Oleh : Lucius Karus
Lapan6online : 100 hari pertama Jokowi-Amin menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 telah berhasil dilalui. Perjalanan kurang lebih tiga bulan itu telah menorehkan berbagai catatan. Ada yang positif dan ada yang negatif.
Satu hal positif yang patut dicatat dari kerja 100 hari pertama Jokowi ini adalah keberhasilannya melakukan konsolidasi politik dalam waktu yang cepat. Di periode sebelumnya, Jokowi juga terlihat berhasil melakukannya setelah tiga partai oposisi hasil Pemilu 2014 berhasil diajak bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah. Ketiga partai tersebut adalah PPP, Golkar, dan PAN. Proses bergabungnya 3 parpol oposisi periode lalu menjadi koalisi terhitung memakan waktu cukup lama. Banyak kegaduhan akibat pertarungan politik antar koalisi yang berakhir dengan “menyerahnya” kelompok koalisi. Sampai akhirnya satu per satu tiga parpol oposisi tersebut berhasil masuk koalisi, pemerintahan Jokowi-Kalla berjalan mulus hingga akhir periode 2019 lalu.
Pada periode jabatannya yang kedua, Jokowi bergerak cepat melakukan konsolidasi. DI minggu pertama pasca pelantikan, Jokowi sudah berhasil mengajak Gerindra yang sejak periode lalu menjadi oposisi bagi Jokowi. Sebagai salah satu partai dengan raihan kursi parlemen ketiga, kesuksesan Jokowi membalikkan posisi Gerindra berdampak serius bagi konstelasi perpolitikan nasional. Sebagai sebuah partai besar ditambah lagi dengan peran Gerindra dan Prabowo sebagai pusat kekuatan oposisi, perpindahan Gerindra ke koalisi pendukung pemerintah bak mengamputasi gerakan oposisi yang semula diprediksi masih akan signifikan jika Gerindra tetap menjadi koordinator oposisi.
Jokowi berhasil “melumpuhkan” kekuatan oposisi dan dampaknya sangat terasa dalam perjalanan 3 bulan pertama Jokowi-Amin. Tak ada pergolakan serius sejak hari pertama hingga akhir bulan ketiga pemerintahan Jokowi-Amin. Bahkan nyaris tak ada pergolakan. Pemilihan pimpinan DPR disamping karena perintah UU yang mengunci pembagian kursi berdasarkan jumlah kursi parlemen, peran Jokowi dan koalisinya untuk memuluskan proses juga terlihat. Yang paling kelihatan adalah pemilihan pimpinan MPR yang menjadi lahan bagi-bagi kursi bagi semua partai di parlemen. Partai dengan suara paling buncit seperti PPP saja diberikan jatah. Memberikan penghargaan bahkan bagi partai yang tak semestinya mendapatkannya. Parpol menengah yang berposisi sebagai oposisi tak luput dari penghargaan Jokowi melalui kursi atau jabatan di pimpinan MPR.
Keharmonisan saat pelantikan kursi pimpinan MPR karena jatah yang dibagi rata menumpulkan kegarangan parpol oposisi hingga tiga bulan sesudahnya. Setiapkali parpol oposisi ingin terlihat galak, mereka sepertinya tak punya kekuatan lebih untuk mewujudkan keinginannya mengoreksi kebijakan pemerintah.
Semua itu adalah bagian dari keberhasilan Jokowi sebagai presiden yang disaat bersamaan menjadi semacam konduktor bagi parpol koalisi.
Narasi keberhasilan di atas nampaknya menjadi satu-satunya kisah keberhasilan Jokowi yang sayangnya menimbulkan efek positif sekaligus negatif.
Positifnya, ada ruang leluasa bagi Jokowi-Amin untuk mengerek cepat program-program unggulan mereka karena hampir pasti tak akan ditolak oleh parlemen.
Negatifnya pemerintah sendiri seperti tak siap untuk langsung bergerak cepat mengeksekusi program-program tersebut. Bahkan dalam situasi yang sangat kondusif, pemerintah nampak gagap. Omnibus Law yang menjadi salah satu kampanye pemerintahan Jokowi-Amin sampai hari ini baru bisa diserahkan ke DPR. Penyerahan draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja langsung disambut protes karena dianggap elitis dan mengabaikan suara lapisan masyarakat bawah yang justru menjadi alamat utama UU Omnibus Law tersebut.
Selain itu koalisi gemuk dan oposisi yang tak berdaya membuat suara kritis rentan menjadi ujaran kebencian di rejim ini. Ini salah satu efek buruk koalisi gemuk Jokowi ini bagi demokrasi. Banyak orang krtis terancam pidana, sementara penguasa yang berbohong dibiarkan.
Disamping kegagagapan dalam bekerja, kabinet Jokowi-Amin serta koalisi partai pendukung menorehkan catatan negatif karena terlampau banyak menelurkan gagasan-gagasan kontrapproduktif, sesuatu yang mengganggu semangat kabinet dalam menggenjot hasil di 100 hari pertama. Gagasan-gagasan usang seperti menghidupkan GBHN, perpanjangan masa jabatan presiden, pemilihan tidak langsung, dll langsung diluncurkan kelompok penguasa. Ini energi negatif yang merusak irama kabinet dalam bekerja, sesuatu yang membuat kerja Jokowi-Amin mandeg di 100 hari pertama.
Kealpaan Jokowi untuk memastikan gangguan-gangguan berupa gagasan kontraproduktif di atas tak terlihat. Kalaupun muncul tetapi sangat terlambat., Ia sering menghilang untuk sesuatu yang sulit dijelaskan hasilnya.
Yang paling serius adalah soal pemberantasan korupsi. Sejak UU KPK baru dibahas hingga disahkan, Jokowi seperti tak punya kepedulian. Ia membiarkan kekuatan pro koruptor menyedot habis energi pemberantasan korupsi hingga yang tersisa adalah bau-bau amis korupsi yang dipelihara oleh KPK saat ini. Pelemahan semangat anti korupsi ini adalah monumen kegagalan utama dan mendasar bagi Jokowi-Amin. Perfcuma dengan semua program ambisiusnya, jika penyakit korupsi ini dengan mudah akan merusak semuanya pada waktunya. Lihatlah korban perdana pemberantasan korupsi yang telah lemah ini adalah kader partai asal Jokowi yakni PDIP. Dan di hadapan itu, Jokowi masih saja diam. Menyedihkan!
Masih dalam konteks penegakan hukum, keterlibatan aktif Yasonna untuk sesuatu yang tak seharusnya dia lakukan juga dibiarkan saja oleh Jokowi. Dalam kasus Harun Masiku, Yasona beberapa kali melakukan blunder sebagai menteri hukum dan HAM. Ia nampak lebih ingin dikenang sebagai abdi partai ketimbang sebagai seorang profesional yang memberikan sumbangsih bagi kuatnya dunia penegakan hukum kita. Jokowi tak bersuara. Mungkin karena sesama pekerja partai yang sama, jadi ada solidaritas kader yang tak terhindarkan.
Pembahasan RUU-RUU krusial sisa periode lalu tak kelihatan menjadi prioritas 3 bulan pertama. Padahal semuanya sudah bisa dilakukan jika Pemerintah dan DPR mau melakukannya. Sayangnya bahkan sampai sekarang nasib RUU kontroversial tersebut seperti RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dll belum jelas nasibnya.
Jadi hal positif yang terjadi pada 100 hari pertama nampaknya sepertinya sulit untuk disebutkan diantara lautan hal negatif yang menjadikan 100 hari pertama Jokowi dianggap sebagai fase gagal pemerintahan ini.
Penulis adalah Peneliti FORMAPPI