Dua Pilihan, Mati Karena Corona Atau Karena Kelaparan

0
88
Ilustrasi/Net
“Faktanya rakyat semakin tersudut secara ekonomi dengan berbagai kebijakan yang di buat pemerintah, mulai dari PHK massal yang mengakibatkan kepala keluarga kehilangan pekerjaan,”

Oleh : Devita Deandra

Jakarta | Lapan6Online : Beberapa waktu lalu terjadi peristiwa penolakan pedagang dan pengunjung pasar Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hal ini sempat menyita perhatian publik karena adanya pengusiran petugas COVID-19 dari Gugus Tugas Kabupaten Bogor. Insiden itu terjadi Rabu (10/6).

Berdasarkan video yang beredar, suasana di Pasar Cileungsi cukup mencekam ketika para massa berusaha mengusir petugas yang akan melakukan pemeriksaan. Anggota TNI dan Polri sebagaimana dikutip kumparan.com kemudian turun tangan untuk menenangkan massa.

Tentu sangat miris masih ada masyarakat yang bersikap demikian, terlebih Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) mencatat 529 orang pedagang positif virus corona. Dari jumlah itu, 29 di antaranya meninggal dunia.

Pemberitaan ini tentu semakin memunculkan pertanyaan mengapa korban Covid- 19 semakin bertambah terus. Mungkinkah disebabkan kesadaran masyarakat tentang bahaya virus ini masih kurang dan menganggap enteng? Atau karena persoalan ekonomi, sehingga mereka tidak mengindahkan bahaya virus tersebut?

Kebutuhan perut memang tidak bisa ditunda sementara pun tidak memberikan jaminan kebutuhan pokok hidup masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dan lebih khusus para pedagang tak memperdulikan bahaya virus corona yang mengancam. Mungkin mereka tak punya pilihan lain. Mereka dihadapkan dua pilihan pahit. mati karena corona atau mati karena kelaparan.

Kondisi semakin parah dengan minimnya edukasi dan pendekatan yang tidak proporsional saat melakukan pendekatan sehingga tidak pesuasif dan lokasi pasar bukan tempat yang tepat untuk melakukan tes kesehatan tersebut. Maka terjadilah penolakan oleh masyarakat.

Ini menegaskan bahwa pemerintah tak sigap menyediakan sarana tes dan kurang upaya pendekatan dan himbauan agar masyarakat patuh.

Masyarakat butuh pendekatan agar mereka sadar pentingnya protokol sehat, pemberian jaminan pemenuhan kebutuhan sehingga rakyat tidak keluar rumah dan atau memaksa berjualan sebab berisiko besar terhadap sebaran virus corona. Setelah upaya edukasi, harus ada sanksi tegas bagi pelanggar.

Bila pemerintah memberikan solusi terkait nasib rakyatnya menyangkut penghidupan mereka, tentu rakyat pun akan mematuhi segala anjuran dari pemerintah.

Namun faktanya rakyat semakin tersudut secara ekonomi dengan berbagai kebijakan yang di buat pemerintah, mulai dari PHK massal yang mengakibatkan kepala keluarga kehilangan pekerjaan, melambungnya harga bahan pangan berikut segala fasilitas umum lainnya yang terus membumbung tinggi, seperti iuran BPJS, tagihan listrik, dan biaya pendidikan pun kian mencekik.

Hal ini tentu menjadi alasan mengapa masyarakat mengambil caranya sendiri untuk tetap berjualan meski di tengah ancaman virus yang mematikan itu.
Berbeda halnya jika pemerintah bertanggung jawab penuh atas kepemimpinannya terhadap rakyat tanpa sedikit pun mempertimbangkan untung serta rugi. Rakyat akan melaksanakan kebijakan dengan landasan ketakwaan.

Adapun ketika ada yang melakukan pelanggaran dan pemerintah melakukan sanksi tegas semata-mata untuk kemaslahatan bersama. Semuanya terasa indah dan mudah karena kesigapan negara dalam menangani wabah.

Bahkan ada sebuah kisah tentang gambaran seorang pemimpin di masa Islam berjaya yaitu dalam sebuah riwayat yang ditulis dalam buku Sang Legenda Umar bin Khattab karya Yahya bin Yazid al-Hukmi al-Faifi disebutkan, ketika rakyat sedang dilanda kelaparan, Umar bin Khattab selaku khalifah naik mimbar dengan perut keroncongan.

Sambil menahan lapar yang tidak kepalang, Umar bin Khattab berpidato di hadapan orang-orang.

Dia mengatakan kepada perutnya, “Hai, perut, walau engkau terus meronta-ronta, keroncongan, saya tetap tidak akan menyumpalmu dengan daging dan mentega sampai umat Muhammad merasa kenyang.”

Kisah lainnya diriwayatkan Abdurrahman bin Abu Bakar. Dia berkata, “Umar bin Khattab datang. Dia membawa sepotong roti dan minyak. Untuk menghilangkan rasa laparnya, roti dan minyak itu disantap begitu saja sambil berkata, ‘Hai perut! Demi Allah, engkau akan terus kulatih menikmati roti dengan mentega ini saja.”

Inilah gambaran pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Oleh karena itu, sudah saatnya mengakhiri kesengsaraan hidup dalam kungkungan sistem kapitalisme dengan kembali kepada sistem Islam yang terbukti telah menjadi rahmat bagi semua alam selama 13 abad lamanya.

Jika kondisi bangsa ini tidak mau berubah maka sulit mengharapkan Indonesia bisa segera terlepas dari wabah Covid 19 ini. Wallahu a’lam. GF/RIN

*Penulis adalah seorang ibu rumah tangga

*Sumber : Radarindonesianews.com/Media Jaringan Group Lapan6online.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini