OPINI | POLITIK
“Bahwa untuk menghentikan kasus penistaan agama, juga memerlukan ketegasan pemimpin yang paham esensi agama. Pemimpin yang memimpin rakyat dengan aturan agama serta melindungi rakyat dari para penista agama,”
Oleh: Zahrotun Nurul, S.Pd,
PENISTAAN agama kembali terjadi di negeri ini. Rakyat muslim dibuat murka oleh perusahaan kelab malam yang mencantumkan nama Nabi tercinta (Muhammad) dan Ibunda Maryam (Maria) yang begitu mulia pada promosi produk haram mereka. Tagar #TutupHolywingsIndonesia pun merajai dunia Maya.
Perusahaan kelab malam ini pun terancam tutup karena desakan masyarakat. Namun, Hotman Paris, pengacara sekaligus pemegang saham terbesarnya menyinggung nasib 3000 karyawan beserta keluarganya yang akan terdampak jika perusahaannya ditutup.
Pihak Holywings pun menyampaikan permohonan maaf pada akun Instagram mereka. Hingga saat ini, 6 oknum telah ditetapkan sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas promosi yang menyertakan nama Muhammad dan Maria.
Kasus penistaan agama di negeri mayoritas muslim ini bukanlah hal yang baru bahkan cenderung berulang. Penistaan Al-Qur’an, simbol agama, bahkan Nabi seakan menjadi hal yang terus terjadi. Pelakunya pun akan ditindak jika ada laporan kepada pihak kepolisian. Sedangkan yang tidak dilaporkan akan dibiarkan tanpa sanksi.
Menurut data Kumparan News, kasus penistaan agama yang terjadi di Indonesia tahun 2011-2021 ada sebanyak 60 kasus yang dilaporkan. Apabila ditelusuri lebih jauh, penista agama paling banyak dihukum selama 1-2 tahun penjara, yaitu mencapai 36,76 persen. Sementara vonis 0-1 tahun mencapai 25 persen dan vonis 2-3 tahun sebanyak 21,67 persen (27/8/21, kumparannews.com).
Hukuman yang begitu ringan, membuat kasus penistaan agama terus berulang.
Hal ini sangat berbeda dengan hukum Islam. Islam memandang penistaan agama adalah sebuah keharaman.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’am: 108).
Keharaman ini bersifat umum bagi agama apapun. Sehingga Islam melarang penistaan pada simbol agama apapun.
Dikutip dari laman islamkaffah.id, Dalam Fatawa al Azhar, ulama’ sepakat bahwa siapa saja yang menghina agama Islam, hukum murtad dan kafir (Fatawa al Azhar, Juz 6, Hal 64).
Sehingga seorang penista agama akan dihukum dengan hukuman yang membuat pelaku jera dan tidak melakukan tindakan yang sama. Jika hukuman penjara 5-6 tahun sudah cukup membuat jera pelaku, maka tidak perlu melakukan hukuman yang lebih berat lagi seperti membunuhnya. Namun jika hal tersebut tetap saja tidak memberikan efek apapun, maka boleh pada tingkatan membunuh (Ibn Qasim al Ghazi, Fathul Qarib, Hal 77).
Maka untuk menghentikan penistaan agama butuh tindakan tegas dan hukuman yang menjerakan sebagaimana yang dituntunkan di dalam Islam.
Dalam sejarah tertulis bagaimana Khalifah menindak tegas penista agama. Bahkan pada ranah luar negeri, Khalifah tegas mengancam tindakan penistaan agama.
Dikisahkan Sultan Abdul Hamid II, Khalifah Daulah Turki Ustmani, mendengar seorang penista agama asal Prancis, Henri de Bornier, akan menggelar pesta drama komedi yang berisi penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad SAW.
Sultan Hamid II segera menindak tegas hal tersebut dengan mengirim surat kepada Prancis agar melarang pementasan drama tersebut di seluruh Prancis.
Sultan pun memanggil seluruh duta negara-negara Eropa yang ada di daulah Khilafah Utsmaniyah.
Ketika mereka datang, sang khalifah membiarkan mereka menunggu berjam-jam di depan pintu kekhilafahan. Kemudian sultan datang dan menemui mereka dengan berpakaian militer sambil menjingjing sepatu, lalu dengan penuh wibawa dan nada mengancam ia berkata:
“Seandainya Prancis tidak menghentikan tindakannya (Pementasan drama yang menghina Rasulullah), niscaya aku kerahkan pasukan Kh
ilafah yang dengannya aku perlakukan mereka seperti sepatu yang ada di tanganku ini.
Maka pergilah, semoga Allah SWT menimpahkan keburukan kepada kalian”.
Dikisahkan Prancis menggagalkan pentas tersebut karena ancaman dari Sultan Abdul Hamid II.
Kisah ini memberi pelajaran, bahwa untuk menghentikan kasus penistaan agama, juga memerlukan ketegasan pemimpin yang paham esensi agama. Pemimpin yang memimpin rakyat dengan aturan agama serta melindungi rakyat dari para penista agama.
Kepemimpinan inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah dan dilanjutkan Khalifah setelahnya. Kepemimpinan yang berdiri di atas sistem Islam dan menjalankan amanah kepemimpinan sesuai aturan Islam. WaAllahu ‘alam. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Aktivis Muslimah