“Coba jika wabah virus Corona ini terjadi di era masa lalu tanpa adanya internet dan kita hidup di masa itu, tentu lebih sangat sulit dan susah lagi hidup kita,”
Oleh : Rakhmad Zailani Kiki
Jakarta | Lapan6Online | Pada Kamis sore (16/04/2020), saya berkomunikasi dengan sahabat saya di Singapura melalui telepon WA. Dia seorang pengusaha. Dia berbicara beberapa hal dengan saya, di antarnya tentang sulitnya usaha di tengah wabah Virus Corona COVID-19.
Di tengah pembicaraan, saya menyampaikan, “Pak, kita bersyukur wabah virus Corona ini tejadi ketika kita berada di era industri 4.0, sehingga kita masih bisa berusaha dan beraktivitas secara online. Coba jika wabah virus Corona ini terjadi di era masa lalu tanpa adanya internet dan kita hidup di masa itu, tentu lebih sangat sulit dan susah lagi hidup kita. Sekarang ini, kita hanya ubah cara kerja kita saja dari offline dan ke online.”
Pesan syukur seperti ini selalu saja saya sampatkan ketika melakukan percakapan via teks atau suara, terutama di musim wabah virus Corona. Karena memang didikan syukur ini menjadi pelajaran yang selalu saya terima dari guru-guru saya, terutama mertua angkat saya, seorang ulama sufi Betawi terkemuka, KH Abdurrahim Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan.
Salah satu pesan beliau kepada saya, “Ki, bersyukur yang terbaik itu di saat kita mengalami kesulitan dan mendapatkan musibah, bukan di saat mendapatkan kesenangan. Justru di saat kita mendapatkan kesenangan, kita harus banyak bersabar. Sebab banyak orang yang tidak sabar ketika mendapatkan kesenangan jadinya hidup berfoya-foya, menghambur-hamburkan uang!”
Ucapan beliau tersebut begitu melekat pada diri saya, namun terkadang saya pun sulit untuk menerapkannya. Namun, di saat wabah virus Corona COVID-19 melanda seperti saat ini, ucapan beliau sangat membantu saya untuk tidak cemas dan panik, tetap tenang dan optimistis. Dan ini tentu sangat membantu kesehatan diri saya, lahir dan batin.
Pendapat beliau tentang syukur juga berkaitan erat dengan sikap husnudzan, berprasangka baik dengan masalah atau musibah yang mengenai diri kita. Orang yang selalu husnudzan terhadap segala yang telah terjadi, termasuk musibah, adalah orang yang sudah berma`rifat.
Pengertian ma`rifat di sini seperti yang diungkapkan oleh Dzul Nun Al-Mishri, yakni Allah SWT menyinari qalbu manusia dan menjaganya dari kecemasan. Dinyatakan dalam sebuah hadits qudsi riwayat Ad-Dailami bahwa Allah SWT berfirman: “Tanda ma’rifat hamba-hamba-Ku di qalbunya terhadap Zat-Ku, ialah dengan Husnuzhan –berprasangka baik terhadap keputusan-Ku, tidak mengeluhkesahkan hukum-hukum-Ku, -tidak dirasakan lambat terhadap karunia-Ku, dan senantiasa malu untuk bermaksiat”. ****
*Penulis adalah Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre