Benarkah Gen Z + Media Sosial = Fomo?

0
0
Ilustrasi/Foto : Net

OPINI | POLITIK

“Semua orang bebas untuk membeli apapun, bebas untuk melakukan apapun selagi tidak “mengganggu” dan “merugikan” orang lain. Begitulah keadaannya…,”

Oleh : Nurul Fahira

FOMO adalah istilah yang sangat sering kita dengar hari ini. Kok bisa? Tak lain tak bukan, karena kencangnya arus media sosial zaman sekarang.

Fomo (Fear Of Missing Out) ini sendiri didefinisikan sebagai rasa takut karena tertinggal atau tidak mengetahui peristiwa, informasi, atau pengalaman, dan orang lain mendapat pengalaman berharga dari hal tersebut (Tribunnews.com).

Yang perlu kita highlight adalah, saking kencangnya arus informasi hari ini, yang bisa dengan mudah didapatkan oleh semua kalangan, khususnya Gen Z, sangat sulit untuk menyaring informasi tersebut. Oleh karenanya apabila muncul tren terbaru, Gen Z merasa harus ikut berpartisipasi di dalamnya.

Seperti kemarin baru-baru saja muncul tren membeli boneka Labubu, yang awalnya dicetus oleh salah satu anggota Blackpink yakni Lisa. Para penggemar tentunya ingin menggunakan hal-hal yang sama dengan idolanya.

Termasuk juga penggemar Lisa. Mereka berlomba-lomba untuk membeli Labubu yang dibayar dengan harga fantastis serta rela untuk mengantri berjam-jam hanya demi sebuah boneka. Jangan heran, sebab apapun yang viral pasti akan ada aja pasarnya. Ntah itu bermanfaat atau malah tidak ada kegunaannya.

Inilah potret Gen Z hari ini. Bukannya malah fokus untuk upgrade diri, malah terpaku dengan hal-hal yang tidak semestinya pemuda muslim ikuti. Mereka tergerus arus sosial media yang menampilkan fenomena hedonisme yang tidak berasal dari ajaran Islam. Sebab, budaya hedonisme berasal dari kaum Barat, yang suka menghambur-hamburkan uang dan berakhir dengan tidak memperdulikan sekitarnya.

Padahal seperti kita yang kita tahu, di belahan dunia yang lain banyak yang lebih membutuhkan bantuan kita, pertolongan kita, harta dan tenaga kita, seperti Palestina, Uighur, dan Rohingya misalnya. Tapi tak perlu jauh-jauh, tetangga kita saja misalnya, sudahkah kita lihat bagaimana keadaannya? Sudah makan kah mereka? Tapi yang kita lakukan malah menghambur-hamburkan harta untuk kesenangan belaka. Inilah ironisnya Gen Z yang secara tidak langsung terbawa arus oleh sesuatu yang viral.

Kenapa sih Gen Z seperti ini? Kenapa Gen Z dengan mudahnya terobsesi dengan hal-hal yang sedang tren dan takut ketinggalan zaman? Inilah gencarnya peran sosial media dan sesuatu yang besar di baliknya.

Apalagi di tengah sistem kapitalisme sekarang yang semua orang berlomba-lomba mencari materi untuk menyenangkan dan memuaskan hawa nafsunya saja. Semua orang bebas untuk membeli apapun, bebas untuk melakukan apapun selagi tidak “mengganggu” dan “merugikan” orang lain. Begitulah keadaannya.

Memang benar, tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Tapi dengan mengikuti apapun yang sedang tren hari ini itu sama saja dengan hidup boros dan melahirkan perilaku yang liberal yang menganut asas kebebasan.

Standar sosial yang diikuti ini semata-mata hanya untuk berujung kepada konsumerisme dan mengakibatkan kesenjangan sosial lebih meluas lagi nantinya. Lalu siapa yang bisa mengatur kebebasan manusia yang semakin merajalela dan tidak terkontrol ini?

Islam jawabannya. Dari islam, kita dapat pemahaman bahwa sesuatu yang hendak kita beli seharusnya dipertimbangkan baik-baik fungsi dan kegunaannya, kalau tidak terlalu penting sebaiknya tidak perlu dibeli.

Sebaliknya, islam berfokus kepada peran dan potensi kalangan Gen Z khususnya untuk memaksimalkan perannya dalam menjalani kehidupannya sebaik mungkin. Seharusnya Gen Z dipahami akan tujuan hidup manusia yang sebenarnya arahnya ini mau kemana.

Apakah untuk Allah ataukah disetir oleh hawa nafsunya sendiri. Inilah yang harus dipahamkan sejak dini, atau dicari tahu lebih dalam lagi oleh Gen Z sebagai agen perubahan. Untuk mengubah persepsi dan standar sosial sekarang yang dikit-dikit Fomo dan hanya fokus kepada duniawi saja. (**)

*Penulis Adalah Mahasiswi USU Fak. Psikologi