“Seorang muslim wajib bersikap hati-hati dengan dua hal ini mengingat beratnya hisab atas ucapan dan perbuatan selama di dunia. Diantara adab seorang muslim saat bermuamalah dengan orang lain adalah berkata yang baik, memuliakan tamu dan juga memuliakan tetangga,”
Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd
MUSLIM dan akhlak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena baik buruknya seseorang dapat dilihat dari akhlaknya memperlakukan sesama. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memisahkan akhlak dari defenisi seorang muslim.
Dari Abdullah bin ‘Amru, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (Shahih Bukhari).
Lisan seorang muslim dilarang untuk melukai orang lain, dan tangan seorang muslim tidak boleh digunakan untuk mendzolimi orang lain. Lisan dan tangan adalah dua kenikmatan yang diberikan Allah, dan keduanya akan dihisab di akhirat kelak.
Oleh karena itu, seorang muslim wajib bersikap hati-hati dengan dua hal ini mengingat beratnya hisab atas ucapan dan perbuatan selama di dunia.
Diantara adab seorang muslim saat bermuamalah dengan orang lain adalah berkata yang baik, memuliakan tamu dan juga memuliakan tetangga.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini mengandung tiga hal. Di dalamnya terdapat adab-adab seorang muslim dalam bermuamalah kepada muslim lainnya. Adab pertama adalah berkata yang baik atau diam. Artinya, jika lisan kita tidak mampu berkata yang baik kepada seseorang, maka tidak ada pilihan lain bagi kita selain menahan diri agar tidak mengucapkan apapun, alias diam saja.
Karena ucapan-ucapan buruk yang dilontarkan dapat menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. at-Tirmidzi).
Orang-orang yang masuk ke dalam neraka, mereka diseret dalam keadaan terhina. Bukankah wajah adalah simbol kemuliaan bagi seseorang di dunia ini? Sesuatu yang ditempatkan paling atas dari anggota tubuh, yakni di bagian kepala.
Namun, tatkala lisan tidak dijaga maka ia akan menjadi hal yang akan menghinakannya di akhirat. Pelakunya akan diseret ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka. Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkomentar mengenai hadits tersebut. Beliau menyebutkan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka.
Diantara dosa yang sering dilakukan seorang muslim dengan lisannya adalah menggunjing aib saudaranya. Padahal menutup aib orang lain adalah sebab Allah menutup aibnya di akhirat kelak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutup aibnya di Hari Kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya” (HR. Muslim).
Betapa malunya kita jika aib yang selama di dunia telah kita tutup rapat-rapat, namun karena kita membuka aib saudara kita di dunia, aib yang telah dirahasiakan itu justru dipertontonkan Allah kepada seluruh manusia di padang mahsyar.
Oleh karena itu, wajib bagi kita menahan diri dari menyampaikan keburukan kepada orang lain. Karena perkataan yang disampaikan dari satu orang ke orang lain biasanya sudah ditambahi dengan kedustaan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “bisa jadi seseorang mengatakan satu kalimat yang dimurkai Allah, suatu kalimat yang menurutnya tidak apa-apa. Akan tetapi, dengan sebab kalimat itu dia jatuh ke neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR. Ahmad). Padahal satu hari akhirat sama dengan 1.000 tahun dunia. Dapatkah kita membayangkan pedihnya siksaan karena dosa lisan itu?
Namun, di saat seorang muslim harus berbicara menyampaikan yang haq akan tetapi dia diam, maka sesungguhnya ia seperti setan yang bisu karena telah mendiamkan kemungkaran.
Contoh kemungkaran yang mudah kita temukan sehari-hari adalah perbutan pacaran, judi, zina, dan riba. Saat seorang muslim melihat kemungkaran-kemungkaran tersebut, maka wajib baginya untuk menasihati para pelaku sesuai kemampuannya.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya.
Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” Inilah perintah Rasul kepada umatnya saat berhadapan dengan kemaksiatan. Karena sikap mendiamkannya akan meligitimasi perbuatan buruk menjadi benar, dan dosa-dosa lambat laun menjadi biasa sebagaimana yang terjadi hari ini.
Adab kedua adalah memuliakan tetangga. Tetangga adalah mereka yang tinggal 40 rumah ke kanan, 40 rumah ke kiri, 40 rumah ke depan, dan 40 rumah ke belakang dari tempat rumah kita berada.
Dari banyaknya tetangga seorang muslim, yang paling berhak dimuliakan adalah tetangga yang paling dekat rumahnya dengan rumah kita. Syari’at Islam membagi jenis tetangga berdasarkan haknya menjadi tiga macam.
Pertama, tetangga non muslim. Mereka adalah tetangga yang punya satu hak. Mereka berhak untuk dilapangkan kesempitannya; dibantu kesulitannya; tidak diganggu; dan tidak dizholimi.
Kedua, tetangga muslim. Mereka adalah tetangga yang punya dua hak. Selain hak bertetangga mereka berhak mendapat hak sebagai muslim, yaitu jika kita bertemu maka ucapkanlah salam; jika dia meninggal maka kita mengurusi jenazahnya; jika ia sakit maka kita menjenguknya; dan dia berhak untuk dido’akan.
Ketiga, tetangga muslim dan masih ada hubungan kekerabatan. Mereka adalah tetangga yang punya tiga hak. Selain mendapat hak-haknya sebagai tetangga dan sebagai muslim, mereka juga mendapat hak-hak kekerabatan. Diantarnya adalah jika dia fakir maka kita wajib menanggung hidupnya.
Adab ketiga adalah memuliakan tamu. Tamu adalah orang yang dengan sengaja berkunjung ke tempat tinggal kita. Syari’at Islam memerintahkan kita untuk menjamu tamu dengan baik.
Diantara adabnya adalah menjamu tamu dengan makanan dan minuman. Berlaku ramah tamah terhadapnya. Terlebih jika tamu tersebut datang dari tempat yang jauh, maka kita wajib melayaninya sehari semalam.
Sungguh luar biasa syari’at Islam mengatur muamalah sesama manusia sebagaimana di dalam hadits ini. Adab-adab ini apabila diterapkan maka akan meniscayakan sebuah peradaban masyarakat Islam yang terbangun adalah masyarakat yang berkasih sayang, dan jauh dari pertengkaran serta permusuhan.
Karena setiap orang menyadari pentingnya ia menjaga lisan dan beradab kepada tetangga dan tamu-tamunya. Tidak sebagaimana suasana kehidupan pada masyarakat sekuler hari ini yang hidup dengan corak individualisme. Memudarnya ketaqwaan individu menyebabkan lisannya mudah menyakiti orang lain, nir empati terhadap tetangga, dan tidak memahami cara memuliakan tamu.
Tiga adab muslim ini tidak dapat berjalan baik kecuali ditopang dengan dua rukun iman. Yaitu iman kepada Allah dan iman kepada hari akhir. Orang yang berbuat baik dalam ucapan dan perlakuannya kepada orang lain adalah orang yang berorientasi kepada nikmat akhirat.
Dorongannya semata-mata karena iman bukan hubungan saling menguntungkan berbasis materialisme. Inilah rahasia ketenangan hidup seorang muslim. Karena disaat ia berbuat baik, maka dia berbuat baik semata-mata karena Allah. Dengan demikian, perlakuan buruk manusia terhadapnya tidak akan mengubah jati dirinya. Sebab dia tahu bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan kebaikan seorang hamba. Wallahu’alam bish showab. (*)
*Referensi : Majelis Kajian Hadits Arba’in An-Nawawi oleh Ustadz Kusnady ar-Razi (Khadim Majlis Darun Nawawi)