“Pembahasan revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 yang dilakukan oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, bersama Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, terasa tidak sejalan dengan kewenangan dan peran yang semestinya,”
Oleh : Sugiyanto
PADA Rabu malam (30/8), Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mengikuti rapat di Kantor Kemenko Marves, Jakarta Pusat, dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Pertemuan ini membahas usulan revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PLTSa atau ITF).
Dalam pertemuan tersebut, Heru mengungkapkan bahwa pemerintah berupaya memberikan fleksibilitas kepada kota-kota dalam menangani masalah sampah sesuai dengan kondisi setempat.
Dalam konteks ini, seharusnya pemerintah daerah diberi kewenangan untuk memilih metode pengelolaan sampah yang paling sesuai. Sebagai contoh, Jakarta lebih cocok menggunakan RDF (refuse-derived fuel) sementara Surabaya memilih teknologi ITF (intermediate treatment facility).
Namun, ada beberapa aspek yang membuat pembahasan revisi Perpres ini menjadi kontroversial dan membingungkan.
Pertama, status Heru sebagai Penjabat Gubernur DKI Jakarta menimbulkan pertanyaan mengenai wewenangnya untuk membahas revisi Perpres tersebut.
Sebagai Penjabat Gubernur, ada ketentuan yang melarangnya mengambil keputusan penting tanpa persetujuan dari Mendagri, seperti yang diatur dalam Pasal 132A PP Nomor 49 Tahun 2008. Ketentuan ini melarang Penjabat Gubernur membuat kebijakan yang bertentangan dengan program pemerintah sebelumnya.
Selain itu, Heru seharusnya berfokus pada pembinaan dan pengawasan percepatan pembangunan PLTSa atau ITF, sesuai dengan Pasal 18 Perpres Nomor 36 Tahun 2018.
Namun, pembahasannya mengenai revisi Perpres justru terlihat kontraproduktif dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pembina dan pengawas dalam percepatan pembangunan PLTSa atau ITF.
Terkait pembahasan revisi bersama Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai Ketua Tim Koordinasi Percepatan Pelaksanaan Pembangunan PLTSa atau ITF juga menjadi titik perhatian. Pasal 19 Perpres Nomor 35 Tahun 2018 menjelaskan tugas Tim Koordinasi untuk melakukan koordinasi, pengawasan, dan memberikan bantuan demi kelancaran pembangunan PLTSa. Keterlibatan Menko Marves dalam pembahasan revisi mengundang pertanyaan mengenai peran dan fungsinya dalam konteks ini.
Pasal 19 Perpres Nomor 35 Tahun 2018 menjelaskan tugas tim koordinasi untuk melakukan koordinasi, pengawasan, dan memberikan bantuan demi kelancaran pembangunan PLTSa. Keterlibatan Menko Marves dalam pembahasan revisi mengundang pertanyaan mengenai peran dan fungsinya dalam konteks ini.
Oleh karena itu, pembahasan revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 yang dilakukan oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, bersama Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, terasa tidak sejalan dengan kewenangan dan peran yang semestinya.
Hal ini menciptakan ketidakpastian dan kesan yang membingungkan terkait langkah-langkah dalam percepatan pembangunan PLTSa atau ITF.
Selain itu, rencana untuk merevisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 mengenai Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PLTSa atau ITF) oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, bersama Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, berpotensi menimbulkan keraguan bagi investor sektor swasta yang telah dan akan membangun PLTSa atau ITF.
Tindakan ini bisa memunculkan persepsi bahwa pemerintah tidak memberikan jaminan kepastian hukum dalam pembangunan proyek strategis nasional PLTSa atau ITF yang telah diamanatkan pada 12 kota terpilih sesuai Pepres Nomor 35 Tahun 2018.
Oleh karenanya, masalah ini juga harus mendapat perhatian dari semua pihak termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Mendagri-RI, Ombusdman, dan masyarakat Jakarta, termasuk perhatian dari Presiden Joko Widodo.
Memilih pengelolaan sampah dengan cara RDF juga dapat dianggap langkah mundur karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menginginkan percepatan pembagunan PLTSa atau ITF.
Selain itu juga dianggap langkah mundur sebab tidak mengikuti kebutuhan pemerintah dalam pengelolaan sampah menjadi enegi terbarukan, yakni energi listrik asal sampah, PLTSa atau ITF.
Tulisan ini merupakan bagian terakhir atau tulisan keenam dari naskah yang telah saya susun, dengan judul masing-masing sebagai berikut: 1. Proyek Strategis Nasional PLTSa Atau ITF Jakarta Tidak Dapat Dibatalkan 2. Membatalkan Proyek Strategis Nasional PLTSa (ITF Jakarta) Bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan 3. Pembatalan Proyek ITF Tidak Beralasan, Pemerintah Pusat Memberi Subsidi Tipping Fee dan Menjamin Pembelian Tenaga Listrik 4. Tim Koordinasi dan Penugasan Pembangunan PLTSa (ITF) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 5. RDF Bukan Program Strategis Nasional Seperti PLTSa atau ITF 6. Pembahasan Revisi Perpres Percepatan Pembangunan PLTSa (ITF) Oleh Pejabat Gubernur DKI dan Menko Marves Aneh dan Membingungkan
Semua tulisan ini telah saya siapkan sejak lama, dan saya sedang menantikan waktu yang tepat untuk menyampaikannya sebagai surat terbuka kepada pihak yang relevan, termasuk DPRD DKI Jakarta, Mendagri-RI, Ombudsman DKI Jakarta, dan pihak lain yang dianggap perlu, termasuk kepada Presiden Joko Widodo. (*)
*Penulis adalah Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar)