“Catatan, dan bagi kami Paripurna DPR RI siang tadi 12 Mei 2020 adalah cacat hukum, karena bertentangan dengan UU MD3 DPR itu sendiri, dimana didalamnya tak mengatur tentang Sidang virtual,”
Jakarta, Lapan6online.com : Edysa Girsang, Ketua Umum Badan Relawan Nusantara geram dengan munculnya Perppu no 1 tahun 2020 alias Perppu Corona yang baru saja disahkan oleh DPR dan Pemerintah menjadi Undang-undang. Edysa menegaskan, UU itu harus ditolak lewat konstitusi kedaulatan rakyat.
“Pergerakan 98 yang lalu adalah upaya gerakan rakyat yang dipelopori mahasiswa menghentikan kekuasaan yang otoritarian order baru, agar tak terjadi ‘negara adalah saya’. Maka kekuasaan harus dikontrol lewat penegakkan kedaulatan rakyat” terang Edysa Girsang kepada redaksi Lapan6online, Rabu (13/5/2020) dini hari.
“Karenanya, upaya-upaya mengembalikan kembali kekuasaan yang otoritarian tanpa kontrol publik harus di lawan oleh segenap patriotik bangsa.” tambahnya.
Edysa mengingatkan, hari ini tanggal 12 mei 2020, bertepatan dengan tragedi Trisakti 12 mei 1998 dimana DPR telah menerima usulan eksekutif untuk memparipurnakan perpu no 1 tahun 2020. Namun yang sangat disayangkan, suara-suara kritis publik tak didengar, perpu tersebut tetap di tetapkan sebagai UU oleh Sidang Paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Ketua DPR sendiri Puan Maharani.
“Dan mayoritas partai politik menyetujuinya. Ini teragedi buruk lagi pagi catatan parlemen nasional Indonesia.” terangnya.
Menurut Edysa, Mengutip Beberapa catatan yang disampaikan Pakar Hukum Indonesia adalah:
Pertama, Perppu ini berpotensi mengembalikan kekuasaan absolut dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh presiden.
“Pasal 12 Perpu No 1/2020 telah memberikan ruang kepada presiden untuk dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar perpres. Hal ini sama saja dengan menghilangkan checks and balances, dimana sangat fundamental negara harus dikontrol sebagaimana wujud negara berkedaulatan Rakyat!” terangnya.
Menurut dia, kondisi ini akan membuat celah besar kepada Presiden untuk dapat bertindak absolut dalam menentukan anggaran keuangan negara tanpa adanya persetujuan dari rakyat yg diwakili oleh DPR.
Kedua, substansi dari Pasal 27 Perppu 1/2020 yang menjadikan sejumlah pengawasan konstitusional yang dilakukan DPR maupun kewenangan lembaga yudisial dalam menyidangkan perkara terkait penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pejabat publik dalam penanggulangan Covid-19 menjadi hilang.
“Pasal 27 dinilai memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada semua pihak yang disebutkan dalam Perppu 1/2020, termasuk juga pengguna anggaran. Bahkan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu 1/2020 bukanlah merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN.” ucapnya.
Ketiga, Pasal 28 Perpu 1/2020 yang meniadakan keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN. Perubahan APBN 2020 menurut Perppu ini hanya diatur melalui Peraturan Presiden, yakni Perpres Nomor 54/2020.
Yang membuat geram Edysa, padahal APBN adalah wujud pengelolaan keuangan negara, yang dengan kata lain ada partisipasi rakyat di dalamnya, yang diwakili oleh DPR. Selain itu, pembentukan APBN juga telah diatur secara tegas dalam Pasal 23 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945.
“Dengan demikian, pasal ini secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini,” tandasnya.
Berikut adalah catatan Badan Relawan Nusantara, dikutip juga dari, Mustapa Fakhri, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia:
“Catatan, dan bagi kami Paripurna DPR RI siang tadi 12 Mei 2020 adalah cacat hukum, karena bertentangan dengan UU MD3 DPR itu sendiri, dimana didalamnya tak mengatur tentang Sidang virtual,” pungkasnya.
(RedHuge/Lapan6online)