“Sejumlah petugas Satpol PP dan Aparat Penegak Hukum (APH) bentrok dengan emek-emak dengan membuka pakaiannya secara spontanitas, sehingga peristiwa tersebut mengundang perhatian masyarakat luas,”
Tobasa/Sumatera Utara, Lapan6Online : Ratusan emak-emak melakukan aksi demo membuka pakaiannya sebagai bentuk protes pihak Pemerintah Kabupaten Toba Samosir (Pemkab Tobasa) asa dan pihak Badan Pelaksana Otoritas Danau Toba (BPODT).
“Lahan pertanian kami dijadikan lokasi wisata Kaldera Danau Toba, tapi Pemerintah dan BPODT tidak pernah koordinasi dengan kami,” kata emak-emak di lokasi lahan perladangan masyarakat, di Desa Sigapiton, pada Kamis (12/9/2019).
Atas penolakan tersebut, sejumlah petugas Satpol PP dan Aparat Penegak Hukum (APH) bentrok dengan emek-emak dengan membuka pakaiannya secara spontanitas, sehingga peristiwa tersebut mengundang perhatian masyarakat luas.
Atas peristiwa tersebut, Bupati Tobasa Ir Darwin Siagian saat dikonfirmasi melalui WhatsApp (WA) tentang peristiwa penolakan masyarakat pengalihan status perladangan masyarakat menjadi objek wisata Kaldera Danau Toba, Bupati Tobasa memilih bungkam.
Kepala Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) Arie Prasetyo saat dikonfirmasi SUMUT.CO, mengatakan, BOPDT memulai pembangunan infrastruktur di Lahan Zona Otorita, Kamis (12/9/2019).
Dari total lahan seluas 386,72 Ha yang dialokasikan untuk pengembangan kawasan pariwisata tersebut, 279 Ha sudah diterbitkan Hak Pengelolaannya. Lahan tersebut berstatus lahan negara yang Sertifikat Hak Pengelolaannya diberikan kepada BOPDT.
Lanjutnya, tahap awal pembangunan ini diarahkan ke sekitar Desa Pardamean Sibisa, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Alokasi anggaran berasal dari Kementerian PUPR yang dimulai pada tahun ini.
“Kita mulai pengerjaannya untuk membantu percepatan pengembangan destinasi super prioritas. Sejauh ini semua sudah dijalankan sesuai aturan. Lahan yang dibangun merupakan lahan negara yang Hak Pengelolaannya (HPl) telah diberikan kepada BOPDT,” kata Arie Prasetyo.
Pembangunan tahap awal akses ke kawasan ini sepanjang 1,9 Km dilakukan di atas lahan yang sertifikatnya HPl-nya telah diterbitkan.
Terkait hak-hak masyarakat yang ada di atas lahan, hal ini juga telah dilakukan telaah oleh Tim Terpadu Penanggulangan Dampak Sosial Kemasyarakatan yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Toba Samosir dengan melibatkan beberapa unsur.
“Salah satu tugas tim tersebut adalah melakukan pendataan, verifikasi dan validasi tanaman tegakan milik masyarakat yang ada di atas lahan tersebut. Karena sebelumnya lahan ini merupakan lahan berstatus hutan yang sebagian dari itu ada juga yang ditanami tanaman budidaya milik masyarakat seperti kopi, dll. Proses penghitungan jumlah tanaman untuk lahan 279 Ha telah dilakukan dan saat ini sedang tahap penilaian/appraisal oleh konsultan penilai publik,” jelasnya.
Sebelum dimulainya pembangunan ini, BOPDT bersama Pemerintah Kabupaten Toba Samosir juga telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
“Tadi pagi pukul 08.00 wib pada Kamis (12/9/2019)bertempat di Kantor Kepala Desa Pardamean Sibisa juga kami bersama Bupati, Camat Ajibata, dan Kepala Desa juga sudah bertemu dengan masyarakat pemilik tanaman yang terdampak pembangunan jalan ini,” tambahnya.
“Pembangunan kawasan di Lahan Zona Otorita ini merupakan amanah Perpres 49/2016 yang merupakan tugas otoritatif BOPDT,” lanjutnya.
Terkait unjuk rasa yang diberitakan beberapa media, memang sempat ada penolakan dari sebagian masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat Sigapiton. Tetapi setelah dilakukan pendekatan persuasif, akhirnya suasana membaik dan pengerjaan dapat dilakukan.
“Unjuk rasa sah-sah saja dilakukan sebagai bagian dari demokrasi. Tapi kami berharap dapat dilakukan dengan jalur yang benar. Kami menghimbau kepada masyarakat agar jangan mudah disusupi kepentingan yang kontraproduktif,” pungkas Arie. (HH/Amir)
*Sumber : sumut.co