Guru Besar UII Yogyakarta Prof Ni’matul Huda Diintimidasi, Gegara Dituduh Bakal Makar

0
185
Guru Besar Fakultas Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Ni'matul Huda
“Kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik. Kebebasan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai sistem hukum Hak Asasi Manusia universal yang diakui dan dilindungi keberadaannya di Indonesia,”

Jakarta | Lapan6Online : Teror terhadap insan akademik dan penyelenggara diskusi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mendapat kecaman dari berbagai pihak. Salah satu akademisi yang mendapat teror dan intimidasi adalah Guru Besar Fakultas Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Ni’matul Huda dituduh akan makar.

Ceritanya, menurut lansiran Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, bermula dari rencana diskusi kelompok studi Constitutional Law Society pada 29 Mei 2020. Sehari sebelum acara tersebut, sudah beredar selebaran acara dengan tema “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”.

Acara itu akan diisi oleh Prof Dr Ni’matul Huda SH MHum yang merupakan guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Seminar itu bakal digelar secara virtual melalui aplikasi Zoom. Nama dan kontak narahubung dicantumkan dalam selebaran itu.

Selebaran itu tak diketahui khalayak ramai seandainya tak diunggah Ir. KPH Bagas Pujilaksono Widyakanigara dalam tulisannya yang kemudian viral dengan judul “Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid-19”. Panitia dan narasumber diskusi virtual itu dituding tengah mewacanakan pemecatan presiden.

Dalam peristiwa ini, panitia yang keseluruhannya merupakan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengalami tindakan intimidasi dan ancaman verbal untuk mengubah judul kegiatannya, yang pada awalnya bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan,” hingga berujung pada pembatalan kegiatan.

Bahkan Prof Ni’matul Huda didatangi sejumlah oknum tertentu di rumahnya di Dusun Surogenen Yogyakarta. Pintu rumahnya digedor-gedor. Ia diawasi sejak Kamis malam (27/5) hingga Jumat pagi (28/05/2020).

Akibatnya, guru besar wanita itu batal memberikan materi diskusi yang diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Fahid dalam jumpa pers di Fakultas Hukum FH UII Yogyakarta, Sabtu (30/5/2020) mengatakan, tindakan intimidasi terhadap panitia penyelenggara dan narasumber diskusi (Ni’matul Huda) sangat tidak dapat dibenarkan, baik secara hukum maupun akal sehat.

“Bagaimana mungkin, diskusi belum dilaksanakan, materi belum pula dipaparkan, tetapi penghakiman bahwa kegiatan diskusi akan berujung makar sudah disampaikan?”

Tindakan intimidasi berupa teror itu, sebut Fathul, bukan hanya tidak proporsional melainkan juga mengancam kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 45. Dia mengaku prihatin dengan kejadian itu.

“Tindakan-tindakan berupa intimidasi, pembubaran hingga pemaksaan untuk membatalkan diskusi adalah tindakan yang tidak bisa diberi toleransi oleh hukum demi tegaknya HAM dan kebebasan akademik,” tegasnya.

Fathul Fahid menganggap diskusi itu murni sebagai aktivitas ilmiah yang jauh dari tuduhan makar. Menurut Fathul, tema pemberhentian presiden dari jabatannya merupakan isu konstitusional yang diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan lazim disampaikan kepada mahasiswa dalam mata kuliah Hukum Konstitusi.

“Oleh karena itu, kami mendesak aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti aksi intimidasi tersebut dengan tuntas. Civitas Akademika UII juga meminta agar aparat keamanan memberikan perlindungan terhadap panitia penyelenggara dan narasumber maupun keluarga mereka dari segala tindakan intimidasi, termasuk ancaman pembunuhan,” tegasnya.

Selain itu, pihaknya mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Dia juga meminta Presiden Republik Indonesia, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memastikan terselenggaranya kebebasan akademik demi menjamin Indonesia tetap dalam rel demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum.

Hal senada Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Serikat Pengajar Ham (SEPAHAM), Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (Kika), Dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia (ADPHI) mengutuk keras segala bentuk tindakan intimidasi dan ancaman yang dilakukan kepada penyelenggara kegiatan diskusi akademik yang di selenggarakan oleh kalangan civitas akademika;

Menuntut adanya kebebasan akademik penuh sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi dan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik, terutama Prinsip ke- 4: Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan; serta Prinsip ke-5: Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik;

“Kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik. Kebebasan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai sistem hukum Hak Asasi Manusia universal yang diakui dan dilindungi keberadaannya di Indonesia,” demikian tulis gabungan asosiasi pengajar ini.

Hal tersebut dituangkan dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Terlebih di dalam dunia akademis, kebebasan berpendapat itu semakin dilindungi dengan adanya konsep kebebasan akademik, yang secara tegas diakui oleh negara yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8 ayat (1) menyatakan:

“Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.” Kebebasan Akademik juga diakui dan dihormati secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988).

“Meminta pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, untuk melindungi segala bentuk kegiatan akademik yang diselenggarakan civitas akademika sebagai bagian dari kebebasan akademik penuh,” kata asosiasi. Otn/kop/Mas Te

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini