OPINI | POLITIK
“Temuan ini kian mempertegas bahwa kejahatan ini bukan sekadar aksi individu, melainkan bagian dari sindikasi yang memiliki akses kuat, baik dalam distribusi BBM maupun dalam sistem pengawasan yang seharusnya menertibkan mereka,”
Oleh : Retno Purwaningtias, S. IP
MAHATMA Gandhi pernah berkata, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan segelintir orang.”
Kenyataan ini tercermin dalam tata kelola BBM di negeri ini, khususnya di Belawan. Energi yang seharusnya menjadi hak rakyat justru dikuasai dan dipermainkan oleh segelintir pihak yang rakus, meninggalkan masyarakat dalam ketidakpastian dan kesulitan.
Subsidi BBM yang seharusnya membantu rakyat malah menjadi ladang bisnis bagi para mafia jahat. Negara berjanji menjaga harga tetap murah, tetapi keuntungan besar justru dinikmati segelintir pihak saja.
Ribuan liter BBM hilang dalam jaringan gelap, keuntungan terus mengalir ke tangan mereka yang berkuasa, sedangkan rakyat tetap merana. Tak hanya merugikan kas negara, tetapi juga menelanjangi lemahnya sistem pengawasan yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat sepenuhnya.
Ironi ini semakin nyata dengan terus berulangnya kasus penyimpangan BBM bersubsidi. Baru-baru ini, tim gabungan dari BAIS TNI, Kejati Sumut, Balai Pengawasan Tertib Niaga, dan Kementerian Perdagangan Sumut menggerebek sebuah gudang di Jalan Hiu, Belawan, yang diduga digunakan untuk mengoplos solar bersubsidi.
Dalam penggerebekan tersebut, aparat menemukan 3.000 liter solar, belasan tandon fiber berkapasitas 500 liter, 240 jerigen kosong, serta sejumlah mesin pompa. Gudang yang dikelola oleh seseorang berinisial “Ras” ini diperkirakan telah beroperasi cukup lama. Temuan ini mengungkap luasnya jaringan mafia BBM, yang memiliki sumber daya dan infrastruktur untuk menjalankan operasinya secara sistematis (matatelinga.com, 7/3/2025).
Jika ditelaah lebih dalam, kasus ini bukanlah kejadian tunggal. Setiap tahun, penggerebekan serupa terjadi di berbagai daerah dengan pola yang sama: aparat datang, barang bukti disita, pelaku diamankan, tetapi jaringan mafia tetap beroperasi. Bahkan, dalam beberapa kasus, oknum aparat dan pejabat diduga turut melindungi bisnis ilegal ini. Pada November 2024, Kejati Sumut menggerebek gudang penimbunan solar bersubsidi di Jalan Jala 4, Rengas Pulau, Medan Marelan. Aparat menemukan beberapa tangki duduk, selang, dan peralatan bongkar muat, tetapi pemilik gudang berinisial CDT dan MNR berhasil melarikan diri saat penggerebekan berlangsung (sumut.indonesiasatu.co.id, 7/11/2025).
Temuan ini kian mempertegas bahwa kejahatan ini bukan sekadar aksi individu, melainkan bagian dari sindikasi yang memiliki akses kuat, baik dalam distribusi BBM maupun dalam sistem pengawasan yang seharusnya menertibkan mereka. Dengan adanya keterlibatan oknum dalam bisnis ilegal ini, maka pengawasan yang lemah makin membuka celah bagi mafia migas untuk terus mengeksploitasi subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat. Kapitalisme selalu menciptakan ketimpangan: sementara rakyat kecil kesulitan mendapatkan BBM murah, segelintir oknum justru memperdagangkannya demi keuntungan pribadi.
Ketimpangan makin nyata ketika kebijakan yang dibuat justru kerap merugikan rakyat. Setiap kali pemerintah menaikkan harga BBM dengan dalih mengurangi beban subsidi, rakyat kecillah yang paling terdampak. Kenaikan harga BBM mendorong lonjakan harga barang dan jasa, terutama di sektor transportasi dan logistik. Biaya produksi meningkat, harga kebutuhan pokok ikut naik, dan daya beli masyarakat makin menurun.
Nelayan yang membutuhkan solar untuk melaut harus merogoh kocek lebih dalam, sopir angkutan umum harus menanggung beban operasional yang lebih tinggi, sementara perusahaan-perusahaan besar dengan jaringan distribusi sendiri tetap bisa mengakses BBM dengan harga yang lebih stabil. Sementara rakyat harus berhemat dan bertahan, mafia BBM justru tetap bisa menjalankan bisnisnya, bahkan di tengah kebijakan yang semakin menekan masyarakat kecil.
Realitas ini menunjukkan bahwa permasalahan bukan hanya pada pelaksanaan kebijakan subsidi, tetapi juga pada sistem tata kelola energi yang diterapkan. Sistem kapitalisme yang mendominasi ekonomi negara menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas, bukan sebagai hak rakyat yang harus dikelola negara demi kemaslahatan umum. Dalam sistem ini, subsidi bukanlah solusi permanen, melainkan hanya alat politik yang sewaktu-waktu bisa dipotong dengan dalih efisiensi anggaran. Akibatnya, distribusi energi tidak pernah sepenuhnya berpihak kepada rakyat, tetapi lebih tunduk pada kepentingan bisnis dan permainan pasar. Selama subsidi masih menjadi objek eksploitasi oleh mafia, masyarakat tidak akan pernah benar-benar merasakan manfaatnya secara optimal.
Sebagai perbandingan, Islam menawarkan perspektif yang berbeda dalam pengelolaan energi. Dalam Islam, BBM dan sumber daya alam lainnya termasuk dalam kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir pihak untuk kepentingan bisnis. Negara berperan sebagai pengelola, bukan hanya sebagai regulator yang hanya mengawasi dan memberikan izin eksploitasi. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (h.r. Abu Dawud dan Ahmad). Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya vital harus dikelola dengan mekanisme yang menjamin kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Prinsip ini telah diterapkan dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika seorang sahabat menemukan tambang garam dan ingin memilikinya, Umar menolak dan menetapkannya sebagai milik umum. Keputusan ini didasarkan pada pemahaman bahwa garam adalah sumber daya yang bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, sehingga tidak boleh dikuasai individu. Kebijakan serupa juga diterapkan oleh Khalifah Utsman bin Affan terhadap sumur Raumah yang sebelumnya dikuasai dan diperjualbelikan dengan harga mahal. Utsman membelinya dan mewakafkannya agar rakyat dapat mengakses air secara gratis.
Sejarah ini membuktikan bahwa dalam sistem Islam, negara memastikan sumber daya alam tidak dimonopoli demi keuntungan segelintir orang, tetapi dikelola untuk kemaslahatan rakyat.
Dalam sistem Islam, tidak ada mekanisme subsidi seperti dalam kapitalisme karena BBM tidak diperlakukan sebagai barang dagangan. Negara mengelola dan mendistribusikan energi dengan adil, memastikan setiap individu mendapatkan haknya tanpa perlu bersaing dengan mafia atau spekulan. Energi bukanlah alat spekulasi ekonomi, melainkan bagian dari tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Oleh karena itu, pengoplosan, penimbunan, dan spekulasi harga seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme tidak akan mendapat tempat dalam sistem Islam.
Namun, selama kebijakan energi masih berjalan dalam koridor kapitalisme, kasus seperti pengoplosan BBM di Belawan akan terus berulang. Mafia akan selalu menemukan cara untuk memanfaatkan sistem, sementara rakyat hanya bisa pasrah menerima dampaknya. Jika kita ingin perubahan nyata, maka kita harus berani keluar dari sistem yang terus melahirkan ketimpangan ini dan kembali kepada sistem yang menjamin keadilan, yaitu sistem Islam.
Ketidakadilan tidak akan hilang dengan menunggu perubahan dari mereka yang menikmati ketimpangan. Jika rakyat hanya diam, maka praktik curang ini akan terus berulang, menghisap hak mereka yang seharusnya sejahtera. Maka, pertanyaannya, sampai kapan kita membiarkan sistem ini berjalan seperti ini? Sampai kapan kita hanya menjadi korban, sementara segelintir orang terus meraup keuntungan?
Kini, pilihan ada di tangan kita: tetap pasrah dalam ketidakadilan, atau berjuang untuk perubahan yang hakiki. Wallahualam bissawab. (**)
*Penulis Adalah Pegiat Literasi
Disclaimer :
Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan Lapan6Online.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi Lapan6Online.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.