OPINI | POLITIK
“Ketika banjir tiba, si miskin menyalahkan si kaya karena membangun apartemen tanpa melihat amdal, sedang si kaya menyalahkan si miskin lantaran membangun rumah di pinggiran kali,”
Oleh : Putri Hanifah, C.NNLP
BERBICARA tentang banjir ibu kota, akan kita dapati dua klaim pembicaraan. Sebagian orang menganggap banjir adalah takdir, sedangkan sebagaian yang lain menganggap banjir disebabkan oleh ulah manusia. Manakah yang benar?
Perlu digarisbawahi, peneleaahan bencana ini termasuk takdir atau ulah manusia tidak bisa digeneralisir, penyikapannya juga berbeda. Bencana nasional seperti gunung meletus, tsunami memang murni takdir Allah.
Sedangkan soalan banjir ini berbeda penyikapannya. Hujan adalah takdir, curah hujan yang besar di Ibukota juga takdir dari Allah, hanya saja bagaimana manusia mengelola curah hujan yang banyak inilah ranah manusia.
Jakarta yang memiliki kondisi geografi istimewa, semestinya dikenali dengan baik oleh penduduk sampai pemimpin negaranya. Sayang tidak semua penduduknya mengenali hal tersebut.
Bagaimana bisa? Ya, sebab penduduk Jakarta bukan hanya orang Jakarta saja. Semua orang berbondong-bondong mengadu nasib di Jakarta, karena di daerahnya tidak ada lapangan pekerjaan yang menjamin, berbagai pilihan kampus pun kadang tidak tersedia di pelosok daerah mereka, sehingga mengharuskan mereka menapaki Jakarta.
Seandainya lapangan pekerjaan di daerah mereka dibuka tentu tak perlu jauh-jauh mengadu nasib ke Jakarta. Seandainya kampus dan pendidikan sama rata mutunya tentu mereka tak perlu jauh-jauh menimba ilmu ke Ibu kota.
Semakin banyak yang menapak, semakin padat pula Jakarta. Kebutuhan tempat tinggal pun meningkat, mereka mulai membangun rumah-rumah di pinggiran kali, pun dengan yang memiliki banyak uang membangun apartemen dan gedung tanpa peduli amdal. Belum lagi kebutuhan mereka terhadap air yang semakin banyak, semakin dipompa keatas semakin cekung kebawah, walhasil menyebabkan Jakarta yang semula berbentuk cekungan mangkok makin cekung lagi.
Ketika banjir tiba, si miskin menyalahkan si kaya karena membangun apartemen tanpa melihat amdal, sedang si kaya menyalahkan si miskin lantaran membangun rumah di pinggiran kali.
Begitu saja seterusnya tiada habisnya. Dengan mindset untung rugi ala kapitalis, amdal tidak perlu dipusingkan, yang penting bisa bangun apartemen, perusahaan pencakar langit dan menguntungkan.
Rasa-rasanya ikhtiar terbaik sudah dikerahkan, dari menggalakkan gerakan less waste tapi mengapa banjir tetap belum surut? Benar memang, menawarkan solusi tidak bisa asal. Apalagi masalahnya sudah sampai tataran negara.
Bagaimana dengan industri kapitalis yang setiap hari harus mengemas produknya dengan plastik? Iya sih less waste, tapi bagaimana dengan peng-arusan belanja di market place, e-commerce yang notabene setiap bungkusnya menggunakan plastik.
Maka ikhtiar untuk menuntaskan masalah banjir pun tidak sembarangan caranya. Masalah sistemik tidak bisa diselesaikan dengan hal teknis. Masalah sistemik solusinya juga sistemik. Perlu pembenahan mindset dalam pengurusan negara.
Mengurusi negara asasnya bukan untung rugi. Bila untung rugi yang menjadi asasnya, bersiap saja akan banjir setiap turun hujan. Selain itu, perlu adanya kontroling yang kuat dari tataran individu, masyarakat bahkan sampai ke negara.
Dalam Islam, seorang pemimpin negara harus memiliki konsep mengurusi urusan ummat, tidak menakar untung rugi. Karena sejatinya tugas Negara adalah melayani, bukan memperkaya diri dengan memalak rakyat.
Tidak bisa dipungkiri membangun Negara memang membutuhkan dana yang banyak, maka untuk memperbaiki banjir Negara Islam (Daulah Khilafah) akan menggelontorkan teknologi tercanggih untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Pertanyaannya, dapat uang dari mana? Tentu dari sumber daya alam milik kaum muslimin, bukan hutang kepada asing. Semua sumberdaya kepemilikan umum tidak boleh dikuasai satu orang, semua dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat, termasuk membangun infrastuktur terbaik anti banjir.
Kontrolling berjalan kuat. Individu memiliki kesadaran penuh bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari Iman” maka tidak bisa membuang sampah sembarangan, sosialisasi dilakukan dari sekolah ke sekolah, masyarakat saling mengingatkan satu sama lain, semua pakar bergerak dikomando oleh pemerintah untuk mengerahkan seluruh potensinya menyelesaikan problematika ini.
Kalau sudah mengupayakan yang terbaik tetap turun banjir, berarti memang itu adalah takdir dari Allah dan kita wajib bersabar atasnya. Sehingga, mari memperjuangkan kembalinya perisai umat tersebut. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Negeri Malang