Dari Politik ke Lapangan Bolong, Turnamen “Laskar Pelangi FC”, Ketika Gol Diganti Pamor Politik

0
7
Dari lapangan bolong hingga janji manis politisi, Turnamen Sepak Bola Dusun Pintu Sepuluh adalah panggung terbaik

OLAHRAGA | [POLITIK

“Semangat berolahraga dengan sepak bola mendadak menggaung di Bumi Sanggau. Pesan singkat, padat penuh mana dari Anggota DRPD Sanggau,”Ini untuk persatuan, saudara-saudara! Jangan pedulikan lapangan berlubang, yang penting semangat,” ucap Kancikus SP,”

Meliau | Sanggau | KALBAR | Lapan6Online : Dusun Pintu Sepuluh dan mimpi jadi stadion nasional. Di sebuah dusun yang namanya mirip gerbang neraka versi lokal Dusun Pintu Sepuluh, Desa Melobok, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, tampak warga berkumpul bukan untuk ritual mistis, tapi untuk Turnamen Sepak Bola Antar Kampung.

Event yang digadang-gadang bisa menyamai Piala Dunia ini diprakarsai oleh Kancilkus SP, Anggota DPRD Sanggau dari Fraksi PDI-P yang tiba-tiba peduli sepak bola setelah 10 tahun fokus pada “Gol” di meja anggaran.

Warga bersukacita, bukan karena mereka yakin turnamen akan berjalan mulus, tapi karena ini satu-satunya acara di mana konflik horisontal (bentrokan suporter) lebih seru daripada pertandingannya sendiri.

Kancilkus SP : Dari Politik ke Lapangan Bolong
Kancilkus SP, sang “Bapak Pembangunan Sepak Bola Dusun”, tiba-tiba menjadi bintang lapangan.

Dalam pidatonya yang penuh semangat (dan sedikit bau bensin kendaraan dinas), ia berkoar.

“Ini untuk persatuan, saudara-saudara! Jangan pedulikan lapangan berlubang, yang penting semangat,” kata Kancilkus SP.

Faktanya? Lapangan dipakai bergantian dengan kandang sapi, dan gawangnya terbuat dari bambu yang sudah reyot sejak era Orde Baru.

Tapi, siapa peduli? Yang penting foto kegiatan bisa masuk Instagram dengan hashtag #PDIPPeduliGenerasi.

Turnamen ini diklaim sebagai wadah regenerasi pemain muda. Tapi, pemuda setempat lebih tertarik jadi TikToker viral ketimbang striker.

Hasilnya? Tim-tim diisi bapak-bapak yang terakhir main bola sebelum harga BBM naik.
Kancilkus SP berjanji, “Kami akan bina pemain terbaik!” Tapi yang datang malah scout dari klub liga tarkam (taruhan keliling kampung).

Acara ini disebut mempererat silaturrahmi, tapi yang terjadi justru :
Suporter Kampung A vs Suporter Kampung B: Perang sarung di pinggir lapangan.
Wasit: Diteriaki “tebang bayar!” karena dianggap tidak adil.

Hadiah: Piala dari triplek dan uang tunai yang nominalnya cukup untuk beli 2 dus mie instan.

Kontribusi Untuk Desa Atau Kontribusi Pamer?
Warga berharap turnamen berjalan aman, tertib, dan terkendali. Tapi realitanya:
Aman? Lebih aman main bulu tangkis di teras.

Tertib? Parkir motor saja masih numpang di kebun tetangga.

Terkendali? Hanya terkendali sampai duit operasional habis.

Pamor Tetap Jadi Bahan
Turnamen ini mungkin tak akan melahirkan Erik Ten Hag versi Melobok, tapi setidaknya jadi bukti :
– Sepak bola kampung adalah cermin demokrasi: Banyak janji, sedikit realisasi.
– Kancilkus SP mungkin tidak bisa menggiring bola, tapi bisa menggiring opini.
– Dan warga? Mereka tetap antusias, karena besok bisa nonton gratis sambil jualan gorengan. (*ARP)

*Sumber : infokalbar.com (Media Group Jaringan Lapan6Online.com)