Akibatnya, para penguasa bisa membuat aturan sesuka hati mereka untuk memuluskan syahwat politiknya.
Pemberantasan korupsi ini hanya akan tuntas dengan diterapkannya sistem islam. Dimana, orang yang menjadi wakil umat saja, dipilih orang yang benar-benar bertakwa kepada Allah SWT. Islam mensyaratkan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat.
Sistem hukum dalam islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat. Apalagi dalam islam sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Wallhu a’lam bishawab. (*)
*Penulis Adalah Aktivis dan Pendidik