“Tak sedikit suara kritis bermunculan di suatu negeri. Pasalnya banyak terjadi fenomena yang menggambarkan keterpurukan, ketertindasan, ketidakadilan dan sebagainya,”
Oleh : Nanik Farida Priatmaja, S.Pd
Jakarta, Lapan6Online : Komandan Kodim 1417/Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi resmi dicopot dari jabatannya.
Pencopotan dilakukan melalui serah terima jabatan yang dipimpin oleh Komandan Korem 143/Ho Kendari Kolonel Inf Yustinus Nono Yulianto di Aula Sudirman Markas Komando Resor Militer Kendari.( Kompas.com,12/10/19).
Pencopotan Dandim Hendi akibat postingan istri beliau (IPDN) di media sosial Facebook yang diduga mengandung ujaran kebencian terhadap kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto.
IPDN mengaku bahwa postingannya sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi negeri ini. Namun hal itu ternyata malah berbuntut panjang hingga menjadi penyebab pencopotan jabatan sang suami.
Sebenarnya tak sedikit suara kritis bermunculan di suatu negeri. Pasalnya banyak terjadi fenomena yang menggambarkan keterpurukan, ketertindasan, ketidakadilan dan sebagainya. Sehingga wajar jika bermunculan suara-suara kritis sebagai ungkapan berdasar hati nurani. Malah sangat aneh jika tak ada kepedulian sedikit pun.
Negara ini mengaku menganut demokrasi akan tetapi tak selamanya memberikan ruang kebebasan berpendapat. Malah membungkam hak berpendapat dengan alasan ujaran kebencian.
Sangatlah wajar jika seorang pejabat ataupun penguasa menuai kritik dari rakyatnya. Pasalnya memang ia digaji oleh rakyat dan menjalankan amanah rakyat serta tak semua kebijakan yang telah dibuat sesuai dengan hati nurani rakyat.
Secara teori, negara demokrasi menjamin empat kebebasan bagi rakyat. Kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan berakidah dan kebebasan kepemilikan. Namun faktanya keempat kebebasan tersebut tak akan mampu terjamin oleh demokrasi. Selalu saja saling bertentangan dan dimanfaatkan rezim demi menjaga keberlangsungan kekuasaannya.
Tak jarang kebebasan yang diusung demokrasi hanya sebatas jargon yang kosong dalam aplikasi. Pembungkaman suara rakyat yang tak sejalan dengan penguasa akan terus terjadi. Rakyat terbungkam dengan undang-undang ujaran kebencian meskipun mengkritik kebijakan demi kepedulian terhadap negeri tercintanya.
Ruang aspirasi negara demokrasi seakan terlihat bebas tanpa batas. Kebebasan berakidah tak jadi masalah meski menghina agama lain. Berperilaku sesat layaknya binatang (menyukai sesama jenis) dianggap sah demi alasan hak asasi manusia. Menjual aset negara boleh-boleh saja asalkan demi keberlangsungan partai dan anak cucunya, dengan alasan mempermudah investasi asing.
Namun tak semua rakyat menikmati kebebasan demokrasi ini, apalagi bagi rakyat yang sangat cinta negeri yang malah mendapat gelar terpapar radikalisme dan anti toleransi. Padahal suara kritis mereka tak lain karena rasa kecintaan mereka terhadap negeri ini.
Jargon kebebasan berpendapat sepertinya tak akan lagi bisa diwujudkan. Munculnya berbagai “pasal karet” akan mudah menjerat suara-suara kritis rakyat yang dianggap tak sejalan dengan penguasa saat ini.
Menyampaikan pendapat dalam rangka dakwah di dalam islam telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 104, sebagai wujud kepedulian terhadap sesama manusia untuk menyampaikan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Negara yang menerapkan syariat Islam dalam kehidupan telah menjamin kebebasan untuk memberikan muhasabah(kritik) kepada penguasa. Bahkan hukumnya wajib bagi setiap individu serta dianggap sebagai jihad yang paling utama.
Majelis umat merupakan bagian struktur negara yang menerapkan syariat Islam dalam kehidupan yang berfungsi menyampaikan aspirasi rakyat kepada penguasa.
Majelis umat terdiri dari wakil rakyat yang telah dipilih oleh rakyat baik muslim ataupun non muslim, laki-laki ataupun perempuan.
Aspirasi yang disampaikan oleh majelis umat akan menjadi pertimbangan penguasa dalam rangka memperbaiki kebijakan yang bisa jadi belum tepat dengan kondisi rakyat, memperbaiki kualitas kepemimpinan penguasa, serta menyelesaikan permasalahan rakyat. Majelis umat terbentuk demi adanya kontrol atas kepemimpinan penguasa.
Pembungkaman aspirasi rakyat hanya ada pada negara diktator yang begitu phobia terhadap runtuhnya kekuasaan. Tak aneh jika banyak terjadi di negara sekuler yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan utama kehidupan.
Sangat berbeda dengan negara yang memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan yang menganggap kepemimpinan sebagai sebuah amanah berat yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Kepemimpinan dalam Islam sangat mengakomofir aspirasi rakyat demi kontrol dan kebaikan seluruh rakyat dan negara. Bukan khawatir akan keruntuhan kekuasaan sehingga membungkam suara rakyat yang peduli dengan negaranya.
Terbukti lemah dan tidak mampu menghadirkan keadilan bagi rakyat, maka sistem demokrasi tak layak dipertahankan karena telah terlihat kebobrokannya yang tak mampu diterapkan dalam kehidupan.
Realitanya, Demokrasi hanya sebagai jargon yang akan membungkam rakyat secara suka-suka menurut selera rezim. GF