
PROFILE | POLITIK
“Kalau ada yang tidak setuju dengan Dwifungsi TNI, apakah kita harus menghapus aspek hankam-nya? Jadi, harus dilihat jelas dulu soal dwifungsi ini, termasuk aspek-aspek mana (terutama dalam sospol) yang boleh dan tidak boleh dimasuki oleh TNI,”
Jakarta | Lapan6Online : Setiap negara harus membatasi kewenangan dari institusi masing-masing yang dimilikinya. Jangan sampai ada superior dan inferior. Tidak boleh ada negara dalam negara.
Hal tersebut secara lugas diingatkan oleh Dr. Rudyono Darsono, Ketua Dewan Pembina Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (UTA) Jakarta, yang dikutip dari podcast-nya, pada Jumat (28/03/2025).
Dirinya menyoroti soal revisi UU TNI yang baru diketok palu oleh DPR RI, beberapa waktu lalu. Menurutnya, revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, harus dipahami secara benar, tidak sepenggal-sepenggal. Harus dilihat apa saja pasal-pasal yang direvisi, sehingga tidak langsung skeptis dan memunculkan hal-hal yang tidak linier dengan revisi yang dilakukan.
Bagi Rudyono, Presiden Prabowo Subianto memiliki kewenangan penuh untuk menggunakan suatu institusi, apapun itu, dalam mendukung kerjanya.
Terkait adanya kekhawatiran munculnya kembali Dwifungsi TNI, menurut Rudyono, harus dipahami dulu apa itu Dwifungsi TNI dalam negara. Pertama, TNI berperan dalam aspek pertahanan dan keamanan (hankam). Kedua, di bidang sosial politik (sospol).
“Kalau ada yang tidak setuju dengan Dwifungsi TNI, apakah kita harus menghapus aspek hankam-nya? Jadi, harus dilihat jelas dulu soal dwifungsi ini, termasuk aspek-aspek mana (terutama dalam sospol) yang boleh dan tidak boleh dimasuki oleh TNI,” ujar Rudyono.
Bila dilihat revisi terbaru, ternyata hanya soal cyber yang dianggap cukup berbahaya, di mana pada masa kini ruang cyber bisa digunakan untuk ‘menyerang’ suatu negara. Juga soal perpanjangan usia pensiun TNI, yang mana justru di usia 50-an seorang tentara masih produktif, tapi sudah harus dipensiunkan.
Demikian juga soal keterlibatan TNI di sejumlah institusi, sejauh ini hal yang wajar saja dan justru perannya sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang dalam tatanan kenegaraan, terutama dalam hal pengawasan.
“Saya melihat wajar saja bila Presiden Prabowo menarik TNI terlibat dalam berbagai institusi. Mungkin ini salah satu upaya meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi yang selama ini banyak dilakoni oleh sipil yang begitu nyaring teriak-teriak soal demokrasi dan supremasi sipil,” tukasnya.
Rudyoni menduga, Presiden Prabowo sudah gerah dengan korupsi yang sudah menggurita di negeri ini. “Pak Presiden butuh back-up untuk menyelesaikan penyakit bangsa ini, yaitu korupsi. Kan tidak salah kalau Presiden meminta dukungan dari komponen bangsa (TNI) yang masih memiliki kredibilitas dan integritas yang bisa dipercaya,” tegasnya.
Baginya, kalau korupsi bisa diberantas, maka kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat akan dapat dijawantahkan.
Revisi UU Polri
Rudyono juga menyoroti soal revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dirinya menilai kewenangan Polri sudah terlalu banyak. Tak heran, karena banyaknya kewenangan yang dimiliki, oleh oknum di kepolisian bisa berbuat semaunya. Penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan serta jual beli hukum sangat tinggi terjadi di kepolisian saat ini. Menurutnya, ini sudah jadi rahasia umum.
Ditambahkan, polisi itu ibarat komponen sipil istimewa bersenjata. Dalam kondisi demikian terkadang membuat rakyat tidak bisa berbuat apa-apa karena ada rasa khawatir dan takut yang menyelimuti. Maka untuk itu, Rudyono meminta Pemerintah dan DPR lebih berhati-hati membahas revisi UU Polri.
Danantara Butuh Pengawasan Ketat
Ditanya soal Danantara, Rudyono yang juga dikenal sebagai sosok akademisi senior menilai, itu sebuah upaya Presiden Prabowo yang coba mengkonsolidasikan semua potensi dan usaha milik negara yang sebelumnya jalan sendiri-sendiri dengan harapan bisa terawasi dengan lebih baik. Itu cita-cita yang baik.
Rudyono melanjutkan, Malaysia pernah melakukan hal serupa tapi gagal. Jadi, persoalan pengawasan menjadi hal penting agar Danantara ini bisa berkembang.
“Kalau Danantara berhasil, mungkin kita bisa berharap masa depan Indonesia yang lebih baik. Tapi, butuh pengawasan yang sangat ketat dan kuat dari orang-orang yang memiliki integritas,” serunya.
Soal keterlibatan sejumlah orang asing di Danantara, menurut Rudyono, tidak akan berguna kalau Presiden tidak memberikan kewenangan dan pengawasan yang baik kepada mereka.
Kembali Rudyono menyoroti supremasi sipil yang justru membuka ruang terjadinya tindak kejahatan, menggarong uang rakyat. Bahkan, sekarang ada slogan di masyarakat atas nama demokrasi dan supremasi sipil, “Dari Rakyat Oleh Birokrat Untuk Penjahat”. Jadi, rakyat yang berjerih lelah membayar pajak, dikelola oleh para birokrat, tapi dinikmati oleh para penjahat dalam bentuk korupsi.
Dirinya tegas mempertanyakan, “Demokrasi apa yang bisa diharapkan di negara ini?”. (**)