“Film ini di sutradarai oleh seorang non muslim, yang notabene pastinya tidak memahami secara mendalam bagaimana Islam kaffah itu, bagaimana muslim sejati itu, dan bagaimana kepribadian seorang santri yang menuntut ilmu di pesantren,”
Oleh : Desi Wulan Sari, S.E, MSi
Lapan6Online : Belajar di pesantren tentunya menjadi tren positif dan idaman bagi para pemuda muslim saat memperdalam agama Islam, hijrah kepada ketaatan, membentuk karakter generasi akhlakul karimah di masa datang.
Film “The Santri” semestinya memiliki tujuan mulia dalam menyampaikan pesan kepada umat muslim lainnya. Maksud film ini tentu ingin mengisahkan dan menampilkan kehidupan pesantren beserta santri-santrinya. Santri adalah seorang pendakwah yang sedang menimba ilmu agama Islam di sebuah Pondok pesantren. Tetapi faktanya film “the santri” ini jelas-jelas tidak mencerminkan karakter seorang muslim yang bertakwa, apalagi sosok seorang santri.
Karena Islam tidak pernah mengajarkan, mencampuri ataupun berbaur dalam ibadah agama lain, tidak pula diajaran berkhalwat atau berduaan dengan non mahram, bahkan dilarang untuk bertabaruj (bersolek), dan masih banyak lagi hal-hal yang ditampilkan dalam film ini dan sangat bertentangan dengan kepribadian seorang muslim ataupun santri dalam dunia nyata.
Perlu dipahami perbedaan signifikan antara film romansa muda-mudi umum yang ingin ditampilkan dengan karakter anak muda muslim jaman sekarang versi sekuler yang tergambar dalam pribadi moderen, gaul, penuh toleransi yang berlebihan, bahkan bergaul dengan lawan jenis tanpa batasan.
Dibandinghkan dengan film yang ingin mengangkat satu tema khusus seperti “moslem personality” tentu harus sesuai dengan syariat, dan menampilkan yang sebenarnya, dalam hal ini bagaimana kehidupan seorang santri dengan referensi para ulama, para assatidz, dan sumber-sumber yang memahami betul siapa dan bagaimana pribadi seorang santri yang memegang teguh syariat dalam kehidupannya.
Anehnya lagi, film ini di sutradarai oleh seorang non muslim, yang notabene pastinya tidak memahami secara mendalam bagaimana Islam kaffah itu, bagaimana muslim sejati itu, dan bagaimana kepribadian seorang santri yang menuntut ilmu di pesantren. Karena mencampuri adukan pandangan sekuler dalam sebuah agama sangat salah dan berpotensi menjadi fitnah atas apa yang tidak dipahaminya.
Sejatinya sebuah film bergenre agama khususnya Islam, wajib memiliki nilai dakwah, mengajak umat menjadi manusia yang lebih baik. Menjalani Islam secara kaffah dalam kehidupan seorang muslim.
Sistem kapitalis telah membutakan manusia hanya untuk meraup keuntungan dan ketenaran semata. Sistem sekuler memuluskan jalan kerusakan itu dengan memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga kerusakan ini semakin meluas bahkan dunia hiburan dijadikan alat untuk memutar balikkan fakta kebenaran, yaitu syariat yang jelas datangnya dari Allah.
Hiburan DalamPandangan Islam
Menurut ensiklopedi, hiburan (entertainment) adalah segala sesuatu –baik berbentuk kata-kata, tempat, benda, maupun perbuatan– yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang sedang susah. Pada umumnya hiburan itu bentuknya berupa musik, film, opera, drama, ataupun berupa permainan bahkan olahraga. Berwisata juga dapat dikatakan sebagai upaya menghibur diri, misalnya pergi ke kebun binatang, atau ke tempat-tempat hiburan malam (night club) untuk melepas lelah. Ada pula tempat permainan seperti bilyar hingga sarana perjudian. Pada waktu tertentu, hiburan juga mempunyai tujuan tambahan yang serius. Misalnya, berbagai bentuk perayaan, festival religius, dan sebagainya. (http://id.wikipedia.org).
Bagaimanakah hukum hiburan menurut syariat Islam? Pada dasarnya, Islam adalah agama fitrah, yaitu sangat mengerti fitrah manusia yang dapat mengalami kejenuhan dan kebosanan. Karena manusia memang berbeda dengan malaikat yang diwajibkan terus menerus berdzikir kepada Allah SWT. Islam juga tidak mewajibkan kepada setiap muslim untuk terus menerus mengisi waktunya di masjid saja, atau untuk terus menerus mengaji Al Qur`an, atau untuk terus menerus berdakwah, dan sebagainya. Maka dari itu, Islam tidak melarang umatnya untuk sesekali mengisi waktu luangnya dengan mencari hiburan. Tentu bukan sembarang hiburan melainkan hiburan yang dihalalkan oleh syariat Islam.
Rasulullah SAW sendiri pernah berlomba lari dengan ‘Aisyah RA. (HR Ahmad dan Abu Dawud). Pernah pula Rasulullah SAW bersenda gurau (mizah) dengan seorang nenek-nenek, yang minta didoakan supaya masuk surga. Rasulullah SAW berkata kepadanya,”Sesungguhnya surga tak akan dimasuki nenek-nenek.” Perempuan itu terkejut dan menangis, mengira tak akan surga. Rasulullah SAW lalu menjelaskan bahwa maksudnya tidak demikian. Maksudnya, nenek-nenek tak akan masuk surga sebagai nenek-nenek, tapi oleh Allah SWT akan dijadikan muda dan perawan kembali ketika masuk surga, sesuai QS Al Waaqi’ah : 35-37. (HR Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa Islam membolehkan hiburan tentu sepanjang sesuai syariat Islam. (Yusuf Qaradhawi, Al Halal wal Haram fil Islam, hlm. 252-254).
Secara umum, hiburan yang sesuai syariat Islam wajib memenuhi tiga syarat sebagai berikut;
Pertama, hiburan itu haruslah halal secara syariat, misalnya nonton film, nonton teater, opera, dan sebagainya. Harus benar-benar dilihat sisi keharaman dari segi aktivitasnya, sebab sebuah hiburan banyak mencakup rinciannya dalam syariat Islam. Misalkan ada hiburan yang diharamkan karena menyerupai kaum non muslim (tasyabbuh bil kuffar), misalnya cerita tentang merayakan hari raya non muslim (misal Natalan), atau diharamkan karena menyerupai lain jenis, misal bermain drama dimana laki-laki berperan sebagai wanita atau sebaliknya.
Kedua, hiburan tidak boleh melalaikan kita dari kewajiban. Misalnya, kewajiban sholat, bekerja, menutup aurat, menuntut ilmu, berdakwah, dan sebagainya. Jadi ketika melakukan kegiatan hiburan, misalnya menonton film bersama keluarga di rumah ataupun menonton di tempat umum sesuai syariat, harus tetap memperhatikan kewajiban dan tidak boleh sampai meninggalkan dakwah, ngaji, sholat, atau bahkan dilakukan dengan cara membolos sekolah atau kerja.
Ketiga, hiburan itu tidak boleh membahayakan (mudharat), misalnya menonton film di studio berbaur (berikhtilat) antara laki-laki dan perempuan bukan mahram. Melalaikan ataupun meninggalkan kewajiban karena keasyikan atau metasa tanggung saat menonton.
Adapun perlunya memahami bahaya dari sebuah hiburan yang jauh dari syariat, seperti halnya film kontroversial “The Santri” ini bagi umat Islam adalah: bahaya akidah, bahaya moral, ikhtilat bukan akhlak santri, memperlihatkan kiblat kesuksesan santri ke Amerika.
Pada dasarnya Islam tidak melarang kita untuk mencari hiburan, tetapi ada batas-batasnya. Seorang muslim akan memandang dari sudut positif dan tidak hanya berpikir untuk mengeruk keuntungan serta kepentingan semata. Islam merupakan agama yang menyeluruh dan memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia dan akhirat. Aspek rohani dan jasmani yang terkandung dalam ajaran Islam memenuhi kebutuhan kehidupan seluruh umat manusia.
Semoga dari film “The Santri” ini dapat menjadi pelajaran, dan kehati-hatian bagi umat muslim. Jangan mudah diperdaya oleh manisnya tawaran bombastis 3F, yaitu food, fashion, and fun yang diusung kaum sepilis. Apalagi film “The Santri” ini jelas bukanlah film yang menceritakan kebenaran akan ajaran Islam kaffah dan dunia pesantren yang nyata. Wallahu a’lam bishawab. GF