“Beberapa kemungkinan untuk disahkannya Omnibus Law sangat besar sehingga bisa saja tidak ada yang mencegahnya. Maka dari itu, gerakan masyarakat menolak Omnibus Law perlu diesksekusikan untuk saat ini,”
JAKARTA | Lapan6Online : Suatu negara tak akan pernah berhenti untuk terus memperbarui hukum dan aturan demi menyesuaikan keadaan. Meskipun aturan tersebut tak selamanya dapat dengan mudah diterima rakyatnya. Begitu pula dengan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) atau yang disebut dengan Omnibus Law.
RUU ini telah diserahkan kepada DPR sejak 12 Februari lalu. Sejak tanggal penyerahan itu, kritik dan protes ramai dilontarkan dari banyak pihak. Kelompok serikat pekerja utamanya buruh yang paling keras menyuarakan penolakannya di berbagai media. seperti Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB,red) yang diketuai Jumhur Hidayat.
Menurut Korlap AASB, Abdul Hakim Muslim atau yang biasa di sapa Bang Dowe ini, pada Selasa (18/07/2023) mengatakan banyak hal yang dibahas di dalam RUU Cilaka ini diantaranya meliputi tenaga kerja, pertanian, perikanan, kelautan, pendidikan, peternakan, pertambangan, minyak dan gas bumi, lingkungan, kehutanan, ketenagalistrikan hingga pers. Namun, hal yang paling disoroti yakni terkait nasib buruh dan pekerja.
Dalam konsolidasi akbar kali ini turut dihadiri dari Ketua Aliansi Aksi Sejuta Buruh Jumhur Hidayat, Korlap AASB Abdul Hakim Muslim, SBSI 92 Bunda Sunarti, Ketua Cabang STBN Tanjung Priok dan Wakil Ketua Koperasi TKBM Herdi.
Abdul Hakim Muslim menambahkan bahwa adanya konsolidasi ini bertujuan untuk menyatukan pikiran dan pandangan mengenai penolakan Omnibus Law.
Poin yang menjadi polemik Omnibus Law salah satunya yaitu Upah Minimum Kabupaten/Kota yang akan terancam hilang. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak aturan baru tentang skema pengupahan dalam RUU Cipta Kerja. Dalam pasal 88 C draft RUU tersebut berbunyi: Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Pada ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum sebagaimana disebut di atas merupakan Upah Minimum Provinsi (UMP). Mulyono menerangkan adanya keprihatinan buruh saat ini, yang mana UMP Jawa Tengah malah menjadi tolak ukur upah murah sehingga akan banyak relokasi perusahaan di Jawa Tengah karena rendahnya upah yang diberikan. “Di sinilah sentral permasalahan pokok buruh itu,” ungkap Abdul Hakim Muslim (Dowe).
RUU Cilaka diyakini dapat mengancam masyarakat. Tidak hanya buruh tetapi juga mahasiswa, petani, nelayan, bahkan hingga kelompok perempuan.
Dowe juga mengatakan bahwa,”Adanya kepentingan investasi adalah tujuan kuat yang diinginkan pemerintah saat ini. Beberapa kemungkinan untuk disahkannya Omnibus Law sangat besar sehingga bisa saja tidak ada yang mencegahnya. Maka dari itu, gerakan masyarakat menolak Omnibus Law perlu diesksekusikan untuk saat ini,” terangnya.
“Gerakan masyarakat menolak Omnibus Law menjadi sangat urgent karena hanya itu solusi yang bisa mencegah disahkannya Omnibus Law. Tak hanya di Jakarta, berbagai wilayah pun telah banyak melakukan aksi guna menolak RUU Sapu Jagat ini. Dengan adanya aksi, maka akan lebih besar penolakan ini, “ ujar Dowe.
Dowe menambahkan jika ia tidak ingin menunggu apabila krisis benar-benar akan terjadi (telah disahkannya RUU Cilaka ini). Omnibus Law memang merupakan pintu masuk krisis yang lebih besar nantinya.
“Seharusnya kita tidak menunggu krisis itu terjadi, tetapi mencegah krisis tersebut agar tidak sampai diaktualisasi. Jadi kita akan terus melawan,” pungkasnya. (*Der)
*Sumber : Pelitajakarta.com