“Mereka yang menginginkan buah hatinya menjadi orang-orang shalih dan shalihah namun malah mendapatinya menjadi seseorang yang membawa kesesatan yang nyata di tengah masyarakat,”
Oleh : Alifvia An Nidzar
PESANTREN atau Ma’had, keduanya memang bukan sesuatu yang tergolong baru keberadaannya di Indonesia. Negeri ini memang sedari dulu sudah banyak mendirikan lembaga pendidikan berbasis akidah Islam guna melahirkan ulama-ulama besar. Namun, fenomena ma’had satu ini cukup terbilang nyeleneh dan cenderung menyesatkan.
Pondok Pesantren Al Zaitun namanya. Pesantren ini berdiri pada 1 Juni 1993 dan diresmikan pada 27 Agustus 1999 oleh Presiden B.I Yusuf Habibie. Sampai hari ini, ponpes Al Zaitun sudah memiliki santri/wati hingga 5.014 orang. Tentu jumlah ini tidak bisa dibilang kecil apalagi sampai diremehkan.
Namun, sebagaimana yang dilansir Republiks.co.id, Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali, mempertanyakan sikap pemerintah yang lamban dalam menyelesaikan berbagai persoalan terkait Ma’had Al Zaytun. Kiai Athian melihat adanya saling lempar dan menunggu di antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan aparat dalam menyelesaikan persoalan ini.
Ia menyoroti beberapa praktik ibadah di Al Zaytun yang viral beberapa waktu lalu seperti shalat bercampur antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, peristiwa dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati di pondok pesantren Al Zaytun yang terjadi beberapa tahun ke belakang.
Sebagai orang tua, tentu tidak sedikit yang khawatir akan fenomena ini. Mereka yang menginginkan buah hatinya menjadi orang-orang shalih dan shalihah namun malah mendapatinya menjadi seseorang yang membawa kesesatan yang nyata di tengah masyarakat.
Berbagai kalangan pun mulai ramai membicarakan fenomena viral dari ma’had satu ini. Tidak sedikit yang memparodikannya dan mulai mempertanyakan mengapa sampai hari ini tidak ditutup selayaknya ma’had lainnya yang jelas berbuat kerusakan secara moral dan agama?
Tentu kita ketahui, bahwa kesesatan dan penyimpangan yang terjadi di tengah umat bukanlah sesuatu yang remeh. Karena, apabila didiamkan dampak yang ditimbulkan tentu tidak akan berkesudahan. Umat akan kebingungan dan berakhir dengan sikap pragmatis.
Sikap pragmatis ini muncul sebagai feedback dari abainya pemerintah terhadap penjagaan akidah umat, Islam. Di sini, akidah Islam dipermainkan, diselewengkan dan bahkan tidak sedikit dinistakan. Tetapi sayangnya, karena para pemangku jabatan ini menganggap bahwa ini bukan sesuatu yang penting dan tidak bernilai materi maka tidak akan diperhatikan. Miris!
Seharusnya, pemerintah dalam hal ini menyikapi dengan serius. Karena memang sejatinya, ri’ayah umat adalah tugas mereka. Bila mereka lari dari tanggung jawabnya lantas untuk apa mereka berada di sana?
Maka demikian, wajiblah kita mengembalikan semua permasalahan ini kepada hukum Islam. Karena dengan hukum Islam dalam bingkai negaralah yang mampu menuntaskan permasalahan ini sampai ke akar-akarnya. [*]
*Penulis Adalah Mahasiswi