Eks Koruptor Nyalon Senator?

0
6
Ilustrasi
“Demokrasi sekadar kepentingan untuk meraup suara demi kuasa. Tak ayal terkadang tidak sesuai dengan kriteria umum dalam hal kebaikan umum. Hal yang dirasa baik menurut publik bisa jadi tidak dalam demokrasi,”

Oleh : Hanif Kristianto

UNDANG-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 240 (1) huruf G menyebutkan bahwa tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar, kecuali yang bersangkutan wajib secara jujur dan terbuka mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana korupsi. Hal ini menarik, mengingat dalam setiap kontestasi pemilu kerap diwarnai problematika calon legislatif.

Hanif Kristianto, Analis politik dan media/Foto2 : Ist.

Rakyat sebagai pemilih dihadapakan pada pilihan sulit. Meski UU tidak melarang siapapun menyalonkan diri, namun ketika ada ‘cela korupsi’ seolah menjadi noda hitam pemilihan. Unik memang ketika melihat demokratisasi di Indonesia. Penerapannya susah payah, hingga pemilih diminta cerdas tapi tak pernah dicerdaskan dengan politik. Rakyat kerap dibungkam ketika bersuara kritis. Politik menjadi mainan segelintir elit yang merongrong kehidupan bernegara dan berbangsa.

Jika eks koruptor menyalonkan jadi senator, maka ini pertanda demokrasi kotor? Rakyat disuguhkan dengan calon anggota legislatif (caleg) yang namanya pernah tercoreng. Korupsi masih dianggap sebagai ‘dosa besar’ dalam bernegara. Pasalnya, dana yang diembat untuk peruntukan rakyat digarong dan tanpa malu. Rakyat yang seharusnya diurusi kehidupannya dibuat pilu. Lagi-lagi rakyat menjadi korban dari politik yang melanggengkan kekotoran.

Demokrasi Tanpa Filterirasi
Salah satu bagian dari liberalisasi politik ialah pemberian hak pada setiap manusia. Siapapun berhak untuk memilih dan dipilih. Demokrasi bukan menjadi filter karena tidak memiliki mekanisme itu. Demokrasi sekadar kepentingan untuk meraup suara demi kuasa. Tak ayal terkadang tidak sesuai dengan kriteria umum dalam hal kebaikan umum. Hal yang dirasa baik menurut publik bisa jadi tidak dalam demokrasi. Sebaliknya hal yang dirasa buruk menurut publik, bisa jadi baik dalam demokrasi. Penilaian yang absurd dalam politik dengan sistem yang sulit diterapkan.

Sebuah tanda tanya besar, kenapa eks koruptor berhak menyalonkan diri. Jangan-jangan ini menjadi pola dan akan terus dibiarkan saja. Sementara rakyat tak bisa berfikir cerdas ketika melihat politisi dengan isi tasnya. Kondisi kian pelik dan sulit di antara pilihan yang tidak saling mengungutngkan.

Terdapat beberapa analisis kondisi ini terjadi:
Pertama, selama ini demokrasi sekadar mengatur mekanisme pemilihan dan pergantian orang. Jargon kebebasan betul-betul dijunjung tinggi. Hak asasi manusia berada di atas segalanya. Tanpa mengindahkan tatanan kehidupan budaya, berbangsa, dan bernegara di suatu wilayah. Demokrasi di Amerika Serikat juga tidak menghalangi, seperti Donald Trump, yang saat ini dirudung masalah berkaitan pemilu yang lalu. Trump sendiri dikenal dengan pribadi yang berskandal berkaitan dengan penggagalan pemenangan rivalnya dalam pilpres AS.

Kedua, demokrasi menjadi suatu sistem yang sulit dinalar oleh akal sehat. Orang yang penah cacat misalnya kriminal, koruptor, atau lainnya diberikan jalan. Sebuah tanda tanya bagaimana menjalankan Good Goverment dan Clean Governance? Sementara pejabat yang terpilih bernah cela dan publik sudah mengindra atas kesalahan fatalnya. Sudah begitu, akan ada aturan yang disusun berdasarkan isi kepala orang yang pernah cela. Lantas, mau jadi seperti apa sebuah negara?

Ketiga, filterisasi demokrasi dalam memilih pejabat yang berkompeten sekadar menilai unsur luarnya. Tidak menyangkut kepribadian dan tingkah lakunya. Sebab demokrasi tidak memiliki itu. Apalagi di industri politik saat ini yang lebih dilihat ialah mampu dan berebut kursi jabatan. Tiadanya kesadaran diri, malu diri, dan mawas diri menjadikan pergantian pejabat diwarnai unsur-unsur jahat. Ketiadaan filter yang kuat karena memang demokrasi memisahkan agama dari kehidupan. Padahal jelas, agama memiliki standar baku yang bisa mengikat manusia dalam kehidupannya.

Keempat, miskinnya pendidikan politik bagi rakyat yang terus dipelihara. Rakyat tak pernah mendapatkan pendidikan politik. Maka wajar jika rakyat terkadang anti-politik dan tak mau mengurusi politik. Memandang politik seolah transaksional dalam pemilihan. Ada uang seseorang dipilih dalam bilik suara. Tak ada uang siapa yang mau mendukung untuk menang? Praktik yang sedemikian rupa turut menyuburkan perilaku koruptif pejabat yang biasanya duduk di kursi kekuasaan.

Demokrasi kini menjadi alat baru untuk menumbuh suburkan korupsi dan memelihara koruptor. Tak pelak kasus korupsi terus terjadi dan menjadi-jadi. Bukan sebab diumumkan bahwa seseorang eks koruptor lalu bebas melenggang jadi senator. Lebih dari itu, ini mengindikasikan jika demokrasi telah memiliki cacat bawaan sejak ide ini digagas dan dijajakan ke seluruh dunia.

Pemilih Cerdas
Menarik pesan dari Viva Yoga Mauladi (politisi PAN): “pemilih harus cerdas, bukan karena isi tas.” Pesan ini menjadikan rakyat juga berfikir keras di tengah arus pragmatisme dan anomali sikap politik. Menjadikan rakyat sebagai pemilih cerdas tidak bisa sekadar himbauan tanpa pendidikan. Maka edukasi politik perlu digalakkan.

Langkah edukasi politik yang perlu digagas ialah memberikan penjelasan makna politik yang benar. Terlebih jika sebagai seorang muslim, maka politik itu bermakna mengurusi urusan umat dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Seorang wakil umat memiliki ciri-ciri taqwa, amanah, dan mampu menjadi corong rakyat. Tugasnya pun mengawasi pelaksanaan syariah agar tidak ada penyelewengan dan kedzaliman.

Seorang wakil rakyat juga sadar diri bahwa tugasnya melayani. Bukan mewakili segala kenikmatan yang seharusnya didapat rakyat, malah terwakilkan kaum pejabat. Sikap mengemban amanah rakyat menjadi soko guru bagian dari ibadahnya kepada Allah. Lebih penting lagi, tugas wakil rakyat dalam politik Islam bukanlah membuat aturan yang menyalahi aturan Allah. Jadi tugasnya ringan dan tak tekungkung oleh kepentingan partai politik, oligarki, dan pribadi. Sebab paham menjadi wakil umat bagian jihad demi mendapat ridho-Nya.

Oleh karena itu, kalau ada eks koruptor nyalon senator (wakil rakyat) apa kata dunia? Saat ini Indonesia tidak hanya butuh orang baik, tapi juga butuh sistem yang baik. Tentu yang baik-baik itu memiliki standar yang sahih sebagaimana dalam aturan Islam yang telah mampu membentuk sebuah peradaban agung. Maka pemilih yang cerdas tidak akan masuk ke jurang demokrasi. Pemilih cerdas akan memilih berjuang bersama pejuang ikhlas untuk mewujudkan tatanan hidup sesuai syariah yang lebih diberkahi. (*)

*Penulis Adalah Analis Politik-Media