“Mekanisme langsung diberikan melalui pemberian bantuan kepada rakyat yang faktanya kesulitan mendapat bahan pangan karena tidak ada penghasilan atau tidak cukup dana (fakir miskin) atau juga harga sedang tidak stabil karena pasokan yang kurang,”
Oleh : Ani Ummu Khalisha
Jakarta | Lapan6Online : Mekanisme berbelit membuat program bantuan dari pemerintah banyak dikritisi oleh berbagai pihak. Baik bantuan sosial berupa paket sembako senilai 600rb untuk warga yang tak mampu di Jabodetabek ataupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai 600rb untuk warga diluar Jabodetabek.
Seperti bupati Bolaang Mongondow Timur (BolTim),Sulawesi Utara. Sehan Salim Landjar yang geram karena mekanisme pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dianggap sulit. Beliau mengatakan bahwa BLT dari pemerintah pusat belum juga cair sedangkan rakyat sangat membutuhkannya sekarang dan tidak bisa menunggu lama.
Harus terpenuhinya berbagai syarat yakni tertib administrasi dan harus memiliki rekening bank, membuat bantuan dari pemerintah terlambat penyalurannya.
(news.detik.com, minggu 26/04/20)
Bahkan akhirnya ada masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan karena tak memiliki rekening dan tak bisa memenuhi berbagai berkas administrasi. Bukan hanya itu faktanya bantuan sosial dari pemerintah tak tepat sasaran karena data yang tidak akurat.
Hal ini salah satunya terjadi di DKI Jakarta, seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jhoni Simanjuntak terdaftar sebagai salah satu penerima bansos. Karena hal ini pemprov DKI Jakarta dianggap asal dalam menyalurkan bansos. (vivanews.com, 24/04/20)
Perspektif publik pun terkait program pemberian bantuan sosial (bansos) untuk mengurangi dampak negatif pandemi corona (covid-19) berubah dari positif menjadi negatif. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengungkapkan, melalui pemantauan twitter awalnya terlihat publik menyambut baik kebijakan pemerintah menetapkan sejumlah bansos.
Mulai dari bansos sembako hingga bansos tunai. Implementasi penyaluran bansos yang tidak terarah dan tumpang tindih dianggap menjadi penyebab masyarakat tidak lagi memandang program bansos secara positif.
Dikhawatirkan jika masih belum ada perbaikan, berujung pada konflik sosial.(katadata.co.id, 26/04/20)
Terjadinya bantuan bansos dan BLT tidak tepat sasaran dan tidak merata dikarenakan beberapa aspek:
• Data yang tidak valid, banyak data yang tidak valid. Orang kaya yang dekat dengan aparat desa bisa dikategorikan miskin agar dapat bantuan
• Persyaratan berbelit yaitu tertib administrasi dan punya rekening bank. Meskipun sudah direvisi, tapi masih memberatkan masyarakat
• Dana dikucurkan bertahap. Tapi sudah digemborkan bahwa jumlahnya sangat besar. Akibatnya rakyat menuntut segera dibagikan, padahal belum bisa dicairkan.
Inilah problem teknis yang lahir dari paradigma salah dalam mengelola negara. Masalah data seharusnya menjadi hal yang mudah, karena ini hanya masalah teknis. Mungkin melakukan validasi agak terhambat dalam kondisi wabah seperti ini, namun jika negara bersungguh-sungguh seharusnya data diperbaharui secara periodik.
Dari fakta ini bisa dilihat bahwa rezim Neolib tak serius urus rakyat, dengan tidak efektifnya cara memberi bantuan kepada rakyat. Kemarahan rakyat yang merasakan kebijakan pemerintah tidak mampu mensejahterakan akhirnya membuat hilangnya kepercayaan kepada pemerintah.
Mekanisme Islam Dalam Memberikan Bantuan
Tentu sangat kontras dengan mekanisme yang akan dihadirkan oleh sistem Islam dalam memberikan bantuan dan jaminan kepada rakyat.
Dalam Islam data itu penting dan terus diperbarui, namun yang menjadi pertimbangan utama adalah fakta keadaan masyarakat bukan hanya bukti-bukti administrasif.
Artinya jika ada rakyat yang benar membutuhkan namun tidak lengkap syarat-syarat administrasi tetap mereka mendapat bantuan tanpa berbelit dan direndahkan dengan predikat miskin.
Gambaran lain dalam Islam, semua warga negara muslim dan nonmuslim tidak dibedakan untuk mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar,termasuk kebutuhan pangan. Bantuan diberikan tanpa syarat yang rumit dan berbelit.
Maka syarat administrasif berupa KTP dan keterangan miskin yang menunjukkan bahwa seseorang warga di suatu daerah bukan satu-satunya penentu. Meski tidak memiliki KTP atau tanda pengenal resmi, kalau dipastikan bahwa seseorang itu warga negara maka berhak mendapat bantuan.
Bahkan bukan hanya orang yang mengajukan diri tapi juga orang-orang yang menjaga diri (tidak menampakkan kemiskinan) juga harus diberi bantuan. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban pemerintah untuk menjaminnya.
Dalam soal pangan, jaminan negara berupa pemastian bahwa setiap individu rakyat mampu memenuhi kebutuhan pangan itu secara layak.
Mekanisme langsung diberikan melalui pemberian bantuan kepada rakyat yang faktanya kesulitan mendapat bahan pangan karena tidak ada penghasilan atau tidak cukup dana (fakir miskin) atau juga harga sedang tidak stabil karena pasokan yang kurang.
Pemerintah wajib memberikan bantuan dan melakukan operasi pasar tanpa mekanisme yang berbelit. Dalam kondisi wabah pada masa khalifah Umar bin Khattab ra. terdapat 70 ribu warga yang membutuhkan makanan dan 30 ribu warga sakit dan semua diperlakukan sebagai warga negara yang berhak mendapatkan haknya dari negara, tanpa direndahkan dan disengsarakan dengan mekanisme berbelit.
Khalifah sebagai pemimpin atau presiden, terus mencari tahu apakah masih ada orang yang berhak yang tidak terdata atau bahkan mereka tidak mau menunjukkan kekurangannya, karena membiarkan ada yang miskin dan tidak mendapat bantuan karena mereka tidak mengajukan diri adalah juga bagian kelalaian dari pemerintah. Allah ta’ala berfirman:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta-minta karena ia memelihara dirinya dari perbuatan itu” (Qs. Adz Dzariyat: 19).
Disisi lain dalam sistem Islam setiap orang diperintahkan untuk menjaga dirinya dengan sifat-sifat mulia termasuk menjaga diri dari meminta-minta. Maka ketika khalifah memahami ini, justru mereka harus mencari orang-orang yang berkebutuhan untuk bisa memberikan bantuan karena itu tugas negara.
Begitulah keseriusan khalifah dalam sistem Islam ketika meriayah rakyatnya, berbanding terbalik dengan pemimpin neoliberalisme dalam sistem Kapitalisme yang membuat mekanisme berbelit dan tak serius urus rakyat. Kepentingan politisi membuat hak rakyat menjadi terabaikan.
Pemerintah berlepas tangan dari kebutuhan dasar rakyat yang harusnya menjadi tanggung jawabnya.
Negeri ini membutuhkan perubahan yang menyeluruh dan semestinya masa pandemik ini menjadi saat tepat untuk melakukan perubahan itu.
Melakukan taubat nasional dengan meninggalkan sistem pemerintahan buatan manusia yang mengedepankan kepentingan kelompok dan mengundang konflik.
Dan segera menerapkan hukum Allah, semoga dengan wasilah ini pandemi segera berakhir dan Allah segera turunkan keberkahan dengan tegaknya kembali kehidupan Islam.Wallahu ‘alam bishawab. GF/RIN/Lapan6 Group