OPINI | POLITIK
“Ijazah merupakan salah satu dokumen penting bagi seseorang, sebagai bukti telah menjalani aktivitas akademis. Selain itu, ijazah dijadikan syarat dalam beberapa keperluan seperti melamar kerja, kenaikan jabatan, dan lainnya,”
Oleh : Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum dan Puspita Satyawati
PRESIDEN Jokowi digugat! Gugatan tersebut diajukan oleh Bambang Tri Mulyono pada Senin (3/10/2022) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena diduga menggunakan ijazah palsu dalam Pilpres 2019. Gugatan itu terklasifikasi sebagai perkara perbuatan melawan hukum (PMH).
Penggugat dikenal sebagai penulis buku Jokowi Undercover, yang sempat dipenjara gara-gara tulisannya tersebut. Para tergugat yaitu Presiden Jokowi (tergugat I), Komisi Pemilihan Umum (tergugat II), Majelis Permusyawaratan Rakyat (tergugat III), dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (tergugat IV).
Kantor Staf Presiden (KSP) merespons gugatan tersebut dengan mewanti-wanti pada pihak yang mengajukan gugatan agar tidak menyebarkan kebencian, serta wanti-wanti digugat balik. Tentunya penggugat harus bersiap diri jika Presiden Jokowi menuntut balik atas gugatan perdata PMH ini. Namun sesuai delik aduan, harus Jokowi secara pribadi yang melaporkan ke aparat penegak hukum (APH), bukan yang lain. Beda jika ia dijerat dengan UU ITE, maka siapa pun bisa melaporkannya kepada APH atas dugaan penyebaran berita bohong atau tidak lengkap, dan pencemaran nama baik melalui internet.
Hukum Ijazah Palsu Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Ijazah merupakan salah satu dokumen penting bagi seseorang, sebagai bukti telah menjalani aktivitas akademis. Selain itu, ijazah dijadikan syarat dalam beberapa keperluan seperti melamar kerja, kenaikan jabatan, dan lainnya. Namun, faktanya ada oknum yang menggunakan ijazah palsu demi memuluskan hal itu.
Pemalsuan ijazah dalam Pasal 263 KUHP digolongkan kepada pemalsuan surat. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, diatur dengan tegas bagi pelaku yang menggunakan ijazah atau gelar kesarjanaan dan orang yang membantu memberikan ijazah yang terbukti palsu akan dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun.
Penggunaan surat palsu itu harus dapat mendatangkan kerugian. Kerugian tersebut tidak hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan, dan sebagainya. Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja “memalsukan” surat (ayat 1), tetapi juga “sengaja mempergunakan” surat palsu (ayat 2).
“Sengaja” maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum. Tentunya terkait dengan tahu atau tidak tahunya pemohon itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan oleh penyidik maupun dalam persidangan.
Jika presiden yang sedang menjabat melakukan kejahatan pemalsuan ijazah yang digunakan sewaktu ia mendaftarkan diri sebagai calon Presiden, maka ia dapat pula dikenakan hukum:
1. Di-impeachment sesuai Pasal 7 A UUD 1945 karena melakukan perbuatan tercela, yakni penggunaan ijazah palsu.
2. Dipidana paling lama 5 tahun sesuai UU Sisdiknas jo Pasal 263 KUHP.
3. Digugat secara perdata. Dalam konteks hukum perdata, perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dijelaskan pihak yang dirugikan oleh pihak lain berhak menuntut ganti rugi tetapi ini bukan dalam lapangan perjanjian.
Namun bila gugatan tidak terbukti, menjadi hak bagi lawan untuk menggugat balik atas dasar gugatan tidak berdasar. Kita sebut gugatan rekonvensi.
Gugatan rekonvensi diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Rekonvensi merupakan upaya tergugat untuk menggugat balik penggugat dalam suatu perkara yang sama. Tuntutan balik ini dimungkinan untuk hukum perdata.
Gugatan rekonvensi dalam hukum perdata dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat. Tergugat bisa melakukan tuntutan balik. Gugatan balik kerap dilakukan saat tergugat merasa difitnah. Adapun syarat tuduhan dapat dikatakan sebagai fitnah yaitu perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut berbunyi, “Barangsiapa melakukan kejahatan atau menista dengan tulisan dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhannya itu dilakukan sedang diketahuinya tidak benar, dihukum selama-lamanya 4 tahun.”
Akan tetapi unsur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP harus merujuk pada Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud akan tersiarnya tuduhan itu dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak Rp4.500.”
Apabila dalam proses penyidikan penyidik tidak menemukan cukup bukti untuk menuntut tersangka, maka berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidik dapat melakukan penghentian penyidikan.
Untuk menuntut balik pelaporan tanpa bukti lebih kuat, maka tergugat dapat menentukan tuntutan dan pasal yang sudah dilanggar oleh pelapor. Opsi yang dapat dipilih, yaitu:
1. Pasal 220 KUHP, menjadi landasan hukum untuk menuntut balik laporan yang tidak berdasar, seseorang melaporkan suatu perbuatan pidana, padahal sebenarnya tidak. Maka ancaman hukuman maksimal yang didapat adalah 16 bulan penjara.
2. Pasal 310 KUHP, pelapor yang sengaja merusak kehormatan tersangka dengan menuduh dan bermaksud menyiarkannya. Maka tersangka bisa melakukan cara menuntut balik pelaporan tanpa bukti dengan maksimal 9 bulan pidana penjara.
3. Pasal 311 KUHP berisi pelapor yang menista tersangka dengan menuduh tapi tidak dapat membuktikannya, maka ia dapat dijatuhi hukuman maksimal empat tahun pidana penjara.
4. Pasal 317 KUHP, dapat dijadikan landasan hukum untuk penuntutan balik dengan ancaman hukuman pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No 1 hingga 3.
Untuk melaporkan atau menuntut balik harus dilakukan dengan cara mengumpulkan bukti dan menentukan landasan hukumnya ke kantor polisi. Langkah ini harus dilakukan sebelum membawa sebuah kasus ke dalam pengadilan.
Demikian peraturan perundang-undangan terkait gugatan ijazah palsu terhadap Presiden Jokowi. Berikut ketentuan bila sang tergugat menghendaki untuk menuntut balik penggugat.
Dampak Penggunaan Ijazah Palsu oleh Presiden terhadap Diri dan Jabatannya
Tidak ada proses hukum yang instan. Atas suatu tuduhan, penuduh wajib membuktikan dengan alat bukti lengkap (surat, pengakuan, keterangan ahli, dan petunjuk). Untuk kasus ini, sebenarnya mudah untuk menentukan ijazah Jokowi asli atau palsu.
Penggugat tinggal menunjukkan bukti-bukti kepalsuan seraya menunjukkan mana yang asli dengan meminta hakim untuk memerintahkan tergugat menunjukkan ijazah aslinya, kemudian harus diuji keasliannya. Semua jelas; saksi, bukti surat, penerbit ijazah, dan lain-lain bisa dihadirkan dalam sidang untuk pembuktian tersebut.
Bila terbukti memiliki ijazah palsu, tentu akan berdampak besar bagi pelakunya, terlebih bila ia sebagai presiden. Berikut dampak terhadap diri dan jabatannya:
1. Dinilai oleh publik tidak layak menjadi presiden
Pejabat dengan ijazah palsu sangat rentan melakukan penyalahgunaan wewenang. Jika pejabat berani memalsukan gelar, sangat mungkin ia pun berani melakukan tindakan manipulasi atau kebohongan lainnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika diberi amanah mengkhianati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Layakkah orang munafik memimpin sebuah negeri, terlebih penduduknya mayoritas Muslim seperti di Indonesia ini?
2. Dikenai ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun sebagaimana tertuang dalam KUHP Pasal 263 tentang pemalsuan surat (dokumen). Atau dipidana paling lama lima tahun sesuai UU Sisdiknas jo Pasal 263 KUHP.
Adapun bunyi Pasal 263 KUHP sebagai berikut:
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian. (K.U.H.P. 35, 52, 64-2, 276, 277, 416, 417, 486).
3. Kredibilitas diri menurun dan kepercayaan (trust) masyarakat padanya akan anjlok
Kredibilitas adalah kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan. Orang yang naik jabatan menggunakan ijazah palsu, kredibilitasnya sungguh diragukan. Lantas, bagaimana rakyat akan memberikan trust-nya?
Padahal trust merupakan modal penting sekaligus motivasi bagi penguasa untuk menjalankan pemerintahan demi mengatur urusan rakyat. Apalagi dalam sistem demokrasi yang mengagungkan kedaulatan rakyat, harusnya tak ada kekuasaan yang bisa diraih tanpa kepercayaan rakyat. Realitasnya, penguasa ingin dipercaya tapi ia abai cara mendapatkannya.
Demikian beberapa dampak penggunaan ijazah palsu oleh presiden terhadap diri dan jabatannya. Memang berat berhadapan dengan penguasa tertinggi di negeri ini seperti presiden. Tentu banyak barrier menghadang ketika presiden dituduh berbuat kejahatan. Namun bukan tidak mungkin, suatu kejahatan akan terbuka ketika Allah SWT memang berkehendak membukanya.
Semoga Allah SWT menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga sang pelaku dapat dihukum setimpal sesuai kesalahannya. Dan bangsa ini senantiasa tertunjuki pada kebenaran serta terbebas dari para pemimpin pendusta dan khianat. [*]
*Penulis Adalah Pakar Hukum dan Masyarakat) dan (Analis Politik dan Media)
*Sumber : tintasiyasi.com