“Rakyat dimana-mana berada dalam jebakan kredit, mulai dari kartu kredit dan pembiayaan konsumsi di perkotaan hingga utang dan pembiayaan untuk produksi pertanian di pedesaan,”
Kupang | NTT | Lapan6Online : Pemuda Muhammadiyah menyelenggarakan Kegiatan Diskusi Publik dengan mengangkat Tema “Membedah UU Cipta Kerja, Problematika, urgensi, substansi Menjawab Keberpihakan UU dan Dampaknya”, pada Sabtu (24/10/2020).
Dalam diskusi publik ini menghadirkan juga para Pembicara Dari Nakertrans Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Ketua PDPM Kota Kupang, Muhammad Saleh kegiatan ini merupakan program kerja Pemuda Muhammadiyah Kota Kupang dengan bekerja sama dengan NAKERTRANS NTT serta LPP RRI KUPANG. Kegiatan ini nantinya dapat menjdi jawaban mengenai permsalahan UU Cipta Kerja dikalangan masyarakat.
Muhammad Saleh menjelaskan,”Forum ini sengaja kami desaign dalam bentuk diskusi publik tapi tetap mematuhi protokol covid 19. Kegiatan ini dihadiri langsung oleh OKP Cipayung plus Kota Kupang dan BEM Kota Kupang,yang ada di Kota Kupang, Provinsi NTT dengan narasumber Dinas NAKERTRANS NTT, Bang Mikael Feka,SH,MH (Pakar Hukum) dan Dr.Yohanes T.Helan,SH, M.Hum (akademisi). Kegiatan ini menjadi titik terang dari semua kita untuk lebih jelas memahami UU yang kini ramai diperbincangkan. Dalam diskusi tersebut rekan-rekan pimpinan OKP Cipayung Plus, Kota Kupang juga memberikan pandangan-pandangannya, “ ujar Muhammad Saleh kepada awak media.
Menurut Fadly Anetong, Ketua FMN, Cabang Kupang bahwa,”Bagi FMN Kupang, berbagai retorika dan dalih yang menyelimuti RUU Cipta Kerja hanyalah upaya untuk membodohi rakyat. Semua hanya omong kosong dan janji murahan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Motif sesungguhnya yakni imperialisme, khususnya Amerika Serikat yang tidak puas dengan pelayanan dari rezim boneka Jokowi pada periode pertamanya. Mereka menginginkan Indonesia yang semakin lapuk ini untuk terus memperlebar pintu demi masuknya impor kapital berupa utang dan investasi. Agar dapat lebih intensif dan besar-besaran dalam merampok kekayaan alam, merampas upah rakyat, dan menjadikan Indonesia sebagai sasaran barang produksi milik imperialis,” jelas Fadly Anetong.
Masih menurut Fadly Anetong,”RUU Cipta Kerja merupakan kebijakan rezim Jokowi yang akan semakin memberikan kemudahan bagi investasi asing milik imperialis dengan memangkas aturan yang menghambat.Termasuk di dalamnya sistem ketenagakerjaan, impor,hingga pengadaan lahan.Hal tersebut semata-mata bertujuan agar seluruh kepentingan imperialis untuk membanjiri Indonesia dengan ekspor kapital dan barang dapat semakin leluasa,” tambahnya.
Melalui RUU Cipta Kerja, pemerintah akan terus memudahkan fasilitas bagi investasi, mempertahankan fleksibilitas tenaga kerja dengan upah rendah, perlindungan maksimum industri dengan status sebagai obyek vital nasional, serta fasilitas infrastruktur.
Dengan adanya RUU Cipta Kerja maka kontrol kapitalisme monopoli semakin menentukan orientasi pembangunan ke seluruh aspek kehidupan. Melalui pemerintahan Jokowi, imperialis akan terus mengontrol masalah agraria, ketenagakerjaan, migrasi, pendidikan, kesehatan.
Salah satu perhatian mereka adalah penyelematan industri keuangan dan perbankan disaat produksi mengalami stagnasi dan kemunduran. Industri keuangan dan perbankan merupakan saluran utama surplus kapital untuk mengeruk mengumpulkan super profit dari berbagai negeri melalui investasi.
Mereka berusaha mengalirkan utang dan kredit secara cepat meluas di masyarakat sampai perdesaan. Rakyat dimana-mana berada dalam jebakan kredit, mulai dari kartu kredit dan pembiayaan konsumsi di perkotaan hingga utang dan pembiayaan untuk produksi pertanian di pedesaan.
Sehingga FMN Kupang tidak mempercayai segala regulasi yang berkedok kerakyatan atau kesejahteraan (Omnibus Law,red) sedangkan dibalik semua itu adalah untuk melayani kepentingan Tuannya kapitalis Monopoli Internasional agar bebas masuk diindonesia dan raup sumber daya alam yang melimpat.
Kegiatan diskusi publik yang di motori oleh Pemuda Muhammadiyah suatu kegiatan yang luar biasa nan elegan bisa berdiskusi langsung dengan perwakilan pemerintah dan akademisi, berbicara mengenai omnibus law yang notabene banyak di anut oleh negara commun law yang coba di lakukan di negara indonesia yang sejak dahulu menganut civil law adalah langkah yang amat berani di ambil pemerintah, lebih baik lagi apabila langkah ini mengedepankan kepentingan masyarakat indonesia bukan kepentingan kaum kapitalis saja.Perumusan yang terkesan tergesa gesa, ini membuktikan negara ini belum sepenuhnya siapp untuk hal ini, Lanjut Ketua KMHDI NTT.
Sementara itu, Ketua EW LMND NTT, Marianus Engel Bell juga memberikan sanggahan atas diskusi tersebut, menurutnya “UU Cipta Kerja dari proses pembahasan ditingkat PANJA, Pengesahan dan penyerhanan ke pemerintah Dengan perubahan versi halaman dan yang terkahir diisukan bahwa ada satu pasal dan 4 ayat yang dihapus pada klaster Minerba ini merupakan kemandulan secara Formil dan substansinya sangat nihil. Maka dari itu,ini sebagai wujud otoriter konstitusional. Rezim Jokowi pada 2014 kita mengenalnya sebagai A man of People akan tetapi sejak tahun 2018 sampai sekarang telah bermetamorfosis sebagai A man of Oligarchi, karena didalam kabinet Indonesia Maju serta DPR sekarang diduduki oleh Oligarki yang bermain di pertambangan batu bara, Migas, maka Jokowi dalam cengkraman oligarki Nasional,” jelas Marianus Engel Bell.
Marianus Engel Bell lebih detail mengatakan,”Untuk menguntungkan korporat yang bermain di Minerba maka para sekutu oligarki ini mencecer pada klaster Minerba dan Migas, tujuannya adalah melepaskan diri dari Negara sehingga dengan Liarnya para kaum kapitalis ini mengakumulasi keuntungan, maka pada pasal 128A ayat 2 menyebutkan bahwa : Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerima negara untuk peningkatan nilai tamba batu bara dapat dikenakan Royalti 0%, artinya bahwa Negara tidak memiliki keuntungan terhadap usaha pertambangan batu bara yang melakukan ekplorasi dan ekploitasi bahan mentah, ini tentunya kekuasaan oligarki tambang mengendalikan Negara. Maka ada ruang terciptanya BAB III tentang Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha pada Pasal 7, yang merubah konsep Izin Kegiatan usaha menjadi Konsep penerapan standar dan berbasis reziko, ini tentunya dapat bermasalah karena tidak ada indikator-indikator yang merupakan kepastian untuk mengukur standarisasi berbasis reziko. Maka singkatnya ada sekitar 55 Pasal yang bermasalah dalam 11 klaster UU Cipta Kerja ini,” urainya.
Ditempat yang sama, Ketua Panitia, Zainudin Umar mengatakan bahwa,”Oleh karenanya apa yang di sampaikan oleh Dinas Nakertrans NTT, Akademisi dan pakar hukum kita dalam diskusi ini, bagi saya masih “abu-abu” dan belum menyecer ke substansi omnibus Law. Oleh karena itu melalui Dinas Nakertrans yang mewakili Pemprov NTT saya menilai bahwa “Sikap Pemprov NTT Mendukung UU Cipta Kerja tidak berbasis pada kajian ilmiah tapi berbasis pada narasi-narasi yang selama ini kami nilai menjadi permasalahan dalam UU Cipta Kerja. Kegiatan Ini bermaksud untuk menemukan gagasan baru sekaligus membuka Cakrawala Berfikir kita terkait dengan uu yg kini hangat di perbincangkan, juga menepis setiap anggapan warga negara bahwa yang mendukung UU ini tdk semata karena Fanatik buta & yang menolak tidak sekedar karena termakan berita hoax ataupun ditunggangi tetapi berdasarkan landasan argumentasi yang jelas, “ pungkas Zainudin Umar. *Mario Langun/Mae/Bem/Red
*Sumber : Jarrakposkupang.com