OPINI | POLITIK
“Para pemulung sampah kadang terheran dengan barang-barang yang mereka temukan. Para pemulung bersusah payah demi mengais rezeki di bak sampah,”
Oleh : Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd,
DATA sampah di Indonesia memang tak pernah surut secara drastis. Tetap berada di angka 20 juta ton lebih per tahunnya. Ada berbagai jenis sampah yang tertumpuk dengan waktu urai yang beragam pula.
Ada beragam kebutuhan masyarakat yang mengharuskan adanya kemasan praktis, meskipun dari bahan yang sulit terurai. Inilah mengapa sampah sangat mudah sekali bertambah.
Speechless memang ketika melihat tumpukan sampah di berbagai tempat. Dan yang paling kentara memang berakhir di TPA. Meski sudah dilakukan pemilahan sampah, tetap saja berakhir dengan pencampuran lagi. Meski sudah ada upaya teknologi penghancur sampah, tetap saja belum bisa mengatasi seluruh sampah yang menggunung di seluruh pelosok negeri.
Padahal jika dilihat lagi, ada berapa banyak barang bagus yang ditemukan di tumpukan sampah itu. Bahkan tak jarang terlihat barang yang masih kinclong tetapi sudah berakhir di bak sampah. Para pemulung sampah kadang terheran dengan barang-barang yang mereka temukan. Para pemulung bersusah payah demi mengais rezeki di bak sampah, namun di sisi lain ada masyarakat yang dengan mudahnya membuang barang-barang itu.
Terbukti sudah bahwa memang benar kita sedang berada di era abundance, yakni era keberlimpahan. Maka bukan karena tidak ada barang, seorang siswa berangkat ke sekolah tanpa alas kaki, atau seorang driver ojol yang sepatunya bolong hingga terlihat ujung jempolnya, atau seorang guru yang rela memakai sepatunya hingga berubah warna dan kusam. Tetapi ini semata karena distribusi yang tidak merata dan ketimpangan kesejahteraan.
Terlebih lagi pola konsumerisme berpacu pada desain barang yang selalu tampil baru. Industri akan selalu memasang target pasar meski harus mengeluarkan budgeting iklan sampai miliyaran rupiah. Fenomena FOMO yang menjangkiti masyarakat akan menjadikan segelintir orang menjadi pengikut desain terbaru dari yang baru. Inilah market terbesar para industri.
Keinginan memiliki dan menguasai pasar adalah kepuasaan tersendiri bagi para pecinta barang baru. Bahkan muncul pula para kolektor brand yang rela mengumpulkan barang yang sama dan hanya berbeda warna saja demi dipakai bergilir sekali selama sepekan, atau sekali seumur hidup lalu disimpan kembali atau dibuang. Kehidupan modern dan gaya hidup hedon inilah yang telah merasuki masyarakat.
Sampai kapan fenomena ini terjadi dan kemana ujungnya?
Industri fast fashion ini bergerak cepat sekali. Setahun saja sudah berganti berapa model. Masyarakat dibuat kalap dan terhipnotis dengan diskon-diskon yang diberikan. Tanpa sadar, diri kita sudah bergerak secara impulsif, tanpa perencanaan, atau bahkan tak tahu akibat selanjutnya.
Coba lihat seberapa banyak barang kita yang ada di dalam lemari baju, rak sepatu, dan di sudut-sudut rumah. Bukankah setelah beberes, pasti ada banyak barang yang jarang tersentuh dan akhirnya rusak dan terbuang. Jika tidak segera disadari, maka masyarakat tidak akan pernah merasakan sikap qonaah, yakni cukup dengan apa yang dimiliki.
Padahal demi Allah, di akhirat nanti tidak ada yang terlewat sedikit pun dari hisab Allah. Sedikit ataukah banyak, semua akan diperhitungkan. Jangan sampai kita menjadi orang yang menyesal karena telah memiliki barang-barang tadi.
Allah tidak pernah melarang hamba-Nya untuk kaya dan memiliki sesuatu, tetapi seberapa berpengaruhnya barang-barang tersebut untuk menambah amal baik kita di dunia ataupun di akhirat. Maka dengan itu juga, Allah mewanti-wanti hamba-Nya untuk menjaga alam dan bersikap baik terhadapnya. Ciptaan Allah jangan dirusak jika tidak mau diazab. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Aktivis Muslimah Bali