“Tidak hanya masalah dipersulitnya membuka audit BPJS Kesehatan kepada publik, BPJS Kesehatan nyatanya tidak memberikan jaminan kesehatan yang layak bagi masyarakat,”
Oleh : Fatimah Azzahrah Hanifah
Jakarta | Lapan6Online : Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa, 16 Juli 2020, membatalkan gugatan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) mengenai keterbukaan informasi hasil audit terhadap BPJS Kesehatan.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) telah mendesak BPKP RI untuk membuka hasil audit terkait defisit BPJS kepada publik. Peneliti ICW, Edi Primayogha mengatakan hasil audit BPKP penting diketahui publik karena berkaitan dengan transparasi BPJS Kesehatan, terutama saat ada keputusan penaikan iuran.
Nada yang sama dikatakan oleh Fian Alaydrus, peneliti dari Lokataru Foundation. Seperti yang diberitakan tirto.id, Fian mengatakan, “Temuan dari hasil-hasil audit ada praktik-praktik kecurangan. Ada praktik tata kelola yang buruk, tapi itu enggak dibuka. Selalu narasi utamanya adalah warga negara enggak tertib bayar.”
Sementara itu, Sri Mulyani memberikan dua alasan mengapa tidak membuka hasil audit BPJS Kesehatan kepada publik. Pertama, Kemenkeu menilai, jika hasil audit itu dibuka kepada publik dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional. Kedua, hasil audit tersebut dinilai sebagai memorandum atau memuat surat-surat antar badan publik yang sifatnya dirahasiakan.
Keputusan ini sangat tidak wajar. Rakyat selaku pelaku utama BPJS Kesehatan tentu berhak mengetahui tentang dana tersebut. Tidak menutup kemungkinan, dipersulitnya keterbukaan audit BPJS Kesehatan ini karena adanya praktik-praktik tidak sehat dan tata kelola yang buruk di dalamnya.
Tidak hanya masalah dipersulitnya membuka audit BPJS Kesehatan kepada publik, BPJS Kesehatan nyatanya tidak memberikan jaminan kesehatan yang layak bagi masyarakat. BPJS Kesehatan malah membuat masyarakat semakin tercekik dengan kebijakan-kebijakannya, yakni:
Pertama, kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Walaupun sebelumnya MA telah membatalkan keputusan Jokowi untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan, Presiden Jokowi akhirnya menandatangani Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang salah satu isinya adalah perubahan tarif iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini dinilai tidak berperasaan sebab situasi ekonomi masyarakat yang menurun akibat pandemi Covid-19.
Kedua, fasilitas dan layanan yang tidak kunjung membaik. Sayangnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tidak menjadikan layanan BPJS Kesehatan membaik. Seperti, sistem administrasi yang sulit, layanan kesehatan yang minim dan perlakuan kurang nyaman.
Ketiga, masyarakat yang menunggak pembayaran iuran BPJS Kesehatan diancam terkena sanksi administratif yang dinilai tidak manusiawi. Sanksi tersebut berupa tidak mendapatkan layanan publik seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), setifikat tanah, paspor, STNK, hingga pendaftaran sekolah.
Pelayanan kesehatan BPJS yang menyakitkan bagi masyarakat karena sekularisme yang telah mengakar di negeri ini. Kesehatan dalam pandangan sekularisme adalah produk jasa yang dikomersialkan. Negara hadir hanya sebagai regulator yang menjamin komersialisasi ini berlangsung. Sehingga BPJS Kesehatan tidak lebih sekadar upaya pemerintah lepas tangan dari urusan kesehatan rakyatnya.
Berbeda halnya dengan Islam. Kesehatan dalam sistem Islam adalah kebutuhan dasar setiap warga negara. Negara hadir sebagai penanggung jawab langsung dan penuh terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Hal ini terbukti dalam sejarah peradaban Islam. Ketika penguasa hadir sebagai pelaksana syariat Islam kaffah dalam bingkai khilafah, dunia menyaksikan selama puluhan abad bagaimana fasilitas-fasilitas kesehatan tersedia secara memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya dan tersebar hingga ke pelosok. Inilah buah manis ketika syariat Islam dilaksanakan dalam bingkai khilafah. ****
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Indonesia