Dampak Kenaikan Harga Tiket Pesawat, Jeritan Rakyat Pulau Kalimantan Hingga Polemik Mafia Penerbangan : Ini Harga Tiket Atau DP Motor?

0
16
Ketua Komisi V DPR, Lasarus dan Sekretaris Jenderal Forum Wartawan dan LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi/Foto : Ist.

NEWS | PERISTIWA

“Praktik ini diduga melibatkan oknum agen travel nakal yang bersekongkol dengan calo. Misalnya, tiket Jakarta-Pontianak dengan harga normal Rp2,5 juta bisa melonjak hingga Rp8 juta saat H-7 keberangkatan,”

Jakarta | Lapan6Online : Bagi warga Kota Pontianak Kalimantan Barat, pesawat bukan sekadar moda transportasi, melainkan lifeline yang menghubungkan mereka dengan pusat ekonomi, pendidikan, dan keluarga di luar pulau.

Namun, sejak harga tiket pesawat melambung hingga level fantastis pada musim mudet Nataru 2024/2025, gelombang protes dan keputusasaan mulai menggema dari jantung Pulau Kalimantan hingga ke meja rapat para pemangku kebijakan di Jakarta.

Ini Harga Tiket Atau DP Motor?
Adalah Wawan ( 56 ). Dia merupakan seorang pekerja sektor informal di Jakarta, terpaksa menunda rencana mudik setelah melihat harga tiket Jakarta-Pontianak menyentuh Rp8 juta.

“Ini harga tiket atau DP motor? Bagaimana mungkin 1,5 jam di udara harganya setara gaji bulanan buruh?” ujarnya geram.

Kisah Wawan bukan sekadar anekdot, melainkan potret buram ketimpangan akses transportasi yang kian melebar.

Siti Rohmahi (21), mahasiswa asal Kota Pontianak yang kuliah di Jakarta, mengaku stress memantau fluktuasi harga tiket via aplikasi.

“Tiga hari saya pantau, harganya malah naik Rp1 juta per jam. Pemerintah harusnya turun tangan, bukan cuma bagi-bagi stiker ‘anti-mahal’!” protesnya.

Data Kementerian Perhubungan mencatat, kenaikan tarif tiket domestik pada musim Nataru mencapai 40-200 persen, dengan rute seperti Jakarta-Pontianak, Jakarta-Surabaya, dan Jakarta-Makassar menjadi yang paling terpukul.

Ironisnya, lonjakan ini terjadi di tengah klaim pemerintah tentang “kebijakan pengendalian harga” dan “pengawasan ketat”.

Spekulasi Tiket, Dynamic Pricing, dan Mafia yang Bermain di Balik Layar
Jika masyarakat menjerit, di balik layar, spekulasi tiket dan praktik dynamic pricing oleh maskapai justru menjadi komoditas yang menggiurkan.

Sekretaris Jenderal Forum Wartawan dan LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi, menuding adanya permainan sistem yang tidak manusiawa.

“Ada pihak yang membeli tiket dalam jumlah besar saat harga rendah, lalu menjualnya dengan markup 300-400 peresen saat permintaan tinggi. Ini bukan bisnis, ini predatory practice!” tegasnya dalam jumpa pers bersama penasihat hukum Dedi Kurniawan AR SH.

Praktik ini diduga melibatkan oknum agen travel nakal yang bersekongkol dengan calo. Misalnya, tiket Jakarta-Pontianak dengan harga normal Rp2,5 juta bisa melonjak hingga Rp8 juta saat H-7 keberangkatan.

Padahal, menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89/2023, maskapai wajib mematok harga maksimal 1,5x dari tarif dasar. Namun, aturan ini seperti macan ompong tanpa penegakan hukum.

Tak hanya itu, sistem dynamic pricing — algoritma penetapan harga berdasarkan permintaan — dinilai kontraproduktif.

“Maskapai berdalih ini strategi bisnis, tapi ketika harga bisa berubah setiap detik, masyarakatlah yang jadi korban. Ini bukan efisiensi, tapi eksploitasi,” kritik Wawan Daly.

Garuda Indonesia VS DPR: Polemik Biaya Avtur dan Pajak Tak Pernah Usai
Di tengah gejolak, Direktur Utama Garuda Indonesia, Wamildan Tsani Panjaitan, dipanggil ke hadapan Komisi V DPR RI untuk mempertanggungjawabkan mahalnya harga tiket.

Dalam Rapat Kerja bersama Menteri Perhubungan hingga Menteri PUPR (23/1/2025), Wamildan menjelaskan bahwa 35 persen biaya operasional berasal dari avtur dan 30 persen dari sewa pesawat.

“Sewa satu pesawat per bulan mencapai $300.000. Ditambah pajak, parkir bandara, hingga sparepart, margin kami sangat tipis,” ujarnya.

Namun, penjelasan ini justru memantik skeptisisme. Ketua Komisi V DPR, Lasarus, menanggapi dengan nada begini.

“Kalau semua biaya dikambinghitamkan ke avtur dan pajak, apa kita harus terbang pakai layangan saja?.”

Legislator asal daerah pemilihan Kalimantan Barat II ini meminta pemerintah memberikan insentif pajak untuk avtur dan sparepart, seperti yang dilakukan negara lain.

“Di Singapura, pajak sparepart pesawat 0 persen. Kita? Pajaknya sampai 11 persen. Mau kompetitif bagaimana?,” kata pria yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P itu.

Pernyataan Lasarus menyiratkan kegagalan pemerintah dalam menyeimbangkan kepentingan fiskal dan keadilan sosial.

Padahal, menurut catatan ASEAN Aviation Report 2024, Indonesia termasuk negara dengan pajak avtur tertinggi di Asia Tenggara (Rp1.500/liter), jauh di atas Malaysia (Rp900/liter) dan Thailand (Rp700/liter).

Kecerdasan Mengorbankan Rakyat?
Sistem dynamic pricing yang diagung-agungkan sebagai inovasi justru menjadi bumerang.

Contoh nyata adalah tiket Jakarta-Pontianak pagi hari bisa dihargai Rp3 juta, namun melonjak ke Rp6 juta di sore hari hanya karena kuota kursi tersisa menipis.

“Ini algoritma yang memanusiakan maskapai, tapi membinatangisasi penumpang,” sindir pengamat transportasi, Ahmad Syafii.

Maskapai berargumen sistem ini membantu mengoptimalkan pendapatan. Namun, dalam praktiknya, dynamic pricing sering diikuti oleh price gouging (penetapan harga semena-mena).

Itu terutama saat bencana atau musim mudet. Masyarakat pun terjebak dalam panic buying, mirip kasus kelangkaan minyak goreng pada 2022.

Mafia Tiket Itu Hantu Yang Tak Pernah Tertangkap
Meski Kemenhub kerap mengklaim “tidak ada mafia tiket”, laporan Investigasi Forum Wartawan Kalbar (2025) mengungkap jaringan calo yang menguasai 30 persen kuota tiket di rute padat.

Lalu apa modusnya? Membeli tiket via bot atau agen travel fiktif saat harga rendah.

Menimbun tiket dan melepasnya saat harga puncak dengan markup 200-400 persen. Bermain di pasar gelap melalui aplikasi pesan instan atau marketplace.

“Mereka bahkan punya sindikat terstruktur. Ada yang bertugas nge-bot, ada yang jadi penjual, dan ada yang bagi hasil ke oknum bandara,” ungkap sumber di internal PT Angkasa Pura II itu.

Sayangnya, upaya penindakan masih setengah hati. Sepanjang 2024, hanya 12 agen travel ilegal yang dicabut izinnya, padahal laporan masyarakat mencapai 1.342 kasus.

Ketika Janji Hanya Jadi PDF di Website Kemenhub
Pemerintah sejatinya punya senjata: Permenhub No. 89/2023 tentang Tarif Batas Atas (TBA) tiket pesawat.

Namun, implementasinya lemah. Alih-alih menindak maskapai, Kemenhub justru sibuk menggelar webinar bertajuk “Bijak Membeli Tiket Online”.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pernah berjanji, “Tiket mahal akan kami usut!”

Namun, setelah 6 bulan, tidak ada satupun maskapai atau agen travel yang dipidana. Publik pun mulai muak dengan retorika “akan kami tindak” yang berujung pada tumpukan berkas tanpa eksekusi.

Solusi Atau Ilusi?
Laporan ini bukan sekadar daftar keluhan, tapi peta jalan untuk perubahan negara lebih baik lagi sebagaiman mimpi Presiden Prabowo Subianto yang katanya Wong Cilik.

Maka, pemerintah harus memotong pajak avtur dan sparepart pesawat agar harga tiket kompetitif.

Bubarkan sindikat mafia, cabut izin maskapai/agen yang melanggar TBA, dan adili pelaku spekulasi.

Wajibkan maskapai mempublikasikan kuota kursis dan algoritma harga secara realtime.

Terapkan subsidi untuk rute perintis/padat seperti ke Kota Pontianak Kalimantan Barat diambil dari margin rute premium seperti Jakarta-Bali.

Kapan Rakyat Bisa Terbang Tanpa Menjual Ginjal?
Di akhir hari, pertanyaan Wawan sang pekerja itu tetap menggantung, “Jika negara tak mampu menjamin hak dasar kami untuk pulang, apa arti kemerdekaan?”

Mungkin di negeri ini, kemerdekaan terbang hanya milik mereka yang kantongnya tebal.

Sisanya? Cukup bermimpi di kolom komentar Instagram Kemenhub yang tidak pernah diperdulikan alias tidak ditoleh. (*Wan/Saepul/BM/Red)