Banjir Kembali Melanda, kapitalisme Biang Keroknya?

0
32
Kota Medan, direndam banjir akibat hujan lebat yang mengguyur Medan sejak Jumat (18/11/2022) petang hingga Sabtu (19/11/2022) pagi/Foto : Net

OPINI | POLITIK

“Kemudian akibat yang lebih makro adalah pertumbuhan kota yang cenderung melebar ke mana-mana karena lahan perdesaan dibeli dengan harga murah dan diubah untuk fungsi perkotaan,”

Oleh : Widya Astika

Musibah Akhir Tahun Di Berbagai Wilayah Indonesia
Beberapa bulan terakhir, wilayah yang tersebar di Indonesia mengalami musibah atau bencana alam. Mulai dari banjir sampai gempa yang terus bersusulan, yang terjadi di wilayah pulau Jawa, Sumatera dan wilayah lainnya.

Salah satunya adalah wilayah Sumatera Utara. Kota Medan, direndam banjir akibat hujan lebat yang mengguyur Medan sejak Jumat (18/11/2022) petang hingga Sabtu (19/11/2022) pagi. Genangan air dengan ketinggian sekitar sekitar 30 hingga 100 cm, merendam sejumlah fasilitas umum seperti jalan, pusat perbelanjaan dan lainnya. Banjir juga masuk ke rumah warga di Medan.

Banjir ini melanda 9 Kecamatan, 17 kelurahan di Kota Medan, yakni Medan Helvetia, Medan Selayang, Medan Maimun, Medan Johor, Medan Sunggal, Medan Polonia, Medan Petisah, Medan Baru, dan Medan Barat.

“Berdasarkan pendataan hingga Sabtu pagi pukul 10.00 WIB, sebanyak 1.699 unit rumah,1.843 KK dan 5.907 jiwa warga yang terdampak banjir. Pihaknya juga melakukan evakuasi terhadap orangtua, balita yang rumahnya tergenang banjir menggunakan perahu karet.”Ada 238 orang warga yang dievakuasi. ’’ Ungkap Husni Badan Penanggulangan Bencana Daerah. (SuaraSumut.id /2022-11-19)

Banyaknya Pembangunan di Daerah Resapan Air
Salah satu penyebab terjadinya banjir adalah karena daerah resapan air tidak ada. Daerah resapan air menghilang akibat dibangunnya pemukiman/perumahan, PT, Infrastruktur dll. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan panduan bagi pengembangan sebuah kota. Di dalam RTRW telah diatur pemetaan untuk kawasan pemukiman, perkantoran, niaga, ruang terbuka hijau serta daerah resapan air. “Dengan demikian, kota yang baik tentu saja kota yang dibangun sesuai dengan RTRW,” kata Hadi Mulyadi.

Fungsi dari resapan air itu sendiri adalah sebagai penampung debit air jika curah hujan rendah ataupun tinggi disuatu daerah. Oleh karena itu, daerah resapan air berperan penting dalam pengendali banjir dan kekeringan musim kemarau, dan akan berdampak banjir jika daerah resapan air dialih fungsi lahankan karena tidak ada tanah yang menampung air hujan, ungkap seorang wakil Gubernur Kaltim. (Samarinda-14/06/2019).

Menurut Ahli, pembangunan (develpoment) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan, teknologi, kelembagaan, dan budaya yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana yang bertujuan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada.

Paradoks pembangunan kota kapitalisme
John Rennie Short seorang ahli geografi menelaah sebuah fenomena tentang kota-kota modern yang disebut dengan “the Paradox of the Capitalist City.” Inti dari fenomena ini adalah istilahnya menunjukkan adanya koeksistensi dua hal yang secara normalnya bertentangan.

Dari kata “kota” yang maknanya adalah sebuah ruang yang dibuat untuk ditinggali bersama (publik), itu sangat bertentangan dengan kata “kapitalis” yang maknanya adalah sebuah sistem yang asas tingkah-laku sosial-ekonominya berguna untuk mendapatkan keuntungan individual sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya. (https://pixabay.com/en/high-water-park-bench-flooded-red-123235/)

Pandangan hidup kapitalisme-liberal menciptakan kerusakan lingkungan
Asas kapitalisme ini akan memunculkan kerusakan karena setiap tingkah laku yang diperbuat mendapatkan keuntungan sebanyak-sebanyaknya, tanpa peduli dampak buruk bagi orang lain. Alih-alih ingin membangun ekonomi dan infrastruktur suatu daerah akan tetapi nyatanya, pembangunan yang dilakukan malah menimbulkan masalah yang baru.

Jika kita cermati hal ini berujung pada kebijakan negara terkait pengelolaan tata ruang / tata wilayah serta eksploitasi alam yang mengatasnamakan pembangunan. Yang mana pembangunan ini melibatkan pihak swasta atau pemilik modal (kapital).

Pembangunan kota ala kapitalis hanya berupa kepentingan korporasi pengembang untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya (misalnya ruang hijau untuk resapan air yang diubah menjadi kumpulan villa dan dapat dijual kepada pribadi-pribadi) yang akan menghasilkan cuan.

Ketika para Kapital ingin mendapatkan keuntungan maka ruang publik atau barang-barang yang bersifat publik—seperti ruang terbuka hijau, daerah resapan air, tempat pembuangan sampah atau bahkan drainase—pun akan terabaikan.

Ruang terbuka yang biasa menjadi tempat publik, kemudian digantikan oleh shopping malls dimana keuntungan yang diambil dari toko-toko yang ada, bisa “mensubsidi” ruang terbuka yang tidak sepenuhnya bersifat publik alias individu.

Daerah resapan air akhirnya tergusur dan menjadi kawasan hunian atau komersial yang bisa dijual. Infrastruktur yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah kota pun menjadi terabaikan (walau sebenarnya tidak harus demikian). Kemudian akibat yang lebih makro adalah pertumbuhan kota yang cenderung melebar ke mana-mana karena lahan perdesaan dibeli dengan harga murah dan diubah untuk fungsi perkotaan, yang mana pembangunan ruang kota secara vertikal ke atas lebih hemat lahan.

Dan yang menjadi korban adalah lingkungan alam di sekitar kawasan perkotaan. jika ada pembangunan vertikal, ini hanya terjadi untuk perkantoran, hotel atau apartemen mahal dan sulit mengharapkan adanya rumah susun murah jika subsidi pemerintah tidak ada.

Akibat yang juga kurang terlihat adalah terjadinya alokasi yang salah terhadap sumberdaya yang terbatas. Dana maupun bahan untuk pembangunan yang secara umum bisa dikatakan terbatas malah digunakan untuk membangun sesuatu yang tidak dihuni (walau ada yang memiliki). Hal ini bisa kita lihat pada banyaknya apartemen-apartemen atau ruang perkantoran yang kosong.

Inilah hasil dari pembangunan ala kepemimpinan sistem kapitalis yang berasas manfaat bagi pemilik modal.

Solusi pembangunan kota dalam sistem Islam tidak menciptakan bencana
Berbeda dengan kepemimpinan islam, kepemimpinan yang benar-benar mengurusi urusan rakyatnya. Sebagaimana sabda rasulullah saw “ Imam adalah raa’in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR.Bukhari)
Kepemimpinan islam ini disebut dengan khilafah.

Dari mindset inilah khilafah akan bersungguh-sungguh untuk mengurusi rakyatnya karena urusan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia tapi juga di akhirat. Salah satu bentuk tanggungjawabnya adalah khilafah akan optimal dalam mencegah penyebab terjadinya banjir. Dan masyarakat akan terjaga dan terhindar dari banjir.

Adapun upaya khilafah dalam mencegah bencana alam adalah dengan melihat dari berbagai aspek. Jika bencana alam disebabkan oleh pengaruh musim dan curah hujan yang tinggi, maka khilafah akan memaksimalkan peran BMKG untuk memetakan wilayah-wilayah potensi bencana sebagai wilayah siaga bencana. Hal ini dilakukan agar meminimalisir korban bencana dan kerugian harta benda.

Namun, jika banjir disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat dilakukan upaya pencegahan,seperti keterbatasan daya tampung daerah resapan air terhadap curah air akibat hujan, rob, drainase dan lain sebagainya, maka khilafah akan membangun bendungan.

Ketika khilafah tegak 1300 tahun silam, hal ini pernah dilakukan yaitu dengan membangun banyak bendungan untuk mencegah terjadinya banjir dan keperluan irigasi. Salah satunya adalah bendungan Gualdalquivir di Kordoba yang diarsiteki oleh al-Idrisi, bendungan ini masih bisa difungsikan sampai sekarang.

Khilafah juga akan melakukan pengerukan secara berkala agar tidak terjadi pendangkalan pada sungai, danau, dan kanal. Upaya yang lain adalah denagn melakukan pemetaan terhadap daerah rendah yang rawan genangan air dan membuat kebijakan agar masyarakat tidak membangun pemukiman di wilayah tersebut. Jika tidak memungkinkan khilafah akan mengevakuasi penduduk wilayah yang terkena banjir dan mengganti kompensasi tempat tinggal mereka.

Khilafah juga akan membuat regulasi tentang pemetaan tata ruang wilayah, pembangunan yang dilakukan mesti menyertakan variabel-variabel drainase daerah resapan air,penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Kebijakan ini dilakukan agar mencegah kemungkinan terjadinya banjir.

Salah satu contohnya adalah pembangunan kota Kordoba, ketika wilayah ini dibawah kekuasaan khilafah jalan-jalan dibangun sesuai dengan kontur alam,sehingga memudahkan drainase air. Jika semua upaya yang dilakukan namun masih menyebabkan banjir, maka khilafah tidak akan berlepas tangan dengan bencana alam yang terjadi.

Khilafah akan mengirimkan divisi at Thawari kemaslahatan umat untuk menolong wilayah yang terdampak banjir. Mereka sudah dilengkapi dengan peralatan canggih, pengetahuan tentang SAR dan keterampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam.

Tak hanya diberikan makanan, pakaian, tempat tinggal yang layak, obat-obatan akan tetapi para alim ulama juga dikerahkan untuk menguatkan keimanan masyarakat yang terkena banjir agar mereka tabah, sabar dan bertawakkal sepenuhnya kepada allah serta mengambil pelajaran atas musibah yang menimpa mereka.

Itulah upaya yang dilakukan oleh khilafah dalam mengatasi banjir. Kebijakan yang diambil tidak hanya dari pertimbangan rasional akan tetapi juga didasari oleh nash-nash syariah. (YouTube: Serba-Serbi MMC,11/10/2022) Wallahu’alam bisshawab. (*)