Balada Djoko Tjandra Sang Koruptor

0
61
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra tiba di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (30/7/2020). Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia. (Foto dok. Kompas.com)
Oleh: Ufah Alfianita
Jakarta, Lapan6online.com – Betapa lihainya Djoko Soegiarto Tjandra. Setelah lebih dari 11 tahun menjadi buronan karena terlibat kasus korupsi Bank Bali pada 1999, tiba-tiba saja dia muncul di Kantor Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk mengurus e-KTP pada 8 Juni 2020.

Djoko Tjandra membutuhkan KTP sebagai syarat untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Ia mendaftarkan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang hanya berselang beberapa jam setelah mendapat KTP dari Grogol Selatan. Sidang pertama digelar pada Senin, 6 Juli 2020 namun yang bersangkutan tidak hadir dengan berdalih sedang sakit dan dirawat di klinik Malaysia.

Dalam kasus ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp 904 miliar akibat pencairan tagihan tanpa prosedur jelas dari Bank Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ke Bank Bali. Rp 546 miliar di antaranya mengalir ke kantong pribadi Djoko Tjandra dengan dalih kompensasi pengalihan tagihan dari Bank Bali. Dia ditahan hampir setahun tepatnya pada 29 September 1999 sampai Agustus 2000.

Setahun kemudian, Kejaksaan Agung mengajukan kasasi tapi hakim menolaknya. Kejagung mengajukan peninjauan putusan kasasi delapan tahun kemudian. Hakim MA memenangkannya. Tapi sehari sebelum hakim mengetok palu, tepatnya pada 10 Juni 2009, Djoko Tjandra melarikan diri dari Indonesia.

Masuknya kembali buronan korupsi Djoko Tjandra ke Indonesia tentu sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Djoko Tjandra bisa dengan mudahnya membuat e-KTP kemudian datang ke pengadilan untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali. Hal tersebut tidak mungkin hanya dilakukan oleh Djoko Tjandra seorang diri, tentu saja dia mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak.

Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra Habiburkhman menilai Djoko Tjandra membuat penyelenggara negara dibuat seperti orang bodoh.

“Seharusnya Djoko Tjandra sudah tertangkap di pintu imigrasi. Kalo toh lolos, seharusnya dia ditangkap di Kelurahan Grogol Selatan. Kalau pun lolos lagi, seharusnya dia ditangkap di PN Jakarta Selatan,” ungkapnya.

Ia menilai masuknya Djoko Tjandra memalukan semua instansi itu. Ia pun mendesak semua yang semestinya bertanggung jawab dievaluasi. Dari mulai Dirjen Imigrasi, Pemprov DKI Jakarta, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Agung hingga Polri.

“Tidak mungkin Djoko Tjandra bisa terus lolos kalau semua instansi tersebut bekerja dengan baik.” katanya menegaskan.

Kejadian ini tentu saja semakin menunjukkan bahwa betapa bobroknya birokrasi dan mental pejabat negeri ini. Kuasa korporasi telah mengendalikan pejabat di semua lini dan lembaga peradilan yang mandul memberi sanksi. Akhirnya, Djoko Tjandra ditangkap kepolisian Malaysia kemudian diserahkan kepada kepolisian Indonesia.

Adapun dalam sistem Islam, sesungguhnya Allah lah yang menciptakan manusia sekaligus pemberi aturan. Maka, Dia-lah satu-satunya yang berhak membuat hukum. Oleh karena itu, sistem sanksi (uqubat) tidak lepas dari paradigma ini. Dalam Islam, pelaksanaan sanksi di dunia adalah tanggung jawab imam atau khalifah atau yang ditunjuk mewakilinya. Jadi, negaralah yang melaksanakannya.

Sanksi di dunia berfungsi sebagai pencegah (zawajir), yakni mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal. Sekaligus penebus dosa (jawabir), yakni menggugurkan sanksi di akhirat bagi pelaku kriminal yang telah dikenai sanksi di dunia.

Sebagaimana sabda Rasulullah dari Ubadah bin Shamit ketika menuturkan ihwal teks Baiat Aqabah I yang di antaranya menyebutkan, “Siapa di antara kalian yang memenuhinya maka pahalanya di sisi Allah. Siapa yang melanggarnya, lalu diberi sanksi, maka itu sebagai penebus dosa baginya. Siapa yang melanggarnya namun (kesalahan itu ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya; jika Ia menghendaki, Dia akan mengadzabnya.” (HR. Al-Bukhari).

Betapa rindunya kita sebagai masyarakat terhadap pemimpin/penguasa yang adil, amanah dan tidak korup. Jelas, hanya Islam yang bisa mendorong para pemimpin/penguasa untuk selalu bersikap adil, amanah dan tidak korup. Sayangnya, pemimpin adil, amanah dan tidak korup ini tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler yang memang kufur. Sistem zalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim, khianat dan korup.

Pemimpin yang adil, amanah dan tidak korup hanya lahir dari rahim sistem yang bertumpu pada Al-Qur’an dan Sunnah. Itulah sistem Islam yang diterapkan dalam Khilafah sebagai institusi pemerintahan Islam.

Penulis merupakan Mahasiswi IISIP, Jakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini