OPINI
“Kasus bom bunuh diri pengingat justifikasi bagi masyarakat terhadap isu terorisme seolah benar-benar masalah besar bangsa dan dunia. Padahal banyak gambaran nyata masalah pada bangsa,”
Oleh : Novalis Cinta Sari
“PELAKU merupakan bagian dari kelompok JAD (Jamaah Ansharut Daulah) yang pernah melakukan pengeboman di Jolo Filipina,” ungkap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat meninjau lokasi kejadian.
Ya, Minggu 28 Maret 2021 kembali terjadi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar. Untuk kesekian kalinya pun kembali Islam menjadi tertuduh atas tindakan tidak manusiawi tersebut. Bom bunuh diri Makassar, Islamlah yang disasar.
Bagaimana tidak, sudah terlalu banyak kejanggalan pada pola aksi semacam ini. Ditambah dengan adanya bukti-bukti seolah sengaja ditinggalkan dan selalu mengarah pada Islam.
Mulai dari KTP, beredarnya wajah terbuka pelaku naik motor tanpa menggunakan helm pada rekaman kamera, plat kendaraan, ditemukannya buku-buku dan atribut-atribut ormas tertentu, meninggalkan surat wasiat, sampai dengan mudahnya pelaku yang seorang perempuan bersenjata bisa menerobos masuk penjagaan ketat di Mabes Polri.
Menjadi sebuah pertanyaan besar jika memang ini adalah sebuah tindakan yang harusnya matang penuh perencanaan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir juga mengimbau untuk tidak mengaitkan tindakan bom tersebut terhubung dengan agama dan golongan umat beragama tertentu. Bisa jadi aksi bom Makassar ini menjadi adu domba kepada rakyat Indonesia.
Kasus bom bunuh diri pengingat justifikasi bagi masyarakat terhadap isu terorisme seolah benar-benar masalah besar bangsa dan dunia. Padahal banyak gambaran nyata masalah pada bangsa, salah satunya gambaran buruknya ketersediaan pangan dari 3 balita yang mengalami kelumpuhan karena kekurangan gizi di Jawa Tengah, gambaran buruknya layanan kesehatan dari catatan satu bulan Mei terdapat 3 pasien meninggal karena ditolak oleh pihak Rumah Sakit di Maluku, gambaran kemiskinan dari sebuah keluarga yang mengonsumsi air comberan selama bertahun-tahun di Banten.
Tapi sepertinya gambaran-gambaran tersebut hanyalah sebuah kisah untuk bisa diratapi belaka tanpa adanya penanggulangan aksi nyata, karena dianggap tidak berbahaya bagi penguasa.
Sementara isu terorisme (fobia Islam) terus digulirkan di tengah masyarakat tanpa adanya pemberantasan tuntas jaringan teroris yang sebenarnya. Dikarenakan isu ini berpotensi dijadikan alat memecah belah dan mengarahkan opini demi kepentingan politik tertentu serta kepentingan pihak tertentu. [*]